Membaca film-film yang dikategorikan berdasarkan daerahnya bisa jadi menawarkan perspektif yang unik, terkait dengan pembacaan situasi sosial-budaya masyarakat setempat. Tapi bisa juga menjadi pilihan yang sulit dipertanggungjawabkan, mana kala pengelompokan ini tidak berdasar pada ketentuan yang jelas, atau tidak diniatkan untuk sebuah pembacaan yang lebih jauh. Indonesia Raja, sebuah program yang digagas oleh Minikino sejak tahun 2015 memilih jalan ini. Pada tahun 2016, program Indonesia Raja melibatkan 17 programmer dari 15 kota. Pada tulisan ini saya melakukan pembacaan singkat untuk film-film yang terangkum dalam Indonesia Raja : Bali, film-filmnya dikurasi oleh Tria Nin.
Program Indonesia Raja dari Bali dibuka dengan film Silent karya Wicitra Pradnyaratih. Film ini menggunakan pendekatan yang disebut-sebut sebagai “eksperimental”. Selama 2 menit Wicitra menyajikan potongan-potongan gambar yang dapat dengan lekas kita asumsikan sebagai rangkaian visual untuk menceritakan tentang Bali yang kini tengah dihadapkan pada bahaya rencana reklamasi. Rangkaian gambar-gambar dalam film ini dimulai dari kehadiran latar hitam dengan bercak putih yang kemudian kita ketahui sebagai sebuah galaksi. Disusul dengan potongan gambar perempuan Bali, mata uang dollar, mata yang menangis, gapura yang biasa kita temui di Bali, kemudian batu-batu karang di laut yang disergap dan isinya dikuras oleh tangan-tangan manusia. Sebuah ekspresi kekecewaan atas eksploitasi yang ditujukan pada Bali. Di sini kita dapat mengkritik bagaimana metode “eksperimental” yang hadir untuk memberikan alternatif pada metode naratif yang selama ini digunakan dalam film, tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Keluwesan ekspresi sangat terbatas. Begitu juga dengan kemungkinan ruang interpretasi yang dihadirkan. Makna yang ingin disampaikan dalam film terjelaskan dengan cukup terang. Eksplorasi visual sebagai tanda yang biasanya menjadi karakter film-film eksperimental pun terbilang minim.
Berikutnya, Sinampura karya Oka Sudarsana, adalah film pendek yang jujur dan cukup. Entah kemudian akan ada yang menyebutnya sebagai dokumentasi, tak apa. Oka Sudarsana cukup jeli untuk menentukan di mana film harus dimulai, dan di mana film harus diakhiri, tanpa terjerumus ke dalam hasrat ingin menunjukan eksotisme Timur melalui rekaman peristiwa trans atau kerauhan di Bali. Yang dihadirkan bukanlah fenomena kerauhan sebagai peristiwa istimewa, di luar nalar, dan tak masuk akal. Bukan itu. Selama kurang lebih 11 menit, film ini menunjukan bagaimana “komunikasi” antara 2 dimensi kehidupan, atau bisa kita sebut 2 dunia sangat mungkin terjadi, dan merupakan bagian dari keseharian masyarakat Bali yang hidup berdampingan dengan ritual.
Menonton Pengen HP dari I Made Suarbawa bukanlah pengalaman menonton yang baru. Isu yang diangkat dalam film ini sering kita temukan dalam tayangan televisi maupun film. Mengenai jiwa remaja yang liar, pembangkang, tidak tahu bersyukur, yang kemudian tangga dramatik diakhiri dengan tokoh yang insyaf dan memilih jalan yang lebih baik. Kasus semacam ini ada dimana-mana, dan telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Film berikutnya adalah Rantau di Bali karya Agung Yudha. Film ini merekam keseharian Maria Pankatria, seorang perantau dari Ende, Flores yang sudah tinggal di Bali selama 10 tahun. Film ini berisi visual kegiatan Maria, dilatari dengan audio komentar-komentarnya tentang Bali selama 10 tahun ini. Maria membandingkan perubahan yang terjadi di Bali. 10 tahun yang lalu tidak begini, tapi sekarang begini. Begitu seterusnya. Apa yang membedakan jika komentar-komentar tersebut diucapkan oleh seorang yang bukan perantau? Rasa-rasanya kesadaran yang sama, mengenai Bali yang berubah juga menjadi perhatian mereka yang lahir dan besar di Bali. Film ini tak menawarkan cara pandang menarik, yang bisa dijadikan alasan yang kuat mengapa filmmaker harus menghadirkan seorang perantau sebagai subjek.
Ketika sebagian besar film berbicara tentang Bali, atau paling tidak mengambil latar geografis Bali, tidak demikian dengan Balas Dendam. Film garapan Putu Kusuma Widjaja ini menceritakan tentang kehidupan di Raja Ampat. Pembuat film menggunakan 2 tokoh utama dalam filmnya. Pertama, ada Desmond yang dendam pada seorang polisi yang menganiaya bapak-bapak yang melanggar lalu lintas. Subjek yang kedua adalah Albert, anak muda yang dikenal memiliki daya tangkap lemah, hingga harus menghabiskan waktu hampir 10 tahun di bangku SD. Albert ingin menjadi polisi. Film ini sederhana saja. Sepanjang film yang banyak dihadirkan adalah wawancara dengan subjek dan wawncara dengan orang-orang terdeka mereka. Tapi kehadiran Albert terasa amat dipaksa, demi menunjukan 2 anak yang memiliki cita-cita yang kontradiktif. Satunya ingin balas dendam pada polisi, satunya lagi ingin menjadi polisi. Desmond justru hadir sebagai subjek yang kaya secara emosional. Di usia yang masih muda, ia memendam dendam pada bobroknya rasa kemanusiaan aparat di wilayahnya. Dendam itu mengakar. Desmond bahkan bisa menjelaskan dengan detail siapa polisi itu, dan dengan cara apa ia akan membalas dendam. Sayangnya, sang sutradara bersikukuh untuk menghadirkan ironi dendam pada polisi vs ingin menjadi polisi, sehingga terasa sekali film ini “dipas-paskan” dengan statement si pembuat film.
Kritik yang baik kadang-kadang disampaikan dengan cara yang subtil. Melalui kehadiran tanda-tanda, alegori, hingga self-mockery. Negeri Penjara(h) karya I Gusti Agus Wiranata menjuruskan kritiknya pada kasus korupsi di kalangan elit pemerintah dengan cara yang sederhana namun mengena. Sebuah bibit berubah menjadi pohon kecil. Segayung air dituang dari atas. Kita menduga pasti semua isinya jatuh ke tanah. Sialnya air di dalam gayung itu ditampung di dalam baskom, dan kemudian diaduk-aduk oleh sebuah tangan yang mengenakan jas. Air yang jatuh ke tanah hanya setetes, itupun mengalir dari ujung kelingking si tangan berjas tadi. Pelan-pelan si tanaman kecil mati kehausan. Sialnya pembuat film menambahkan lagu “Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati…” di akhir film, barangkali untuk menambah bumbu haru atau ingin menunjukan sisi nasionalis (sebab sepertinya film ini memang dibuat khusus untuk kompetisi Anti-Corruption Film Festival), maka buyarlah sisi peotik dari tanaman yang mati kehausan tadi.
Biru karya Maria Rosiana Sedjahtera, bisa saya katakan sebagai film yang paling mencuri perhatian. Bentuk animasi stop motion memang bukan pendekatan yang baru lahir kemarin sore di dunia perfilman. Salah satu dari sedikit hal yang saya apresiasi dari Tria Nin, programmer Bali—setelah kritik bahwa catatan programnya yang terlalu umum, meraba-raba, tidak memberikan gambaran yang terang soal film-film yang dimuat dalam programnya dan mengapa film-film ini harus dijadikan sebuah program—adalah bahwa sang programmer meletakkan Biru sebagai film penutup dari rangkaian program ini. Penutup yang manis dan membuat penonton tersenyum-senyum bahkan hingga 1-2 menit setelah film ditutup oleh credit title. Biru, menyajikan sebuah keseharian sederhana seorang siswa yang karakternya barangkali ada dalam diri setiap kita, pemalas dan suka menunda-nunda pekerjaan, yang kemudian menjadi salah satu alasan penonton dapat dengan mudah masuk ke dalam film ini. Pilihan ceritanya membuat penonton dengan cepat merasa akrab. Yang menarik tentunya bukan gaya stop motion yang membuat film ini tampak lucu, dinamis, dan menyenangkan. Hal macam ini akan kita temukan di banyak film stop motion. Biru menawarkan beberapa logika berpikir. Penonton akan dibuat percaya bahwa yang dihadirkan di film adalah semesta manusia, semesta kita yang dipersonifikasikan ke dalam tokoh yang terbuat dari gulungan kertas. Ketika dia merepresentasikan dunia manusia, tentu logika yang dihadirkan tak jauh beda dengan kita. Sebab-akibat dalam film akan mengimitasi apa yang ada di dunia manusia. Sakit jika jatuh, tertawa jika gembira. Sampai akhirnya kepala si tokoh Biru terbakar oleh kecerobohannya sendiri. Terbakar dalam arti yang harfiah. Sampai di sini, maka kita akan bertanya-tanya, sebaiknya kita membaca film ini dengan makna denotatif atau konotatif? Kita dibuat lega, sebab Biru menyediakan keduanya. Apa yang lebih menyenangkan dari menonton film yang memberikan ruang yang lapang pada penonton untuk menerjemahkan kontennya?
Membaca film-film Indonesia Raja : Bali 2016 bisa jadi adalah sebuah pengalaman menonton yang acak. Catatan program tidak cukup membantu dalam memberikan petunjuk jalinan apa yang mengikat film-film ini, dan apa yang membuat film-film ini penting untuk ditonton dalam membaca Bali dalam konteks sekarang? Tagline “Indonesia Raja : Bali ini bisa menjadi semacam jeda” tidak cukup bisa dipertanggungjawabkan sebagai pengantar dari film-film yang dikemasnya. Pun jika catatan program tak dilampirkan di awal film, benang merah yang mengaitkan satu film dengan film lainnya tak bisa kita temukan, selain kenyataan bahwa para sutradara dalam film ini adalah sutradara yang berproses kreatif di Bali? Film pun tak semuanya mengambil latar tempat di Bali. Apakah sebenarnya fungsi pengkategorian daerah dalam program ini jika program yang dikemas tidak mampu mewakilkan apa yang sedang dihadapi oleh perfilman di Bali pada kurun waktu tertentu? Jawaban dari pertanyaan ini bisa dibuat dalam esai 5-7 halaman lagi. Mari kita bersabar dan menunggu program Indonesia Raja menginjak usia yang mapan untuk sebuah program, mungkin di edisi yang ketiga atau kelima kita bisa melakukan pembacaan yang lebih adil untuk program-programnya.
ditulis oleh Ayu Diah Cempaka, Maret 2016