• MINIKINO.ORG
    • FILM WEEK
    • INDONESIA RAJA
    • BEGADANG
    Minikino
    • Home
    • SHORT FILMS
      Still Acung Memilih Bersuara (2023) arahan Amelia Hapsari (dok: Layar Tala Media & Two Islands Digital)

      Mempersoalkan Politik Film Lewat “Film Politik” Acung Memilih Bersuara (2023)

      The Story of Chaos karya Quek Yu Qing di MMSD Agustus 2023: Cartoon Underground di MASH Denpasar (14/08/2023) (dok: Felix/Minikino)

      Cartoons Underground dan Mitos-Mitos Urban

      Still Blue Poetry (2023) arahan Muhammad Heri Fadli (dok: Layar Anak Nusantara & Chendooll Imaginations)

      Latihan Berpikir Positif tentang Krisis Iklim Bersama Blue Poetry (2023)

      Still Film of The Wedding Ring (2022) directed by Robin Narciso (Doc: ReFashion)

      Wandering Through Memories of The Pandemic in The Wedding Ring (2022)

      Still Film Senandung Senyap (A Sonorous Melody) (2022) karya Riani Singgih (dok: Inteamates)

      Senandung Senyap (2022): Merekam Gerak, Menyanyi Lewat Isyarat

      Still Film One Day in Lim Chu Kang (2022) karya Michael Kam (dok: Michael Kam)

      One Day in Lim Chu Kang (2022): Memori yang Terkubur Modernisasi

      Still Film of All My Scars Vanish in the Wind (Todas Mis Cicatrices se Desvanecen en el Viento) (2022) by Angélica Restrepo & Carlos Velandia (Doc: Minikino)

      All My Scars Vanish in the Wind (2022): Of Memories and Subjectivity

      Still Film Every Floor Looks The Same (2022) arahan Gladys Ng (dok: Minikino)

      Mengenal Osmanthüs, Wujud Manusia Modern Yang Bergerak di Every Floor Looks The Same (2022)

      Still Film of File (Parvandeh) (2022) directed by Sonia K. Hadad (Doc: Minikino)

      File (2022): The Act of Silence

    • NOTES
    • INTERVIEWS
    • INTERNATIONAL
    • OPINION
    • CONTACT
    No Result
    View All Result
    Minikino Articles
    • Home
    • SHORT FILMS
      Still Acung Memilih Bersuara (2023) arahan Amelia Hapsari (dok: Layar Tala Media & Two Islands Digital)

      Mempersoalkan Politik Film Lewat “Film Politik” Acung Memilih Bersuara (2023)

      The Story of Chaos karya Quek Yu Qing di MMSD Agustus 2023: Cartoon Underground di MASH Denpasar (14/08/2023) (dok: Felix/Minikino)

      Cartoons Underground dan Mitos-Mitos Urban

      Still Blue Poetry (2023) arahan Muhammad Heri Fadli (dok: Layar Anak Nusantara & Chendooll Imaginations)

      Latihan Berpikir Positif tentang Krisis Iklim Bersama Blue Poetry (2023)

      Still Film of The Wedding Ring (2022) directed by Robin Narciso (Doc: ReFashion)

      Wandering Through Memories of The Pandemic in The Wedding Ring (2022)

      Still Film Senandung Senyap (A Sonorous Melody) (2022) karya Riani Singgih (dok: Inteamates)

      Senandung Senyap (2022): Merekam Gerak, Menyanyi Lewat Isyarat

      Still Film One Day in Lim Chu Kang (2022) karya Michael Kam (dok: Michael Kam)

      One Day in Lim Chu Kang (2022): Memori yang Terkubur Modernisasi

      Still Film of All My Scars Vanish in the Wind (Todas Mis Cicatrices se Desvanecen en el Viento) (2022) by Angélica Restrepo & Carlos Velandia (Doc: Minikino)

      All My Scars Vanish in the Wind (2022): Of Memories and Subjectivity

      Still Film Every Floor Looks The Same (2022) arahan Gladys Ng (dok: Minikino)

      Mengenal Osmanthüs, Wujud Manusia Modern Yang Bergerak di Every Floor Looks The Same (2022)

      Still Film of File (Parvandeh) (2022) directed by Sonia K. Hadad (Doc: Minikino)

      File (2022): The Act of Silence

    • NOTES
    • INTERVIEWS
    • INTERNATIONAL
    • OPINION
    • CONTACT
    No Result
    View All Result
    Minikino
    No Result
    View All Result
    Home SHORT FILMS

    Between Two Islands (2023): Diaspora dan Pencarian Identitas Yang Utuh

    Felix Dustin by Felix Dustin
    August 23, 2023
    in SHORT FILMS
    Reading Time: 5 mins read
    Still Film Between Two Islands (2023) arahan Hideki Miyazaki (dok: Minikino)

    Still Film Between Two Islands (2023) arahan Hideki Miyazaki (dok: Minikino)

    Rumah dapat dipahami sebagai konsep yang abstrak karena maknanya—baik secara literal maupun figuratif—sangat luas dan terkait dengan hal-hal yang personal. Tetapi, berbagai jenis interpretasi dapat bermuara pada satu makna: rumah ialah tempat di mana kita merasa nyaman dan terlindung. Dari makna tersebut, maka negara dapat dianggap sebagai rumah bagi warganya, namun banyak negara gagal menjadi rumah yang layak ditinggali. Hal ini kemudian memaksa sebagian kecil (atau besar) warganya untuk pergi, bermigrasi mencari “rumah” baru, melahirkan berbagai kelompok diaspora di berbagai belahan dunia.

    Kisah karakter diaspora juga sering dituturkan dalam medium film. Tipikal cerita yang diangkat cenderung serupa, yakni menyorot kebebasan dan hak hidup kelompok diaspora yang dibatasi, karena dianggap asing oleh lingkungan tempat mereka tinggal, tempat di mana mereka seharusnya terlindungi.

    Sebut saja film My Small Land (2022) karya Emma Kawawada yang bercerita tentang seorang gadis pengungsi dari keluarga Kurdi yang tidak mendapatkan dukungan apapun dari lingkungannya, saat keluarganya terancam dipulangkan oleh pemerintah Jepang. Atau mari mundur ke 1990-an, Mississippi Masala (1991) karya Mira Nair mengangkat kisah keluarga berketurunan India yang harus terusir dari Uganda karena kebijakan negara, menghasilkan sentimen terhadap ras kulit hitam meskipun hidup berdampingan di Amerika Serikat setelahnya. 

    Di tengah isu tersebut, Between Two Islands (2023) karya Hideki Miyazaki menghadirkan sudut pandang alternatif terhadap kelompok diaspora. Film pendek ini membawakan kisah coming-of-age Sayu, seorang remaja perempuan Kuba berketurunan Jepang, yang dihadapkan dengan kemungkinan bahwa ia harus meninggalkan negara yang dicintainya. Kembali ke Jepang, tempat yang menurut keluarganya lebih baik bagi dirinya. 

    Revolusi dan Identitas  

    Berbeda dengan My Small Land, Sayu dalam Between Two Island lebih mirip Mina dalam Mississippi Masala. Keduanya adalah karakter diaspora yang teridentifikasi dan terangkul. Mina oleh kultur Afrika-Amerika, dan Sayu oleh kultur Kuba. Gaya berbicara, cara berpakaian, hingga hobinya bermain skateboard nyaris menyamarkan perbedaan fisiknya. Sayu dihargai dan diakui sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungannya. 

    Kelompok diaspora Jepang (Nikkei People) datang pertama kali ke Kuba pada 1910-an. Setelah dipandang sebagai “musuh nasional” selama Perang Dunia Ke-2, para Nikkei pada akhirnya diakui identitasnya setelah Revolusi Kuba melalui pernyataan, “The Revolution is color-blind”. Revolusi tersebut memperkuat identitas Nikkei di Kuba, dengan memandang mereka sama dengan yang lainnya, yakni sebagai warga Kuba (Cuban). Revolusi Kuba mengakhiri pelabelan Nikkei sebagai musuh nasional, sekaligus awal dari kedekatan mereka dengan warga Kuba yang didasari oleh pandangan kesetaraan.

    Sayu menjadi bukti bahwa pengaruh positif Revolusi Kuba tersebut masih mengakar dalam kehidupan masyarakatnya hingga sekarang. Akan tetapi, pengaruh ini tidak berlaku merata di seluruh masyarakatnya. Hal ini pun tidak luput dari kacamata Miyazaki sebagai sutradara dalam membingkai Kuba.

    Still Film Between Two Islands (2023) arahan Hideki Miyazaki (dok: Minikino)

    Dalam satu adegan, seseorang tak dikenal mempertanyakan darimana Sayu berasal, seusai dirinya bermain skateboard. Pertanyaan tersebut muncul dari rasa ingin tahu mengenai Sayu yang memiliki ciri fisik yang berbeda. Namun, intonasi dari pertanyaan tersebut mengubah maksudnya menjadi lebih dari sekadar rasa ingin tahu, melainkan menjadi bentuk mikroagresi. Pertanyaan ini mereduksi kompleksitas identitas Sayu sebagai seorang Nikkei, mengesampingkan banyak faktor yang membuat dirinya unik. Sayu kemudian hanya dipandang sebatas bagian dari ras lain yang “bukan dari sini (Kuba)”, disertai dengan sebongkah stigma terhadap ras tersebut. 

    Pada akhirnya, bentuk mikroagresi ini menjadi bagian dari pola tindakan rasisme yang secara tak sadar hadir dalam interaksi dengan kelompok diaspora. Pertanyaan seperti ini kemudian dinormalisasi karena dianggap tidak berdampak serius, yang mana anggapan tersebut jauh dari kata tepat. 

    Meski nada tegas dalam jawaban Sayu mengindikasikan bentuk mikro agresi semacam itu kerap ia terima, hal tersebut akan selalu meninggalkan dampak terhadap mentalnya. Ditambah lagi dengan situasi keluarga yang memaksa dirinya untuk kembali ke Jepang, pertanyaan tersebut meninggalkan bising yang tak biasa. Terduduk melamun dekat pantai, Sayu berharap angin laut dapat menyamarkan bising pertanyaan tentang identitas dan tempat tinggal yang memenuhi kepalanya. 

    Lantunan Personal

    Ketika kenyamanan Sayu untuk tinggal di Kuba, dipertanyakan dan bahkan terancam diambil setelah menerima telepon dari ayahnya, Sayu pergi mencari tempat berkeluh kesah. Tempat itu, tak lain ialah lingkungan pertemanannya. Diiringi ritme gitar yang dimainkan seorang temannya, Sayu mencurahkan isi hatinya melalui nyanyian, menyatakan perasaannya terhadap Kuba dengan kata yang lebih kuat dari “nyaman”, yakni “cinta”. 

    Lirik-lirik yang dinyanyikan (atau diciptakan) oleh Sayu, terasa seperti dilema yang selama ini ia simpan sendiri. Dilema tentang apakah ia harus mendengarkan pandangan orang, atau mengikuti rasa cintanya, dalam mengutuhkan identitas dan tempat tinggalnya. Nada dasar lagu yang ia atur sebelum bernyanyi, serta sudut pandang “aku” yang digunakan dalam lirik, memperkuat kesan personalnya sekaligus memungkinkan bahwa lagu tersebut adalah ciptaannya sendiri. 

    Bila lantunan cinta itu ciptaan Sayu, otomatis juga merupakan ciptaan Hideki Miyazaki, sang sutradara yang sendirinya adalah orang Kuba berketurunan Jepang. Sebuah sentuhan personal yang manis di antara kumpulan sentuhan Miyazaki di dalam film ini. Salah satunya, untuk menjustifikasi kenyamanan dan kecintaan Sayu, Miyazaki tidak menggambarkan Kuba secara berlebihan. Sebaliknya, Kuba digambarkan apa adanya, tanpa mengeksploitasi imajinasi yang memandang Kuba sebagai negara yang eksotis, cantik, dan warna-warni khas bayangan orang Eropa. 

    Miyazaki menghadirkan sudut pandangnya sebagai orang yang tinggal di Kuba dan tumbuh di dalamnya. Kenyamanan dan kecintaan yang dirasakan Sayu (dan Miyazaki), digambarkan berasal dari hal yang menghidupkan sudut-sudut kota itu sendiri, yakni kultur dan masyarakatnya. 

    Between Two Islands terasa seperti sebuah ungkapan cinta dari Hideki Miyazaki, kepada semua warga Kuba yang telah merangkulnya selama proses pembentukan identitasnya yang penuh gejolak dan pertanyaan. Pengemasannya yang personal mampu menjamah sisi-sisi emosional yang mungkin tidak bisa dijamah oleh film dengan pendekatan berbeda. Meski begitu, hal ini tidak melemahkan apa yang ingin disampaikan olehnya. Sebaliknya, film ini mampu beresonansi dengan lebih banyak orang, menyadarkan bahwa selama ini kelompok diaspora luput dari perbincangan tentang narasi inklusivitas. 

    Film ditutup dengan sebuah long take, menyorot Sayu dari belakang yang sedang berjalan menyusuri jalanan kota. Dikelilingi bangunan-bangunan khas arsitektur Kuba, Sayu berjalan dengan gestur penuh percaya diri. Melangkah dengan pasti seakan ia mengenal setiap titik di sana, di rumahnya. Seiring adegan berjalan, perlahan Sayu menyatu dengan sekitarnya, mengutuhkan identitasnya sebagai orang Kuba. 

    Editor: Bintang Panglima
    Penulis merupakan salah satu dari empat peserta terpilih Minikino Hybrid Internship for Film Festival Writers (May-November 2023). Between Two Islands adalah film yang terpilih dalam program internasional “Boundaries”, di Minikino Film Week 9. Untuk informasi lebih lanjut https://minikino.org/filmweek/2023-official-selections
    Tags: Amerika LatinBetween Two IslandsDiasporafilm pendekHideki MiyazakiKubaMinikino Film Week
    ShareTweetShare
    Previous Post

    Will You Look at Me (2022): When Looking Becomes Painful

    Next Post

    Zarzal (2022): Keluarga dan Hal-Hal yang Disembunyikan

    Felix Dustin

    Felix Dustin

    Felix is a final-year film student in Multimedia Nusantara University. Previously a scriptwriter and a film festival enthusiast, in 2023 he got the chance to participate in UCIFEST 14 as the Competition Film Programmer. Since then, he aspires to work in the film festival ecosystem while still likes to write short film script in his free time.

    Related Posts

    Still Acung Memilih Bersuara (2023) arahan Amelia Hapsari (dok: Layar Tala Media & Two Islands Digital)

    Mempersoalkan Politik Film Lewat “Film Politik” Acung Memilih Bersuara (2023)

    September 19, 2023
    The Story of Chaos karya Quek Yu Qing di MMSD Agustus 2023: Cartoon Underground di MASH Denpasar (14/08/2023) (dok: Felix/Minikino)

    Cartoons Underground dan Mitos-Mitos Urban

    September 12, 2023
    Still Blue Poetry (2023) arahan Muhammad Heri Fadli (dok: Layar Anak Nusantara & Chendooll Imaginations)

    Latihan Berpikir Positif tentang Krisis Iklim Bersama Blue Poetry (2023)

    September 11, 2023
    Still Film of The Wedding Ring (2022) directed by Robin Narciso (Doc: ReFashion)

    Wandering Through Memories of The Pandemic in The Wedding Ring (2022)

    September 8, 2023
    Still Film Senandung Senyap (A Sonorous Melody) (2022) karya Riani Singgih (dok: Inteamates)

    Senandung Senyap (2022): Merekam Gerak, Menyanyi Lewat Isyarat

    September 7, 2023
    Still Film One Day in Lim Chu Kang (2022) karya Michael Kam (dok: Michael Kam)

    One Day in Lim Chu Kang (2022): Memori yang Terkubur Modernisasi

    September 6, 2023

    Discussion about this post

    Archives

    Kirim

    Siapapun boleh ikutan meramaikan halaman artikel di minikino.org.

    Silahkan kirim artikel anda ke info@minikino.org. Isinya bebas, mau berbagi, review film pendek, curhat, kritik, saran, asalkan masih dalam lingkup kegiatan-kegiatan yang dilakukan Minikino, film pendek, dan budaya sinema. Agar halaman ini bisa menjadi catatan bersama untuk kerja yang lebih baik lagi ke depan.

    • Trending
    • Comments
    • Latest
    Pemutaraan MFW8 Inclusive Cinema (dok: Kresnanta/Minikino)

    Melihat Festival Film Pendek (yang Inklusif) Bekerja

    September 26, 2022
    Still Film Every Floor Looks The Same (2022) arahan Gladys Ng (dok: Minikino)

    Mengenal Osmanthüs, Wujud Manusia Modern Yang Bergerak di Every Floor Looks The Same (2022)

    August 30, 2023
    Still Film Senandung Senyap (A Sonorous Melody) (2022) karya Riani Singgih (dok: Inteamates)

    Senandung Senyap (2022): Merekam Gerak, Menyanyi Lewat Isyarat

    September 7, 2023
    Still Blue Poetry (2023) arahan Muhammad Heri Fadli (dok: Layar Anak Nusantara & Chendooll Imaginations)

    Latihan Berpikir Positif tentang Krisis Iklim Bersama Blue Poetry (2023)

    September 11, 2023
    Still Film of The Wedding Ring (2022) directed by Robin Narciso (Doc: ReFashion)

    Wandering Through Memories of The Pandemic in The Wedding Ring (2022)

    September 8, 2023
    Still Acung Memilih Bersuara (2023) arahan Amelia Hapsari (dok: Layar Tala Media & Two Islands Digital)

    Mempersoalkan Politik Film Lewat “Film Politik” Acung Memilih Bersuara (2023)

    September 19, 2023
    The Story of Chaos karya Quek Yu Qing di MMSD Agustus 2023: Cartoon Underground di MASH Denpasar (14/08/2023) (dok: Felix/Minikino)

    Cartoons Underground dan Mitos-Mitos Urban

    September 12, 2023
    Still Blue Poetry (2023) arahan Muhammad Heri Fadli (dok: Layar Anak Nusantara & Chendooll Imaginations)

    Latihan Berpikir Positif tentang Krisis Iklim Bersama Blue Poetry (2023)

    September 11, 2023
    Still Film of The Wedding Ring (2022) directed by Robin Narciso (Doc: ReFashion)

    Wandering Through Memories of The Pandemic in The Wedding Ring (2022)

    September 8, 2023
    Still Film Senandung Senyap (A Sonorous Melody) (2022) karya Riani Singgih (dok: Inteamates)

    Senandung Senyap (2022): Merekam Gerak, Menyanyi Lewat Isyarat

    September 7, 2023

    ABOUT US

    Minikino is an Indonesia’s short film festival organization with an international networking. We works throughout the year, arranging and organizing various forms of short film festivals and its supporting activities with their own sub-focus.

    Follow us

    LATEST ARTICLES

    • Mempersoalkan Politik Film Lewat “Film Politik” Acung Memilih Bersuara (2023)
    • Cartoons Underground dan Mitos-Mitos Urban
    • Latihan Berpikir Positif tentang Krisis Iklim Bersama Blue Poetry (2023)
    • Wandering Through Memories of The Pandemic in The Wedding Ring (2022)

    CATEGORIES

    • Articles
    • INTERVIEWS
    • NOTES
    • OPINION
    • PODCAST
    • SHORT FILMS
    • VIDEO

    Minikino Film Week 8

    • MINIKINO.ORG
    • FILM WEEK
    • INDONESIA RAJA
    • BEGADANG

    © 2021 Minikino | Yayasan Kino Media

    No Result
    View All Result
    • Home
    • SHORT FILMS
    • NOTES
    • INTERVIEWS
    • INTERNATIONAL
    • OPINION
    • CONTACT

    © 2021 Minikino | Yayasan Kino Media

    -
    00:00
    00:00

    Queue

    Update Required Flash plugin
    -
    00:00
    00:00