Hampir empat tahun tinggal di Yogyakarta, istilah-istilah seperti nrima ing pan(k)dum, manunggaling kawula gusti, dan relasi Merapi dengan Mbah Marijan sering saya dengar di sekitaran masyarakat Kota Gudeg ini. Istilah-istilah ini kembali mondar mandir di kepala saya seusai menonton film pendek animasi Serangan Oemoem (Bro Dragon, The City is Under Attack!) (2022) yang digarap oleh Fajar Martha Santosa. Saya berkesempatan menonton film ini karena mengikuti program Residensi Minikino X Toko Seniman Denpasar dari tanggal 27 Juni – 2 Juli 2023, menonton film sambil minum kopi, indie! Saya menonton film-film pendek Indonesia Raja 2023 selama dua hari dan di hari kedua akhirnya saya memutuskan untuk memilih film animasi pendek dalam Indonesia Raja 2023 D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah yang diprogram oleh Gerry Junus.
Jujur, setelah menonton film ini saya terhibur sekaligus ditarik memori akan jejak-jejak rasa saat pertama kali minum kopi joss di pinggir rel kereta di Jogja, abstrak tapi nyata. Cerita dalam film diawali dengan tiga orang sahabat bernama Gani, Sulis, dan Boba yang sedang bermain engklek di suatu halaman luas. Menggunakan photography dalam membuat latar, sehingga latar film tampak nyata, sedangkan ketiga tokoh di atas adalah sosok sentral dalam wujud animasi. Nah, keseruan ditambah dengan hadirnya sosok naga chill nan relax yang akan menjadi penyelamat kota Yogyakarta.
Alasan lain yang semakin memantapkan saya memilih film animasi pendek ini dikuatkan dari hasil obrolan bersama Edo Wulia dari Minikino. Menurutnya, melalui animasi kita membantu menciptakan animasi sebagai alih wahana, sarana edukasi yang melibatkan anak-anak. Bagi Edo, anak-anak sangat penting untuk masa depan sinema terutama sinema dalam negeri, harapannya terus berumur panjang.
Dengan mengusung latar kehidupan masyarakat Jawa khususnya di DI Yogyakarta, film animasi pendek ini menampilkan pelestarian nilai-nilai leluhur dan kesetiaan. Konsep pengabdian penuh rakyat kepada Sultan, sosok mistis di sekitarnya yaitu Gunung Merapi dan Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan di Laut Selatan). Saya mencoba menghubungkan narasi Gunung Merapi dan naga dengan penjelasan ilmiah dari penelitian Antropologi yang ditulis oleh Eko Punto Hendro (2018) mengenai “Religiusitas Gunung Merapi” dalam jurnal Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi. Disebutkan bahwa sampai saat ini pandangan masyarakat Jawa dalam menyikapi kehidupannya sering diwarnai oleh pemikiran kosmis tentang jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gede (makrokosmos), hal ini yang membuat sangat masuk akal apabila masyarakat Jawa khususnya di Yogyakarta masih mengkeramatkan gunung dan menganggapnya simbol religiusitas.
Mengupas sisi sinematik animasi ini, objek-objek nyata seperti hamparan rumah di pinggir Kali Code, kasur, halaman bermain, sungai, dan gunung yang disatukan dengan tokoh-tokoh berwujud animasi terasa segar dan mencuri perhatian. Lalu kehadiran Mas Nogo (Bro Dragon) yang bisa disebut penyelamat tak lepas dari kepercayaan masyarakat Yogyakarta yang diceritakan dalam film bahwa sesungguhnya Gunung Merapi yang sakral itu dijaga oleh sesosok naga, diceritakan sang naga ngubengi atau mengitari salah satu gunung api teraktif di Indonesia.
Keberadaan naga yang menjaga Gunung Merapi, percaya atau tidak diperkuat dengan mitos-mitos yang sampai hari ini hidup di masyarakat setempat, yaitu sosok naga penjaga yang bernama Naga Antaboga atau Eyang Antaboga. Naga Antaboga bertugas menjaga keseimbangan gunung juga masyarakat yang tinggal disekitarnya agar tidak tenggelam ke dalam bumi. Hal-hal ini diproyeksikan menjadi animasi dan memang ia berhasil menghancurkan monster sebagai wujud kejahatan. Dengan bermahkota seperti ksatria jawa dan jurus-jurus ajaibnya sembari mesem, pantaslah sang naga masuk menjadi salah satu elemen penting cerita.
Animasi film pendek yang digarap tahun 2022 ini juga cukup kritis dengan menyisipkan label “manusia modern”. Diakui manusia modern memang masih suka ngeyel. Seperti ucapan Gani “aku kan modern” adakalanya modernitas membentuk dan menciptakan manusia yang seenaknya tanpa kita sadari. Persoalan riil yang baru-baru ini dirasakan penduduk Indonesia yaitu cuaca yang akhir-akhir ini semakin panas, hujan tiba-tiba datang di bulan-bulan yang seharusnya musim panas, ditambah cepat mencairnya es krim yang sedang dinikmati Gani di dalam film ini, hmm. Efek pemanasan global riil bosku, masih mau ngeyel?
Mengendapkan Rasa
Menyambung soal rasa dan menonton film pendek, pengalaman saya mencicipi rasa kopi sampai hari kelima residensi juga begitu manis dan membenamkan saya ke sudut-sudut melankolis. Mengolah buah kopi menjadi green bean kemudian lanjut proses roasting dan penyajian sedemikian rupa dengan alat, mesin, atau teknik tertentu. Hingga akhirnya secangkir kopi hangat atau sebotol kopi dingin diantar ke meja memang sangat layak diromantisasi. Pengalaman cupping selama dua hari juga icip-icip rasa kopi melalui orderan pribadi, mempertemukan saya dengan Kintamanis. Mas Insan, sebagai koordinator residensi dari Toko Seniman, yang menjembatani pertemuan saya dengan Kintamanis (terima kasih Mas!). Dari awal hingga akhir menonton film Serangan Oemoem (Bro Dragon, The City is Under Attack!), saya membayangkan menonton film animasi pendek ini bersama keluarga di hari Minggu.
Body kopi Kintamanis yang cenderung light dan balance akan sempurna dirayakan dengan sajian dalam format kopi panas. Enam belas menit yang menyenangkan untuk memperkenalkan film animasi dalam negeri ini kepada remaja Indonesia. Melalui lidah saya menemukan sensasi Kintamanis yang riang dan ringan. Salah satu varian natural origin Bali milik Toko Seniman yang segar seperti teh, kalau kata Mas Insan dan barista kopi di toko, Kintamanis ini meninggalkan jejak rasa fruity buah berry, seperti ngeteh tapi ini kopi. Jadi, sebenarnya ini kopi atau teh?
Hujan selama dua malam di Toko Seniman menemani proses penemuan pada persamaan kata pada judul film Serangan Oemoem dengan peristiwa sejarah yang terjadi di Yogyakarta yaitu Serangan Umum 1 Maret 1949. Saya rasa film animasi pendek ini dibuat untuk memperingati tujuan yang sama yaitu merebut dan mempertahankan. Manifestasi peristiwa sejarah ke dalam wujud animasi modern, menghadirkan trio menggemaskan Gani, Sulis, dan Boba yang dengan berani mencari sampai menemukan superhero kota, yaitu Naga Antaboga.
Mereka ingin merebut kembali kedamaian dan menyelamatkan orang juga hal-hal yang mereka cintai, yaitu orang tua, kehidupan, atau barang duniawi, seperti yang diutarakan nenek Sulis di dalam film. Agaknya menjentik batin saya. Filosofi nrimo ing pandum kontra dengan cara-cara hidup nrimo. Manusia modern sekarang suka dengan hal-hal yang riil, hal-hal yang nampak abstrak dan filosofis terasa seperti berat untuk diperjuangkan, enggak riil. Apakah terjadi pergeseran dalam upaya mewujudkan kedamaian batin di era rekam dan unggah saat ini? Mungkin bisa dijawab sendiri dalam hati.
Terakhir sebelum kembali diserang realita, saya tutup tulisan apresiasi kepada film Serangan Oemoem (Bro Dragon, The City is Under Attack!) dengan penggalan lirik lagu milik Geng Kobra (GK). GK merupakan salah satu band lokal asal Solo dan sekarang tinggal di Yogyakarta. Mereka juga menyanyikan puisi-puisi berbahasa Jawa dan lirik lagu GK menggunakan bahasa Jawa sehari-hari atau ngoko. Salah satu lagu yang saya kutip berjudul Ning Nong Ning Gung:
“ Ning-nong-ning-gung, Pak Bayan
Nasi jagung, ngga doyan
Biar semua kebagian
Jangan pada berebutan
Jaman kemajuan, maju bener atau bohongan? Huh!”
Holopis kuntul baris, panase mbok uwis!
1 Juli 2023
pukul sembilan malam
masih hujan di Toko Seniman Denpasar
Discussion about this post