Pada seni, batasan kerap membuat para kreator menjadi kreatif (asal kata mereka sama). Di Iran, sensor yang ketat menyebabkan mereka menggunakan karakter anak-anak untuk membangun cerita, yang kompleks dan bisa dinikmati orang dewasa tanpa mengurangi kepuasan estetik. Demikian pula di Indonesia pada masa Orde Baru. Kata sastrawan Seno Gumira, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra bicara”. Maka ia menulis kumpulan cerita pendek Saksi Mata (1994) yang asalnya adalah laporan wartawan-wartawan majalah Jakarta-Jakarta yang tak mungkin ia publikasikan. Alasannya, karena memuat deskripsi detail tentang kengerian teror seperti penghilangan paksa, mutilasi dan pemenggalan kepala terhadap para penduduk Timor Leste.
Keterbatasan pada Begadang Filmmaking Competition sumbernya bukan dari sensor, berbeda dengan yang saya sebut di atas. Begadang seperti sebuah quiz yang memberi tantangan yang spesifik berupa beberapa elemen sinematik yang berbeda dari tahun ke tahun. Tahun ini, syarat yang diberikan oleh panitia adalah: 1) awal harus menjadi akhir cerita, 2) tidak hitam putih dan harus mengandung satu warna dominan, 3) jika menggunakan scoring, hanya boleh membuatnya dengan menggunakan bagian tubuh.
Secara khusus, saya ingin melihat bagaimana para kreator berurusan dengan batasan-batasan yang dibuat oleh panitia. Seperti saya sebut di atas, batasan justru sering menjadi sumber inspirasi, diakali sedemikian rupa. Batasan adalah tekanan yang tidak menghalangi kreativitas, melainkan menciptakan friksi yang membuat kreativitas menjadi wujud nyata yang kita lihat. Batasan seperti jalanan yang mengarahkan kendaraan kita, tapi kita selalu bisa keluar darinya untuk membuka jalan baru. Itulah friksi: bagaimana batasan mewujud dalam keseharian.
Namun perlakuan terhadap pembatasan bukan satu-satunya cara untuk melihat film-film pendek ini. Karena pada akhirnya kemungkinan yang dihasilkan oleh kreatifitas + batasan tetap harus terwujud dalam ekspresi sinematik dan segala kelengkapannya. Artinya, eksplorasi tidak berdiri sebagai konten yang terpisah, melainkan tetap akan dilihat bagaimana ia terwujud ke dalam film pendek. Tahun ini, saya diminta untuk menjadi juri untuk Minikino Film Week tahun 2022, dan salah satu tugas saya adalah menilai finalis dari Begadang Film Competition 2022 ini. Inilah catatan saya terhadap empat film di Begadang 2022 di Minikino Film Week 8.
Uuhh, Ckck, Boom (Kelompok 2 Production)
Film ini sepenuhnya menjadikan batasan dari panitia untuk menjadi inspirasi utama film. Adegan film dibuka dengan semacam audisi untuk sebuah produksi film. Seorang calon “aktor” datang ke sebuah rumah, dan di sana ia diminta membuka baju dan berhadapan dengan kamera. Lalu secara mengejutkan, si aktor ini menawarkan berbagai tepukan ke tubuhnya untuk menghasilkan bunyi perkusi yang ritmik. Acara pukul memukul tubuh ini berlangsung cukup lama sampai ia tak tahan lagi. Padahal si pembuat audisi merasa belum puas. Ia belum melakukan cubitan, yang menurutnya akan menghasilkan bunyi-bunyian yang berbeda lagi sama sekali. Si aktor tak tahan lalu akhirnya kabur, masih dengan bertelanjang dada.
Eksperimentasi yang mengambil secara mentah batasan dari panitia ini seperti Jafar Panahi yang meletakkan kamera di dashboard mobil agar terhindar dari larangan membuat film di negaranya. Batasan diadopsi secara face value, tanpa kiasan agar bisa memenuhi syarat yang ditetapkan. Yang paling menarik justru terjadinya narasi berupa eksperimentasi terhadap tubuh dan ketidakseimbangan hubungan dalam filmmaking (atau produksi seni lain). Pihak kreator (produser atau filmmaker) bisa mengeksplorasi dan mengeksploitasi tubuh aktor mereka sedemikian rupa untuk keperluan estetik. Namun pendekatan humor membuat gambaran ini jadi tidak menegangkan.
Tambahan yang menarik dalam film ini, adalah tubuh yang telanjang. Tubuh itu membuat film ini terasa kinky dan mendekatkan penonton ke batas-batas voyeuristic mereka. Sebuah ledekan terhadap hasrat voyeuristic penonton dan penyalurannya lewat filmmaking.
Di Balik Malam (Hore Besok Libur!)
Di Balik Malam memiliki ide mirip dengan Uuhh, Ckck, Boom dalam hubungan antara kreator (baca: filmmaker) dengan aktornya. Dua orang aktor yang sedang rehearsal dan sesekali beraksi di depan kamera sepenuhnya menjadi subyek permainan. Terasa ada semacam ketegangan yang agak kompleks yang terjadi pada tiga pihak: antara dua orang pemain, dan sutradara. Salah satu dari aktor (diperankan sutradara Winner Wijaya) tampak menjadi pusat perhatian yang agak berlebih dari pihak lain yang muncul dalam film itu. Beberapa kali ia dibilang cantik dan sesekali disentuh atau diarahkan gayanya dengan terlalu mencolok. Bahkan si sutradara secara khusus memujinya dan menjanjikan bahwa ia akan mendapatkan peran lebih banyak karena kecantikannya itu.
Humor di film ini terasa lebih elusive. Tanggapan Winner terhadap pujian itu membuat kita tak bisa menyimpulkan apa makna pujian-pujian berlebihan itu baginya. Apakah ia kesal, marah, atau senang? Ini membuat suasana seharusnya canggung, tapi kita tak mendapatkan gambaran itu secara utuh. Jangan lupa sempat ada dialog “ini kita syuting aman ya!” menegaskan upaya komunitas film di Indonesia di berbagai tingkatan sedang mengupayakan ruang aman dalam produksi film. Apakah perlakuan terhadap Winner yang digambarkan di sini sebagai sindiran terhadap belum efektifnya kampanye itu?
Lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban dalam film ini, membuatnya tetap misterius. Menarik.
Chicken Awaken (Nol Derajat Film)
Film ini kebalikan dari Uuhh, Ckck, Boom dalam memperlakukan batasan-batasan produksi yang ditetapkan. Jika sebelumnya batasan dijadikan sebagai inspirasi utama film, Chicken Awaken menempelkan saja elemen-elemen itu ke dalam cerita mereka.
Cerita dalam film ini mengambil trope ultraman dari genre tokusatsu superhero. Berasal dari Jepang, trope ini populer di Indonesia lewat seri ultraman, kamen rider hingga tentu saja Godzilla. Seperti halnya genre tokusatsu, tak perlu ada penjelasan dari mana monster berasal, atau bagaimana robot pembasmi monster tercipta. Semua ini dijadikan bahan komedi film yang maksimal.
Bagaimanapun genre ini universal: monster vs superhero. Segala special effect yang tidak meyakinkan justru dijadikan bahan komedi dengan mengkontraskan bencana tingkat apocalypse dengan suasana jajan di pinggir jalan. Estetika camp memang jadi andalan di sini. Bahkan komedi campy dan pelesetan tokusatsu ini bisa jadi trope sendiri seperti misalnya film AHOZ (Alpha Hero Omega Zero, Gangsar Waskito, 2006) yang juga bersumber dari tokusatsu. Kekurangan dalam produksi dan ketiadaan special effects dijadikan bahan lelucon yang campy, mengandalkan keakraban penonton dengan genre dan trope tersebut, dan ini cukup berhasil.
Sebuah keberhasilan storytelling yang sederhana.
The Lemony Snippets of a Loopy Reverie (CATasthrophe Production)
Bagi saya, ini film yang paling imajinatif sekalipun menggunakan mimpi sebagai sebuah landasan bercerita. Dalam mimpi, apapun bisa terjadi, maka segala batasan yang ditentukan panitia bisa masuk, sekalipun sebagai elemen tempelan tanpa harus kehilangan koherensi. Namun Jabberwocky yang disampaikan oleh cerita ini sangat kreatif. Inkoherensi kolase di film ini bagai sebuah perjalanan psikedelik dan surealis sekaligus.
Sebenarnya reverie di dalam judul tidak harus diwujudkan sebagai mimpi (dalam keadaan tidur) tetapi bisa jadi sebuah lamunan panjang dan daydream–mimpi dalam keadaan terbangun. Narasi si istri dalam film ini membuka film sebagai sebuah mimpi, seakan ada ketakutan terhadap inkoherensi itu. Padahal reverie sudah memberi kemungkinan bagi editing bergaya kolase, desain figurative dan segala plot yang nonsensical.
Namun di luar ketakutan terhadap nonsense, menurut saya film ini yang paling berpeluang membuka sebuah kemungkinan dan cara berpikir baru. CATasthrope seperti keluar dari jalan utama dan membuka cara berpikir yang baru bagi penonton.
Terima kasih Minikino memberi saya kesempatan menonton dan membahas film ini.
Denpasar, September 2022
Discussion about this post