Umpatan kasar. Relasi kuasa. Maskulin. Seksisme. Rasisme. Overtime. Overwork. Drama. Drama. Drama. Pokoknya, harus ada drama. Itulah suasana shooting toxic yang selama ini saya alami sebagai mahasiswa film semester enam. Budaya shooting toxic terjadi ketika ruang lingkup shooting gagal memberikan rasa aman dan nyaman bagi para kru yang terlibat.
Mungkin tidak semua proses shooting terdengar seburuk itu. Ada juga proses shooting sehat dan berupaya untuk menjadi ruang lingkup shooting yang menyenangkan. Meski begitu, saya belum pernah berada dalam lingkungan shooting yang sepenuhnya sehat, dan sepertinya keberadaan shooting sehat juga masih jarang ditemukan.
Salah satu film mengenai shooting yang berangkat dari cerminan kerja-kerja filmmaking Indonesia adalah What It Takes To Get A Shot (2021) yang disutradarai oleh Dito Prasetyo. Film ini merupakan salah satu film terpilih dalam program Indonesia Raja 2022: Jawa Barat dengan Kemala Astika sebagai programmer-nya. Sebagai mahasiswa film yang pernah terlibat dalam beberapa proses shooting, saya merasakan direpresentasikan. Keresahan yang saya miliki terhadap kerja-kerja filmmaking divalidasi.
Film yang diproduseri oleh Mondiblanc Advanced Directing Workshop ini menggambarkan sekilas tentang kerja-kerja filmmaking melalui cerita tentang upaya seorang aktor bernama Damar yang kesulitan dalam merealisasikan adegan romantis bersama pasangan mainnya. Hal-hal yang terjadi dalam film ini memiliki kemiripan dengan apa yang kerap saya saksikan di lokasi shooting, dan mungkin juga oleh orang-orang yang pernah terlibat dalam pembuatan film sebelumnya.
Dalam sebuah kerja kolektif, seringkali ada drama perselisihan di antara kru, yang seringkali menimbulkan reaksi negatif. What It Takes To Get A Shot mewujudkan drama ini dengan menciptakan konflik perbedaan pandangan kreatif antara aktor dan sutradara, yang kemudian menuai reaksi negatif dari sang sutradara dengan umpatan, “Anjing! Kok lo minta cut sih?!”.
Produksi film yang melelahkan membuat masing-masing kru mencari cara untuk menghibur diri sendiri. Terkadang, hiburan tersebut didapat secara tidak sehat, yaitu merendahkan orang lain agar dapat merasa lebih unggul. Bentuknya berbagai macam, mulai dari umpatan, sarkasme, hingga perilaku usil seperti yang terjadi dalam lokasi shooting-nya Damar.
What It Takes To Get A Shot juga memenuhi apa yang dikatakan Kemala Astika, programmer Indonesia Raja 2022: Jawa Barat, yaitu “Karakter dalam film-film ini berusaha mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan dan pikirkan. Ada yang berhasil, tapi ada juga yang tetap kebingungan sampai akhir.” Karakter-karakter dalam film ini gagal berkomunikasi efektif. Akibatnya memicu relasi buruk antar kru film dan mengakibatkan shooting yang penuh drama. Damar yang melakukan kesalahan bisa saja diberitahu dengan cara baik. Tapi respon yang Ia dapat adalah makian dari sutradara.
Di samping rangkaian peristiwa menyebalkan, cinta tetap dapat hadir. Di tengah hiruk pikuk kru film yang belum mandi dari sehari sebelumnya, mereka bertemu dari pagi hingga keesokan harinya. Melihat satu sama lain dalam kondisi paling kumal tidak mengurangi kemungkinan peristiwa cinta lokasi (cinlok) kerap terjadi saat shooting. Damar pun mengalamai cinlok, gugup berperan karena Ia menyukai lawan mainnya sendiri.
“Shooting kacrut (kacau), guys!” ujar salah satu kru yang berada di belakang kamera. What It Takes To Get A Shot sadar betapa sering kacrutnya sebuah proses pembuatan film. Hal ini digunakan sebagai peluang untuk memberikan dimensi dalam bercerita mengenai proses pembuatan film. Film ini menjadi bentuk refleksi diri bagi para pekerja film dengan menertawakan ketidaksempurnaan. Sebuah pengingat bahwa ada banyak hal yang perlu dibenahi untuk menciptakan ekosistem film yang baik.
Dari pengalaman saya mengalami beberapa kali shooting, shooting toxic banyak disebabkan relasi kuasa. Sebagai industri kreatif yang masih didominasi oleh laki-laki patriarkis, budaya shooting yang misoginis pun dilestarikan. Cat-calling kru perempuan, kru LGBT jadi bahan bercanda tongkrongan dan skeptisisme terhadap pendapat/hasil kerja kru dari kelompok marjinal.
Tambah parah lagi karena banyak kontrak kerja yang tidak menyediakan perlindungan upah, asuransi, dan kompensasi lembur. Meski tidak mendalam, What It Takes To Get A Shot menggambarkan kebudayaan buruk ini melalui sikap-sikap karakternya dalam menanggapi sebuah konflik di lokasi shooting.
Kabar baiknya, upaya untuk menciptakan ekosistem film yang baik dan aman kini mulai dikampanyekan. Salah satunya adalah ‘Ruang Aman Sinema’, kampanye anti kekerasan seksual yang menyuarakan pentingnya semua insan perfilman untuk berkomitmen mengedukasi diri dan berpihak kepada penyintas kekerasan seksual di lingkungan produksi.
Gerakan lainnya adalah Semangat Solidaritas, kerja advokasi yang bertujuan untuk perlindungan hak pekerja film Indonesia, salah satunya adalah dengan pembatasan waktu kerja maksimal 14 jam. Akhirnya, selain merayakan ketidaksempurnaan, saya berharap kehadiran film ini dapat memicu perbincangan dan aksi nyata dalam ekosistem perfilman Indonesia.
Discussion about this post