Film merupakan salah satu bentuk seni yang sangat mengandalkan kecerdasan emosional dan kreativitas manusia. Oleh karena itu, tidaklah mungkin bagi kecerdasan buatan/Artificial Intelligence (AI) untuk menggantikan peran manusia dalam proses pembuatan film. Walaupun AI telah menunjukkan kemampuannya dalam mengerjakan berbagai tugas yang sebelumnya dianggap hanya bisa dilakukan oleh manusia, namun kecerdasan buatan itu masih terbatas dalam menghasilkan ide-ide baru yang berguna.
Kita hidup di dunia di mana garis antara yang nyata dan digital sudah mulai memudar. Lantas apakah kerja kreatif dan intelektual AI dan manusia dapat dengan efektif dibedakan? Dari tutur penulisan, dan kemampuan menstrukturkan kalimat maupun paragraf, jawabannya tidaklah mudah. Mengapa? Karena lihatlah paragraf pertama artikel ini misal, yang dirangkai sepenuhnya, kata-perkata oleh sebuah AI.
Apakah waktunya telah tiba untuk manusia tunduk kepada robot? Apakah Arnold Schwarzenegger dengan wajah setengah besi akan datang dari masa lalu? Apakah WALL-E, robot imut pembersih sampah itu akan menjaga bumi saat kita bertamasya keliling luar angkasa? Tenang… Memang bila dipikir, penggambaran AI dalam budaya populer seringnya digambarkan dengan ketakutan dan hilangnya harapan. Dengan manusia menciptakan suatu hal yang lebih cerdas dari dirinya sendiri, apakah ini berarti manusia menjadi Tuhan dalam sendirinya? Lihat saja Frankenstein hingga Ultron dari Avengers, kecemasan manusia untuk kehilangan kendali atas kreasinya sudah ada sejak lama hingga sekarang.
Mungkin perkembangan AI pada realitanya belum sampai pada level “Perang Robot” atau “Kehancuran Bumi”. Namun, lebih terhadap kehadiran AI yang mungkin dapat menggantikan posisi dan pekerjaan manusia. Seringnya, kecerdasan AI kerap diukur oleh hal yang objektif, seperti cara ia menyelesaikan soal matematika, masalah pemrograman,, atau bahkan mengalahkan oponen dalam permainan catur. Pengukuran seperti ini memiliki bentuk “keberhasilan” yang absolut. Gagal dan berhasil bersifat hitam-putih, tidak ada ruang untuk interpretasi, atau diskusi keberlanjutan mengenai sang AI berhasil atau tidak. Untuk waktu yang lama, melihat sebuah AI yang berkepribadian utuh dan sensibilitasnya hampir sebanding dengan manusia adalah sebuah mimpi buruk yang bisa kita temukan di film.
Tetapi, dalam realita yang sebenarnya, mungkin AI tidak akan datang dalam bentuk yang kita selama ini kira. Mungkin AI tidak akan datang dalam wujud Terminator yang berasal dari masa depan, atau robot kecil yang tugasnya membersihkan sampah di bumi. Mungkin AI yang sebenarnya akan datang dalam wujud seorang pelukis yang karya barunya tercipta dalam satuan detik? Atau musisi multi-instrumentalis yang bisa menulis musik dan lirik secara sekaligus? Atau bahkan, seorang sineas penulis-sutradara yang bisa menghasilkan karya orisinil?
Inilah realita yang kita temukan sekarang. Seakan-akan, realita yang digambarkan dalam film rasanya semakin dekat. AI mulai menyentuh apa yang selama ini kita anggap sakral dan unik dalam diri manusia, berseni!
Diawali dengan dirilis untuk umum-nya DALL·E 2 pada pertengahan 2022 lalu, AI ini dapat menghasilkan output gambar yang “original” dalam hitungan detik. Kehadirannya membuat cemas komunitas seni rupa di internet, karya-karya yang mereka ciptakan susah payah dicomot semena-mena dan dijadikan bahan pelatihan AI art. Alhasil, banyak user yang menggunakan platform ini, mengira mereka menciptakan karya yang baru dan indah. Tapi sebetulnya, “karya” itu hanya mencomot gaya dan sensibilitas seniman lain yang karyanya sudah ada dalam database internet. Kecemasan bahwa sebuah AI akan mengambil alih profesi pelukis, illustrator, bahkan web designer terlihat sangat jelas di Twitter.
Kemudian, kecemasan juga di dalam dunia penulisan dengan adanya ChatGPT. Platform gratis ini dapat secara fasih menciptakan teks dengan kosa kata dan pola menulis yang familiar dan “manusiawi”. Bayangkan berapa profesi yang sumber penghasilannya didasari oleh kemampuan mereka mengolah teks. Dari copywriter, jurnalis, coder, atau bahkan filmmaker? ChatGPT adalah platform yang saya gunakan untuk menulis paragraf pertama artikel ini. Input/prompt yang saya berikan kepadanya untuk menghasilkan paragraf tersebut adalah “buatlah argumen pembuka sebuah artikel mengenai kenapa AI tidak bisa menggantikan pembuat film.” Argumen di atas kemudian ditulis dalam waktu hanya hitungan detik.
Saya Mulai Kecanduan AI
Ngobrol dengan robot adalah suatu hal yang menyeramkan, namun adiktif. Sang AI dapat dengan cepat dan efektif memaparkan informasi dengan bentuk penulisan yang koheren. Kemungkinan perintah untuk dilempar kepadanya tidaklah terhingga. Namun, kebebasan ini kemudian membuat saya berpikir. Seperti DALL-E yang emang ditujukan untuk “berkreasi”, apakah ChatGPT, sebuah platform berbasis teks dapat membuktikan kreativitasnya dengan menulis tulisan-tulisan kreatif? Beberapa hari kemudian, tepat inilah yang saya lakukan dengan waktu lowong saya, menantang sebuah robot dengan memintanya menulis cerita-cerita film dalam berbagai format, dari logline, premis, sinopsis, atau bahkan skenario.
Dari permukaan, ide-ide film yang dikeluarkan sang AI mungkin terkesan memukau. Ide yang dikeluarkan terkesan sepenuhnya baru dan orisinil! Namun, bila kita menggali lebih dalam mengenai bagaimana AI ini bekerja, kita akan paham bahwa “kreativitas” ini hanya ilusi. Fatamorgana yang memberi impresi adanya kreativitas walau pada kenyataan, semua hanyalah data processing.
Memang betul, kemampuannya untuk menciptakan teks dan mengolah informasi sangatlah memukau. Namun, bila diperhatikan dengan kacamata yang lebih kritis, tulisan yang dihasilkan seringnya medioker dan tidak berkepribadian. Dalam kata lain, meskipun cerita-cerita yang dihasilkan cukup koheren dari segi gramatika dan format, namun mayoritas hasil teks tetap terasa kosong, sangat klise, dan kehilangan rasa.
Pertanyaan besarnya kemudian beralih kepada apa makna mendalam dari “kreativitas” itu sendiri. Apa yang membuat kreativitas unik dan sulit direplikasi? Dalam AI, ada bentuk kecerdasan yang tidak akan pernah direplikasi, sebuah bentuk kecerdasan yang integral dalam proses kreatif; kecerdasan emosional. Dengan ChatGPT dibekali informasi-informasi yang melimpah, kumpulan informasi ini adalah hal yang terbatas pada apa yang bisa dilihat dan diukur. Di sisi lain, kesenian memiliki kekuatan untuk memasuki medan yang tidak berwujud; sesuatu yang datang dari apa yang dirasakan.
Menulis film, seperti bentuk penciptaan karya yang lain, membutuhkan rasa dan emosi yang unik pada manusia. Namun, hal ini tidak berarti AI tidak akan memiliki peran dalam penciptaan karya film. Dengan terus meningkatnya angka produktivitas film, munculnya kanal-kanal baru yang menuntut ada terus konten, mungkin AI seperti ChatGPT dapat digunakan sebagai alat pemercepat development ide, sebagai alternatif instan para studio untuk mengeluarkan konten sebanyak-banyaknya.
Kita tidak perlu terlalu khawatir atas kehadiran AI di dunia seni. Karena sepanjang sejarah pendekatan masyarakat dengan kesenian, kegemaran terhadap suatu karya tidak pernah sepenuhnya berhenti pada karya itu sendiri. Namun menembus pada tokoh di balik karya tersebut. Dari sutradara favorit, penulis favorit, pelukis favorit, atau bahkan aktor dan penyanyi favorit, manusia pada umumnya adalah penggemar manusia lain.
Lalu bagaimana kita perlu menyikapi AI dalam berfilm? Menurut saya, tidaklah bijak bagi manusia untuk menyangkal atau menyisihkan sebuah kemajuan teknologi dengan sepenuhnya. Perkembangan zaman tidak sepantasnya disikapi dengan kolot. Karena dari awal terciptanya film pun, teknologi telah menjadi kawan baik yang terus membantu menyokong para pembuat film dalam berkesenian. Bayangkan bila kita menolak keberadaan CGI karena dianggap mengancam profesi special effects, atau kamera digital yang dianggap dapat memusnahkan tradisi seluloid?
Lalu dimana AI seperti ChatGPT dapat mendapatkan tempat yang layak dalam proses kreatif seperti membuat film? Hemat saya, kegunaannya tidak berada pada proses kreatif, namun workflow dari penciptaan itu sendiri.
Sebagai medium seni yang komersial, kadang proses penciptaan karya tidak hanya membicarakan kreativitas. Dari momen awal proses penciptaan, film sudah melibatkan data, angka, dan informasi yang melimpah. Workflow ini dapat berubah lebih efektif bila AI mengambil alih kegiatan-kegiatan monoton yang memakan waktu demi membebaskan lebih banyak waktu untuk bersifat kreatif.
AI seperti ChatGPT adalah kemajuan teknologi yang tidak biasa, dan dalam satu sisi, revolusioner. Namun, sesuai namanya, artificial intelligence berfokus pada mereplikasi kecerdasan manusia. Kecerdasan ini meliputi kemampuannya mengolah data, dan menyelesaikan masalah dengan efektif. Di lain sisi, kreativitas manusia berporos pada kemampuan unik kita untuk berimajinasi-menciptakan keindahan dari rasa, emosi, dan hal-hal tak berwujud lainnya.
Seperti hal-hal canggih lainnya, AI bisa saja disalah gunakan. Namun, bila kita mula memprojeksi dampak konkritknya pada kreativitas berfilm, kita tidak perlu takut. Menurut saya, kecerdasan AI dalam memproses data, tidak akan begitu gampangnya dapat memusnahkan kreativitas manusia.
Discussion about this post