Rumah dapat dipahami sebagai konsep yang abstrak karena maknanya—baik secara literal maupun figuratif—sangat luas dan terkait dengan hal-hal yang personal. Tetapi, berbagai jenis interpretasi dapat bermuara pada satu makna: rumah ialah tempat di mana kita merasa nyaman dan terlindung. Dari makna tersebut, maka negara dapat dianggap sebagai rumah bagi warganya, namun banyak negara gagal menjadi rumah yang layak ditinggali. Hal ini kemudian memaksa sebagian kecil (atau besar) warganya untuk pergi, bermigrasi mencari “rumah” baru, melahirkan berbagai kelompok diaspora di berbagai belahan dunia.
Kisah karakter diaspora juga sering dituturkan dalam medium film. Tipikal cerita yang diangkat cenderung serupa, yakni menyorot kebebasan dan hak hidup kelompok diaspora yang dibatasi, karena dianggap asing oleh lingkungan tempat mereka tinggal, tempat di mana mereka seharusnya terlindungi.
Sebut saja film My Small Land (2022) karya Emma Kawawada yang bercerita tentang seorang gadis pengungsi dari keluarga Kurdi yang tidak mendapatkan dukungan apapun dari lingkungannya, saat keluarganya terancam dipulangkan oleh pemerintah Jepang. Atau mari mundur ke 1990-an, Mississippi Masala (1991) karya Mira Nair mengangkat kisah keluarga berketurunan India yang harus terusir dari Uganda karena kebijakan negara, menghasilkan sentimen terhadap ras kulit hitam meskipun hidup berdampingan di Amerika Serikat setelahnya.
Di tengah isu tersebut, Between Two Islands (2023) karya Hideki Miyazaki menghadirkan sudut pandang alternatif terhadap kelompok diaspora. Film pendek ini membawakan kisah coming-of-age Sayu, seorang remaja perempuan Kuba berketurunan Jepang, yang dihadapkan dengan kemungkinan bahwa ia harus meninggalkan negara yang dicintainya. Kembali ke Jepang, tempat yang menurut keluarganya lebih baik bagi dirinya.
Revolusi dan Identitas
Berbeda dengan My Small Land, Sayu dalam Between Two Island lebih mirip Mina dalam Mississippi Masala. Keduanya adalah karakter diaspora yang teridentifikasi dan terangkul. Mina oleh kultur Afrika-Amerika, dan Sayu oleh kultur Kuba. Gaya berbicara, cara berpakaian, hingga hobinya bermain skateboard nyaris menyamarkan perbedaan fisiknya. Sayu dihargai dan diakui sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungannya.
Kelompok diaspora Jepang (Nikkei People) datang pertama kali ke Kuba pada 1910-an. Setelah dipandang sebagai “musuh nasional” selama Perang Dunia Ke-2, para Nikkei pada akhirnya diakui identitasnya setelah Revolusi Kuba melalui pernyataan, “The Revolution is color-blind”. Revolusi tersebut memperkuat identitas Nikkei di Kuba, dengan memandang mereka sama dengan yang lainnya, yakni sebagai warga Kuba (Cuban). Revolusi Kuba mengakhiri pelabelan Nikkei sebagai musuh nasional, sekaligus awal dari kedekatan mereka dengan warga Kuba yang didasari oleh pandangan kesetaraan.
Sayu menjadi bukti bahwa pengaruh positif Revolusi Kuba tersebut masih mengakar dalam kehidupan masyarakatnya hingga sekarang. Akan tetapi, pengaruh ini tidak berlaku merata di seluruh masyarakatnya. Hal ini pun tidak luput dari kacamata Miyazaki sebagai sutradara dalam membingkai Kuba.
Dalam satu adegan, seseorang tak dikenal mempertanyakan darimana Sayu berasal, seusai dirinya bermain skateboard. Pertanyaan tersebut muncul dari rasa ingin tahu mengenai Sayu yang memiliki ciri fisik yang berbeda. Namun, intonasi dari pertanyaan tersebut mengubah maksudnya menjadi lebih dari sekadar rasa ingin tahu, melainkan menjadi bentuk mikroagresi. Pertanyaan ini mereduksi kompleksitas identitas Sayu sebagai seorang Nikkei, mengesampingkan banyak faktor yang membuat dirinya unik. Sayu kemudian hanya dipandang sebatas bagian dari ras lain yang “bukan dari sini (Kuba)”, disertai dengan sebongkah stigma terhadap ras tersebut.
Pada akhirnya, bentuk mikroagresi ini menjadi bagian dari pola tindakan rasisme yang secara tak sadar hadir dalam interaksi dengan kelompok diaspora. Pertanyaan seperti ini kemudian dinormalisasi karena dianggap tidak berdampak serius, yang mana anggapan tersebut jauh dari kata tepat.
Meski nada tegas dalam jawaban Sayu mengindikasikan bentuk mikro agresi semacam itu kerap ia terima, hal tersebut akan selalu meninggalkan dampak terhadap mentalnya. Ditambah lagi dengan situasi keluarga yang memaksa dirinya untuk kembali ke Jepang, pertanyaan tersebut meninggalkan bising yang tak biasa. Terduduk melamun dekat pantai, Sayu berharap angin laut dapat menyamarkan bising pertanyaan tentang identitas dan tempat tinggal yang memenuhi kepalanya.
Lantunan Personal
Ketika kenyamanan Sayu untuk tinggal di Kuba, dipertanyakan dan bahkan terancam diambil setelah menerima telepon dari ayahnya, Sayu pergi mencari tempat berkeluh kesah. Tempat itu, tak lain ialah lingkungan pertemanannya. Diiringi ritme gitar yang dimainkan seorang temannya, Sayu mencurahkan isi hatinya melalui nyanyian, menyatakan perasaannya terhadap Kuba dengan kata yang lebih kuat dari “nyaman”, yakni “cinta”.
Lirik-lirik yang dinyanyikan (atau diciptakan) oleh Sayu, terasa seperti dilema yang selama ini ia simpan sendiri. Dilema tentang apakah ia harus mendengarkan pandangan orang, atau mengikuti rasa cintanya, dalam mengutuhkan identitas dan tempat tinggalnya. Nada dasar lagu yang ia atur sebelum bernyanyi, serta sudut pandang “aku” yang digunakan dalam lirik, memperkuat kesan personalnya sekaligus memungkinkan bahwa lagu tersebut adalah ciptaannya sendiri.
Bila lantunan cinta itu ciptaan Sayu, otomatis juga merupakan ciptaan Hideki Miyazaki, sang sutradara yang sendirinya adalah orang Kuba berketurunan Jepang. Sebuah sentuhan personal yang manis di antara kumpulan sentuhan Miyazaki di dalam film ini. Salah satunya, untuk menjustifikasi kenyamanan dan kecintaan Sayu, Miyazaki tidak menggambarkan Kuba secara berlebihan. Sebaliknya, Kuba digambarkan apa adanya, tanpa mengeksploitasi imajinasi yang memandang Kuba sebagai negara yang eksotis, cantik, dan warna-warni khas bayangan orang Eropa.
Miyazaki menghadirkan sudut pandangnya sebagai orang yang tinggal di Kuba dan tumbuh di dalamnya. Kenyamanan dan kecintaan yang dirasakan Sayu (dan Miyazaki), digambarkan berasal dari hal yang menghidupkan sudut-sudut kota itu sendiri, yakni kultur dan masyarakatnya.
Between Two Islands terasa seperti sebuah ungkapan cinta dari Hideki Miyazaki, kepada semua warga Kuba yang telah merangkulnya selama proses pembentukan identitasnya yang penuh gejolak dan pertanyaan. Pengemasannya yang personal mampu menjamah sisi-sisi emosional yang mungkin tidak bisa dijamah oleh film dengan pendekatan berbeda. Meski begitu, hal ini tidak melemahkan apa yang ingin disampaikan olehnya. Sebaliknya, film ini mampu beresonansi dengan lebih banyak orang, menyadarkan bahwa selama ini kelompok diaspora luput dari perbincangan tentang narasi inklusivitas.
Film ditutup dengan sebuah long take, menyorot Sayu dari belakang yang sedang berjalan menyusuri jalanan kota. Dikelilingi bangunan-bangunan khas arsitektur Kuba, Sayu berjalan dengan gestur penuh percaya diri. Melangkah dengan pasti seakan ia mengenal setiap titik di sana, di rumahnya. Seiring adegan berjalan, perlahan Sayu menyatu dengan sekitarnya, mengutuhkan identitasnya sebagai orang Kuba.
Discussion about this post