Mitos hidup sepanjang peradaban manusia, dan perkembangan zaman membuka cara-cara baru penyampaiannya. Mulai dari gambar, tulisan kuno, hingga kini dalam berbagai bentuk media “modern” (film, buku, media sosial, dan lain-lain). Meskipun cara penyampaiannya terus berkembang, inti dari mitos—yang sejak lama berperan sebagai pewaris kepercayaan—terus berfungsi sebagai cerminan masyarakat yang melintasi batas waktu.
Renungan perihal mitos ini hadir usai menonton Minikino Monthly Screening and Discussion (MMSD): Cartoons Underground pada Augustus lalu. Minikino berkolaborasi dengan Cartoons Underground, sebuah festival film pendek animasi di Singapura yang menjadi wadah bagi para animator muda Asia. Diselenggarakan sejak tahun 2012, Cartoons Underground telah menayangkan berbagai film dari animator muda berbakat, diantaranya adalah orang Singapura pertama yang memenangkan BAFTA, Low Ser En, juga beberapa nama-nama lainnya seperti Bill Plympton, Hisko Hulsing, Dahee Jeong, Spela Cadez, Tal Kantor, Mirai Mizue, Lei Lei, Chen Xi, dan An Xu.
Terdapat sepuluh film pada program Cartoons Underground yang telah mendapatkan penghargaan pada festival tersebut di edisi-edisi sebelumnya. Di antaranya adalah Watermelon Please (Lim Jia Ying, Singapore, 2022), Strange Occurrences: Bukti Kelabu (Wong Shi Teng & Gloria Yeo & Hana Lee, Singapore, 2021), Go Inside (Annie Hung & Joanne Poh, Singapore, 2022), The Story of Chaos (Quek Yu Qing, Singapore, 2021), Cubed (Xue Enge, Singapore, 2018), What Has to Be (Jerrold Chong, Singapore, 2018), Women in Rage (Chen Yanyun & Sara Chong, Singapore, 2020), Full Circle (Yeow Su Xian, Singapore, 2021, SHAN 山 (Soon Jing Hui, Singapore, 2022), The Visit (Morrie Tan, Singapore, 2021).
Dari kesepuluh film pendek tersebut, tiga di antaranya mengemas mitos secara beragam. Tidak hanya melihat mitos sebagai kumpulan cerita lama, namun juga sebagai elemen yang terus berevolusi dan dipertanyakan. Mengingat film-film ini berasal dari Singapura, aku tertarik untuk mengeksplorasi bagaimana para filmmaker menginterpretasikan mitos yang berkembang di budaya mereka dan mengemasnya kembali dengan gayanya sendiri.
Strange Occurrences: Bukti Belabu
Apabila dulu aku mengenal primbon.com sebagai situs yang menghadirkan cerita-cerita mistis. Sekarang ada video YouTube dan TikTok yang mengemas mitos lebih beragam, salah satunya adalah video-video yang menceritakan pengalamannya pergi ke tempat mistis. Fenomena tersebut diadaptasi Wong Shi Teng, Gloria Yeo, dan Hana Lee selaku sutradara ke dalam Strange Occurrences: Bukit Belabu (Singapore, 2021). Dalam bungkusan mockumentary-nya, memperlihatkan seorang influencer yang bercerita perihal pengalamannya melewati serangkaian peristiwa aneh ketika pergi ke sebuah lokasi angker. Bukan hanya hantu yang ia temui, namun juga sejarah kelam keluarganya.
Dengan memanfaatkan formula cerita yang sering digunakan film-film horor, Strange Occurrences menggunakan mitos urban sebagai cerminan untuk mengungkapkan sisi gelap dari realitas urban yang seringkali diabaikan. Hal ini dilakukan melalui penuturan secara perlahan yang menyambungkan fragmen-fragmen informasi, kemudian terkumpul sebagai punchline pada akhir film. Penggunaan metode stop-motion—dengan kelebihannya yang dapat memberikan kesan realistis—juga menciptakan pengalaman menonton yang ringan dan mudah diidentifikasi oleh penonton.
Beberapa penggunaan elemen cerita yang sudah digunakan pada film-film bergenre komedi horor membuat film ini terasa familiar dan mudah dinikmati. Namun, penggunaan rumah hantu, karakter influencer yang entah kenapa berkelana sendiri, kehadiran ayah yang secara tiba-tiba hadir di tempat yang sama, membuat film ini berada di antara garis ngehe atau mengada-ada. Sehingga tidak memberikanku kesan yang berkepanjang. Pada akhirnya, kita tetap bisa sepakat mengenai satu hal, sejarah keluarga yang kelam lebih seram dari cerita hantu.
Women in Rage
Mirip dengan pengalamanku mengenal berbagai mitos dari situs primbon.com ketika masih ada di bangku SD, aku juga sering mendengar ucapan ini ketika masih kecil, “Jangan main sampai malam, nanti ada _____!”. Biasanya dilanjutkan dengan Kuntilanak atau Sundel Bolong. Tergantung hantu perempuan mana yang muncul lebih dahulu di otak orang tuaku. Ketika aku kecil juga, orang-orang di sekitar lebih sering menceritakan pengalaman-pengalamannya “bertemu” hantu tersebut, mendeskripsikan seberapa seram penampilannya. Rupanya yang dianggap seram, membuat banyak orang seakan-akan lupa latar belakang dari hantu-hantu perempuan tersebut; bahwa Kuntilanak dan Sundel Bolong merupakan korban pelecehan seksual di masa hidupnya.
Tanpa embel-embel jumpscare, Women in Rage (Chen Yanyun & Sara Chong, Singapore, 2020) memberikan pemahaman terhadap penonton mengenai kompleksitas yang mendorong kehadiran para hantu perempuan—yang seringkali merupakan manifestasi dari rasa marah akibat ketidakadilan yang mereka alami—dengan menyampaikan pengalaman berdasarkan sudut pandang hantu perempuan.
Dalam sesi tanya jawab pada pemutaran di MASH Denpasar tanggal 14 Agustus 2023, Sara Chong, selaku sutradara mengatakan bahwa inspirasi di balik karya ini datang dari rasa keresahannya. Tumbuh besar dengan mitos-mitos yang menempatkan hantu perempuan sebagai antagonis, Sara tidak begitu mengetahui latar belakang dari hantu-hantu perempuan tersebut. Sara dan Cheong kemudian mencoba untuk mendalami alasan dibalik kemarahan hantu-hantu tersebut, Sara mengingat ada sekitar 15 hantu perempuan, yang kemudian diinterpretasi ulang oleh keduanya untuk menjadi sebuah cerita baru.
Penggambaran hantu pada Women in Rage juga tidak tertuju kepada satu sosok hantu tertentu. Dalam sesi tanya jawab, Sara menyatakan bahwa ia merekonstruksi wujud hantu perempuan dengan menggunakan gabungan foto-foto badan Sara dan Cheong sendiri, kemudian dianimasikan melalui software After Effects. Women in Rage mewakilkan ikatan antara perempuan dan hantu perempuan itu sendiri, bahwa kami—termasuk aku—sama-sama memiliki perasaan marah dan ketidakpuasan yang sering kali tidak memiliki ruang dalam konteks sosial yang masih erat dipengaruhi budaya patriarki.
The Story of Chaos
Apabila Women in Rage menghadirkan sudut pandang baru dalam menanggapi cerita hantu perempuan, The Story of Chaos (Quek Yu Qing, Singapore, 2021) mengeksplorasi relevansi legenda Taoisme di era modern melalui perspektif anak kecil. Menceritakan tentang seorang Murid yang memiliki interpretasinya sendiri mengenai Chaos (atau biasanya juga disebut Hundun), ia justru mendapatkan kritik oleh gurunya karena berbeda dari cerita aslinya.
“The emperor of the southern sea was called Swoosh. The emperor of the northern sea was called Oblivion. The emperor of the middle was called Chaos. Swoosh and Oblivion would sometimes meet in the territory of Chaos, who always waited on them quite adroitly. They decided to repay Chaos for his virtue. “All men have seven holes in them, by means of which they see, hear, eat and breathe,” they said. “But this one alone has none. Let’s drill him some.” So every day they drilled another hole. Seven days later, Chaos was dead.”
—Zhuangzi, Chapter 7
Cerita tentang Chaos sering kali dihubungkan dengan pesan untuk tidak mencoba mengubah alam dan menghormati keberagaman yang ada. Hanya karena memiliki penampilan fisik yang berbeda, Chaos harus mati di tangan Swoosh dan Oblivion yang berusaha untuk “membenahi”nya. Sementara itu, siswa tersebut menciptakan sebuah narasi alternatif berdasarkan imajinasinya, di mana Chaos bisa hidup bahagia di tengah para hewan dan bukan manusia, yang mungkin tidak akan merubah apa pun pada diri Chaos. Serupa namun tak sama, The Story of Chaos menempatkan Chaos sebagai siswa serta Swoosh dan Oblivion sebagai sistem pendidikan, menggambarkan dampak sistem pendidikan terhadap anak yang cenderung membatasi potensi dibanding mendorong keunikan mereka.
Mitos urban yang digunakan pada Strange Occurrences dapat dianggap sebagai cara untuk meredakan ketidakpastian dalam hubungan antar manusia, yang seringkali menjadi tantangan dalam kehidupan modern. Mitos perempuan pada Women in Rage menggambarkan bagaimana masyarakat berupaya mengendalikan peran dan ekspektasi terhadap perempuan. Legenda Taoisme dalam The Story of Chaos digunakan sebagai bentuk pertahanan nilai-nilai spiritual dan filosofis yang dipegang teguh dalam budaya Tiongkok. Ketiga film ini bagiku memperlihatkan bagaimana mitos lebih terasa seperti alat untuk mempertahankan kontrol dalam masyarakat, dibandingkan kearifan budaya. Sehingga mitos dalam warna budaya apapun, selalu politis.
Discussion about this post