Film dokumenter pendek Senandung Senyap (A Sonorous Melody, Riani Singgih, 2022) tidak ingin hanya sekedar diputar di layar. Ia ingin berjalan lebih jauh, melalui distribusi berdampak yang diharapkan membawa perubahan bagi teman Tuli dan masyarakat di sekelilingnya. Distribusi berdampak atau impact distribution, adalah distribusi yang menjadikan pemutaran film, sebagai advokasi isu tertentu melalui diskusi dan kegiatan interaktif dengan penonton untuk menstimulasi berbagai refleksi dan pemikiran baru, serta membawa perubahan ke masyarakat dan lingkungan sekitar.
Selepas pemutaran RWI Asia Pacific Award di Griya Musik Irama Indah, saya berkesempatan untuk melakukan interview dengan tim Senandung Senyap, yang terdiri dari Riani Singgih (Sutradara), Annisa Adjam (Produser), Mohammad Ismail (Produser Dampak), Hasna Mufidah (Subjek Dokumenter), dan Sinta Nainggolan (Juru Bahasa Isyarat) pada Jumat (21/09) sore di Kedai RAK Kopi, yang tepat bersebelahan dengan Griya Musik Irama Indah. Dalam interview tersebut, beragam keresahan mengenai aksesibilitas bagi Tuli, serta perjalanan rencana distribusi berdampak ini dijelaskan.
Keresahan Tentang Aksesibilitas
Aksesibilitas di konser musik dan film, adalah hal yang disoroti Riani Singgih, sebagai landasan dalam membuat film. “Aku dan tim melihat sendiri gimana kesulitan teman-teman Tuli di ruang-ruang seperti ini [konser musik] gitu lah. Masih banyak orang dengar yang belum inklusif terhadap teman Tuli. Contoh lainnya permintaan untuk menaruh subtitle bahasa Indonesia pun masih sulit gitu, biar teman Tuli bisa nonton,” ungkap Riani.
Hasna Mufidah yang akrab dipanggil Mufi juga menyampaikan keresahannya (dalam bahasa isyarat) terkait perbedaan aksesibilitas di Indonesia dan Singapura. “Contohnya pada saat aku datang ke Singapura, aku datang ke suatu museum. Aku pikir, ‘ya udah lah ya, aku nggak usah minta akses, aku datang aja’. Terus aku bilang, ‘Hey I’m deaf,’ langsung ditulis mereka, langsung ada tukar tiket, lalu aku tunggu. Kalau misalnya di Jakarta kita datang kan, entah kita bilang tulis segala macam, disuruh aja datang sendiri. Tapi kalau di Singapura, ternyata ada juru bahasa isyarat yang membantu secara akses. Jadi aku merasa bahwa aku bukan disabilitas pada saat di museum tersebut. Karena lingkungan membuatku bisa memahami. Walaupun bahasa isyaratnya agak berbeda ya, tapi secara visual aku mengerti maknanya apa.”
Sulitnya aksesibilitas tersebut, tentunya tidak hanya terjadi di bidang seni, namun juga di layanan publik. Banyak layanan publik yang hingga kini masih menyampaikan pengumuman lewat suara – seperti di kantor pemerintahan, rumah sakit, dan layanan publik lainnya. Pengumuman tersebut, tidak disertai teks penjelas/pendamping, baik melalui papan nomor antrian digital atau papan pengumuman digital. Kesempatan orang Tuli dalam memperoleh pekerjaan pun masih sangat minim. Hal tersebut dikarenakan Tuli dianggap tidak kompeten dan tidak mampu beraktivitas seperti orang-orang pada umumnya.
Di sisi lain, Sinta Nainggolan memaparkan perspektifnya mengenai polemik yang hingga kini masih timbul akibat SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) buatan pemerintah yang digunakan di SLB (Sekolah Luar Biasa). Menurutnya pemerintah enggan mengakui kesalahan, atas SIBI yang dibuat tanpa melibatkan komunitas Tuli, sehingga secara bahasa tulis hingga kini masih kacau dan menghambat edukasi bahasa Isyarat. Hal tersebut juga membuat perkembangan anak-anak Tuli menjadi agak berat, sebab dalam komunikasi sehari-hari, komunitas Tuli lebih sering menggunakan Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia), bahasa isyarat yang berkembang secara alamiah pada kelompok masyarakat Tuli sesuai daerahnya dan lebih mampu merepresentasikan maksud mereka.
Kampanye akan aksesibilitas bagi Tuli yang dilakukan selama beberapa tahun belakangan, telah memantik sejumlah orang untuk peduli dengan masalah ini. Namun, kepedulian tersebut tampaknya masih berjarak. Film-film yang menceritakan Tuli atau kegiatan yang mengkampanyekan kebutuhan Tuli masih minim melibatkan orang Tuli. Sehingga, perspektif yang dibentuk adalah perspektif orang dengar yang melihat orang Tuli. Hal tersebut juga yang disadari Riani dan Annisa Adjam, yang pada akhirnya mengajak Mohammad Ismail, seorang Hard of Hearing, yang pernah menjadi ketua Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) sebagai Produser Impact.
Rencana Distribusi Berdampak
Distribusi berdampak film dokumenter pendek Senandung Senyap, direncanakan akan dilaksanakan 5 kota di Indonesia, yang diharapkan dapat berdampak kembali ke depan atau diadaptasi oleh kegiatan lain. Annisa Adjam selaku produser, menambahkan bahwa tim Senandung Senyap akan memulai dari daerah yang mereka sudah familiar, secara keberadaan ruang putar dan komunitas Tuli. “Namun, bukan hanya dari tim kami, kami juga akan berkolaborasi changemaker di daerah-daerah tersebut, contohnya bidang edukasi. Kami akan mencari tahu lagi dan me-mapping siapa-siapa changemaker kami untuk membuat dampak perubahan ini menjadi lebih besar,” Jelas Mohammad Ismail (dalam bahasa isyarat). Ia mengharapkan input dari respon-respon teman-teman yang menonton, baik Tuli maupun dengar selama proses distribusi.
Dalam buku panduan Dokumenter Untuk Perubahan: Dari Produksi, Distribusi, Eksibisi, hingga Aksi oleh Docsociety, yang diterjemahkan In-Docs, dijelaskan bahwa diperlukan banyak mitra dalam melaksanakan distribusi berdampak. Mitra yang tepat dapat membantu tim distribusi dampak untuk memahami konteks di balik isu, kemungkinan solusi, menajamkan kampanye, dan pihak yang disasar.
“Kita akan ada 4 kolaborator. Jadi yang pertama itu fasilitator, dari NGO (Non Governmental Organization) ataupun komunitas yang bergerak di isu disabilitas. Terus ada changemaker, badan institusi yang memang memberikan pendanaan ataupun memberikan ruang buat perubahan. Setelah itu kita ada festival film, yang memang memutarkan film-film kita. Terus ada juga rekan pemutar tadi. Jadi kita pengen ada ruang-ruang pemutaran alternatif ataupun komunitas cinephile, ataupun ya komunitas anak muda yang memang ingin mengundang kita sebagai film.” Jelas Annisa terkait pihak yang dilibatkan dalam rencana distribusi berdampak film dokumenter pendek Senandung Senyap. Ia kemudian menambahkan tim Senandung Senyap juga akan membantu menghubungkan satu pihak dengan pihak lainnya, sehingga terbentuk rantai kerja sama yang lebih organik.
Namun, bukan usaha yang mudah untuk melaksanakan distribusi berdampak film dokumenter pendek Senandung Senyap. Jika program ini direncanakan untuk diadakan di banyak daerah, tentu perlu diketahui keberadaan Juru Bahasa Isyarat (JBI), sebab di beberapa daerah keberadaan JBI masih sangat minim. Seperti di Bali, yang menurut pemaparan Mufi, hanya ada 6 JBI. Selain itu, Sinta juga menambahkan bahwa program inklusif seringkali sulit diadakan karena permasalahan biaya, “karena selalu ada yang bilang, ‘inklusif itu mahal’. Bukan cuma di organisasi, di perusahaan selalu bilang inklusif itu mahal, karena harus bayar, bentuk apa, segala macam.”
Selayaknya distribusi impact, tentu ada dampak atau target yang ingin dicapai dalam pelaksanaan program ini. “Jadi harapannya, masyarakat ini sendiri juga bisa paham situasi teman-teman disabilitas. Karena masyarakat itu sebenarnya punya hak untuk harusnya menyesuaikan dengan teman-teman disabilitas. Nah mungkin harapannya dari program ini, tidak ada yang timpang satu sama lain entah masyarakat, entah teman-teman disabilitas tidak ada ketimpangan, tapi bagaimana perspektif antara Tuli dan dengar yang ingin kami gabungkan.” Jelas Mohammad Ismail terkait dampak yang ingin dicapai dari distribusi berdampak film dokumenter pendek Senandung Senyap. Ia juga berharap, program ini dapat mendorong orang Tuli untuk lebih percaya diri, sehingga akan lahir orang-orang seperti Mufi yang dapat mengembangkan bakatnya dan berkolaborasi dengan seniman dan profesi lainnya.
Senandung Senyap, pada akhirnya tidak hanya selesai ketika credit title. Bersama dengan tim yang namanya tentu muncul di credit title tersebut, dirancang sebuah upaya advokasi dan aktivasi film atas keresahan-keresahan para pembuatnya terkait situasi yang masih timpang bagi disabilitas, khususnya Tuli. Melalui distribusi berdampak ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk mengembangkan orang-orang, anak-anak, dan komunitas Tuli, serta masyarakat di sekelilingnya untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif.
Discussion about this post