Tuntutan untuk menggapai sesuatu dalam umur tertentu adalah konstruksi sosial dan aku terjebak di dalamnya. Tiga tahun lalu, aku memutuskan untuk pindah kuliah dari jurusan komunikasi ke jurusan film setelah kuliah selama dua tahun. Pada masa awal pindah kuliah, aku yang norak akan materi-materi yang dipelajari di jurusan film membuat aku berkata pada diri sendiri, “See? You’re doing the right thing!”. Keresahan perlahan datang ketika teman-teman seumuran mulai lulus dan orang tuaku mulai bercerita bagaimana teman-temannya mempunyai anak seusiaku yang sudah mendapatkan pekerjaan. Setiap orang tuaku menceritakan hal serupa, yang aku dengar hanyalah keinginan mereka untuk bertanya, “Kapan lulus dan bekerja, Shar?”.
Keresahan menjadi-jadi ketika aku merasa belum mampu membuat karya film yang mumpuni. Menonton ulang film yang aku tulis dan sutradarai–bahkan mengatakan bahwa aku menyutradarai dan menulis film pendek saja terasa berat hanya akan mengingatkan aku atas kekurangan-kekurangannya saja. Biasanya ketika bertemu dengan mahasiswa film lain, kita kerap membicarakan tentang film yang pernah dibuat sebelumnya. Namun, aku tidak pernah membicarakan film yang pernah dibuat kecuali ditanya terlebih dahulu. Ucapan “See? You’re doing the right thing!” pada semester satu perlahan berbuah menjadi “Am I doing the right thing?” pada semester lima.
Keinginanku untuk membuat film masih ada dan tinggi. Namun, aku memutuskan untuk rehat sejenak dengan memberikan jarak antar diri sendiri dengan film dan mempelajari berbagai hal yang belum aku ketahui. Ketika memasuki periode magang, teman-temanku mencari pekerjaan magang yang dekat dengan fokusnya semasa kuliah film (misal: mahasiswa yang memiliki fokus sutradara mencari magang sebagai asisten sutradara), sementara aku mendaftarkan diri untuk magang di Minikino yang notabene-nya tidak selaras dengan fokusku sebagai sutradara. Beberapa kali aku mendengar pernyataan dari orang lain, “Shara kan fokusnya sutradara ya, kalau fokusnya itu harusnya magang jadi asisten sutradara dong, praktik di lapangan.” atau pertanyaan, “Lho, gak magang di produksi film?”.
Dari satu pertanyaan ke pertanyaan lainnya, “Apa sebenarnya hal yang selama ini aku lakukan semata-mata untuk kabur dari kewajibanku?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya hanya akan berakhir dengan meragukan keputusan diri sendiri dan merasakan berbagai perasaan buruk lainnya secara sukarela. Di satu sisi, pertanyaan tersebut tidak kunjung terjawab dan selalu menghampiri di hari-hari buruk sebagai mahasiswa tua. Tidak aku sangka, pertemuan secara virtual dengan Marcus Manh Cuong Vu, dikenal sebagai direktur program Yxine Film Festival (2010-2014) dan programmer S-Express Vietnam, pada salah satu sesi Hybrid Internship Minikino Film Festival Writers perlahan merubah perspektif diriku dalam menangani “krisis eksistensial” ini.
Marcus sudah menyukai film sedari kecil, Ia bercerita bahwa uang jajan yang Ia dulu miliki dihabiskan untuk hal-hal berbau film. Meski begitu, awal mula karir film Marcus dimulai bukan melalui kuliah film, melainkan saat Ia mengalami mid-life crisis di tengah studi S3 Ekonomi Internasionalnya, Ia menyadari bahwa Ia telah lama menyampingkan sisi dirinya yang mencintai film, kemudian memulai karir filmnya dengan menulis ulasan film. Dari menulis ulasan film, Ia dan teman-temannya mendirikan Yxine Film Festival yang Ia sebut atas dasar kecintaannya terhadap film, “Out of pure love for cinema”. Selain itu, tujuannya adalah untuk memberikan wadah dan mengapresiasi filmmaker yang khususnya berasal dari Vietnam, mengingat lembaga sensor yang begitu ketat di negaranya.
Mengalami hal yang familiar dengan cerita Marcus, aku merasa dekat dengan perasaan gundah dan bingung yang dialami Marcus atas keputusannya. Namun, Marcus percaya bahwa kita harus dapat “Go over ourselves”, menghadapi keraguan dan ketakutan yang ada pada diri sendiri. Dibanding memelihara ketakutan yang tidak kunjung reda, Marcus menghadapi perubahan tersebut dengan kesadaran yang Ia sebut dengan “Sense of keeping an open border”, menyadari bahwa kita secara sadar membuka diri kepada berbagai kemungkinan, meskipun berbagai kemungkinan tersebut memposisikan diri kita dalam resiko. Kini, Marcus menjadi seorang penulis naskah juga sutradara.
Mendengar caranya bercerita, aku merasa bahwa Ia senang dengan apa yang Ia lakukan sekarang. Bintang Panglima, salah satu peserta Hybrid Internship Minikino Film Festival Writers bertanya perihal perjalanan hidupnya yang kerap berkembang dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, “Bagaimana caranya untuk dapat yakin dengan keputusan yang diambil?”. Marcus menjawabnya dengan, “You will know when you are ripe”, yang diperlukan adalah waktu dan fokus untuk mengembangkan diri sendiri (mungkin perlu mengurangi waktu untuk melihat hidup orang lain di Instagram Story).
Pada akhirnya, aku rasa kita semua tahu akan kapabilitas masing-masing. Pertemuan dengan Marcus tentunya tidak langsung menyembuhkan penyakitku yang gemar ragu dan takut ini. Namun, menjadi pengingat bahwa aku tahu aku membiarkan diriku untuk berkembang kepada hal-hal baru, dan setidaknya bagiku itu adalah hal yang benar. Semoga suatu saat aku bisa berbicara mengenai pengalamanku dengan senyum yang lebar seperti Marcus. Amin.
Discussion about this post