Di Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan Syariat Islam secara ketat, isu-isu terkait penegakan hukum agama seringkali menjadi sorotan utama di media massa dan media sosial. Contohnya, ketika saya menulis ulasan ini, dunia maya di Aceh sedang memperdebatkan konser yang menampilkan Andika Mahesa, Pasha Ungu, Armada dan lainnya. Perdebatan muncul karena konser tersebut bertepatan dengan peringatan 1 Muharram dan penonton yang bercampur antara laki-laki dan perempuan tanpa pemisah.
Saya telah tinggal selama 26 tahun di dua kota berbeda di Aceh. Fenomena seperti di atas telah mengisi sedikit-banyak percakapan saya dan teman-teman di warung kopi. Kebanyakan berisi keluh-kesah dan pertanyaan tentang penegakan Syariat Islam di Aceh. Kemudian hal tersebut menjadi sesuatu yang terus keluar dari pikiran saya—yang baru saya sadari ketika menulis ulasan ini. Pada satu titik, saya juga penasaran bagaimana fenomena seperti di atas memasuki alam bawah sadar orang-orang yang tinggal di Aceh dan mempengaruhi cara pandang mereka terhadap kehidupan?
Melalui program Indonesia Raja 2024: Aceh, Akbar Rafsanjani selaku programmer ingin mengajak kita melihat bagaimana realitas direkam secara alam bawah sadar oleh filmmaker di Aceh. Dan “alam bawah sadar” itu adalah religiusitas. Dalam pembahasan ini, religiusitas yang saya maksud adalah semua persoalan dijelaskan atau dibungkus dengan kerangka agama (Islam). Empat film pendek dalam program ini, punya komitmen yang kuat terhadap isu tentang religiusitas. Sedangkan, satu film pendek lagi, membawa komitmen religiusitas yang terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Religiusitas ini menjadi dimensi yang paling tebal dalam film-film pendek di Indonesia Raja 2024: Aceh. Dan religiusitas ini sangat penting dibicarakan oleh para filmmaker di Aceh untuk menghadirkan perspektif lain dalam beragama. Mengingat bagaimanapun dalam beragama tidak ada satu cara dan perspektif tunggal yang paling benar.
Perempuan yang Dibatasi Ruangnya
Program ini dibuka dengan film pendek Perempuan Hikayat (2023) karya Azhari. Hikayat adalah sebutan untuk jenis seni tutur lisan yang berkembang di Aceh. Sebagai gambaran, biasanya seorang penghikayat akan bercerita tentang suatu tema di depan panggung dengan nada yang khas. Kalimat-kalimat yang diucapkan penghikayat biasanya bercampur dengan narasi agama dan sosial. Perempuan Hikayat bercerita tentang Anisa, istri seorang pemain hikayat bernama Tgk. Muda, yang mengambil-alih pekerjaan suaminya pada sebuah pesta pernikahan. Karena Tgk. Muda sering sakit-sakitan juga sering menolak bermain hikayat, sehingga membuat ekonomi keluarga mereka buruk. Namun, hal tersebut membuat Tgk. Muda marah pada Anisa dan menceraikannya.
Melalui film ini kita tidak hanya diajak untuk melihat seni tutur Aceh yang sudah jarang dimainkan, tapi juga realita perempuan yang dibatasi ruang geraknya karena alasan religiusitas. Hal tersebut tergambar pada adegan penutup, ketika Tgk. Muda melarang istrinya untuk berhikayat karena tidak ingin mendengar suaranya di atas panggung.
Dalam Islam, beberapa ulama berpendapat, bahwa suara perempuan adalah aurat yang harus dijaga dan perempuan dilarang untuk keluar kecuali mendapat izin dari suami. Meskipun ada banyak perempuan yang menjadi penghikayat atau penyanyi dan mengeluarkan suara merdu mereka di Aceh, tapi mereka juga tetap menjadi sorotan publik, misalnya, cara mereka berpakaian dan goyangan yang berlebihan di atas panggung. Namun, dalam film ini, Azhari juga meninggalkan tanda tanya pada penonton untuk mendiskusikan hal tersebut.
Trauma dan Mitigasi
Apabila Perempuan Hikayat (2023) menyanyikan seni budaya dan religiusitas, Little Memories of The Sea (2023) karya Aulia Salsabila menghadirkan religiusitas lewat kenangan dan trauma yang dialami korban bencana gempa dan tsunami 2004 di Aceh. Film pendek ini berkisah tentang halusinasi yang dialami Utsman, seorang korban bencana gempa dan tsunami di Aceh, yang hendak pergi ke kuburan massal untuk berziarah pada hari peringatan tsunami. Semua anggota keluarga Utsman telah digulung oleh ombak pada 2004. Halusinasi Utsman adalah campuran antara kenangan dan trauma yang bersemayam di kepalanya. Utsman berhalusinasi sepanjang film bahwa istrinya masih hidup dan terus hadir dalam hari-harinya.
Film pendek ini membicarakan bencana lewat religiusitas. Melalui percakapan Utsman dan istrinya, yang menganggap bencana ini adalah bala yang diberikan Allah S.W.T karena di Aceh banyak maksiat. Utsman juga menyalahkan orang pacaran yang ia temui dalam perjalanan. Film ini menggambarkan pandangan sebagian besar orang Aceh yang menganggap bencana gempa dan tsunami 2004 adalah bala atau cobaan dari Tuhan. Setidaknya hal ini, tergambar dari pengusiran-pengusiran remaja yang berpacaran di tepi sungai atau komentar di media sosial: “dikasih bala lagi baru tahu”, “duh dia buat maksiat kita yang kena bala”.
Saya juga teringat pengalaman trauma sendiri ketika menonton film pendek ini. Setiap saya ke pantai, kepala saya akan membayangkan bagaimana jika tsunami datang ketika saya sedang di pantai. Kemana saya akan lari? Dan terkadang saya teringat, apakah amal ibadah saya sudah cukup? Hal itu terus muncul hingga saat ini. Namun, perlahan-lahan, membuat saya jadi memikirkan jalur evakuasi setiap berkunjung ke suatu tempat. Saya menganggap tsunami pasti akan datang, karena Indonesia adalah wilayah cincin api. Saya rasa ini perlu dicatat, persoalan mitigasi bencana belum banyak dibicarakan dalam karya-karya seni di Aceh.
Toleransi dalam Ruang yang Sempit
Berbeda dari film-film lain dalam program ini yang berlokasi di Aceh, Gereja di Seberang Sana (2023) karya Osama Almadani, ceritanya berlokasi di Pulau Bintan, Tanjungpinang. Berkisah tentang Yunus yang hendak pergi ke gereja bersama anaknya, namun sepeda motor mereka mogok di tengah jalan dan mereka menumpang mobil milik keluarga muslim. Di dalam mobil, perdebatan terjadi karena sebuah siaran radio, yang memberitakan tentang kebakaran gereja.
Lantas, mengapa film ini masuk dalam program Indonesia Raja 2024: Aceh? Karena sutradara film ini berasal dari Aceh dan karakter istri dari keluarga muslim berasal dari Aceh. Bagi saya, apa yang dimaksud programmer “secara bawah sadar” tergambar dengan jelas dari film ketiga. Meskipun berkarya di luar Aceh, Almadani tetap membawa isu religiusitas dalam ceritanya. Namun, apa yang dibicarakan olehnya adalah tentang toleransi melalui perdebatan di dalam ruang yang sempit yaitu di dalam mobil. Film ini mempertanyakan, mengapa kita mengusik orang lain beribadah?
Di Aceh, isu toleransi juga cukup sering dibicarakan di seminar-seminar, media sosial, bahkan warung kopi. Barangkali, Almadani mencoba menangkap fenomena tersebut.
Dilarang Pacaran!
Jiwa yang Hilang (2022) karya Arief Rachman Missuari menasehati kita supaya tidak lalai dengan hal-hal duniawi dan agar tidak lupa beribadah. Bercerita tentang Hasan, seorang ustad muda yang mengajar di balai pengajian, yang lalai dalam mengajar santri-santrinya karena dihubungi oleh Sari, kenalan lamanya. Berhari-hari Hasan ditelpon oleh Sari: saat sedang mengajar, selesai shalat, dan pulang mengajar. Hingga pada suatu hari, Sari menghilang dan tiba-tiba mengabari Hasan bahwa dia sudah dilamar oleh orang lain.
Film pendek ini membungkus religiusitas melalui kisah romansa. Relasi antara Hasan dan Sari dibangun melalui suara dari telpon atau pesan. Hasan dan Sari adalah kenalan lama yang digambarkan melalui dialog. Kita tidak tahu apakah mereka pernah bertemu sebelumnya atau hanya kenalan dari dunia maya. Dan juga tidak ada motivasi keduanya untuk bertemu, layaknya sepasang kekasih melepas rindu. Hasan dan Sari sebenarnya juga tidak ada ikatan pacaran. Karena Sari tiba-tiba menghubungi Hasan dengan gampangnya, lalu meninggalkannya. Mereka menjalin ikatan seperti ta’aruf (perkenalan) sebelum akhirnya nanti menikah. Namun, mereka gagal karena Sari memilih pria lain.
Jiwa yang Hilang memenangi juara 2 dalam Lomba Film Pendek Kementerian Agama Provinsi Aceh. Hal ini dapat dibaca bahwa filmmaker dengan sadar membuat cerita religius karena akan diikutsertakan dalam lomba yang dibuat Kementerian Agama, artinya cerita dibuat untuk mengikuti tema. Atau sebaliknya, filmnya sudah dibuat kemudian dikirim untuk lomba. Di antara keraguan tersebut, “secara bawah sadar” dapat dilihat dari konsep ta’aruf yang digunakan oleh filmmaker untuk menggerakkan kisah romansa yang Islami. Alam bawah sadar filmmaker menuntut apabila membuat kisah romansa harus menggunakan konsep ta’aruf.
Menonton film ini, saya teringat pada pamflet di pinggir sungai di Aceh yang bertuliskan, “Dilarang Pacaran di Kawasan Ini!”—dan hal ini terekam dalam film Little Memories of The Sea. Secara tidak langsung, film ini juga melarang kita agar tidak terlalu menaruh harapan pada seseorang.
Kebersihan sebagian dari Iman
Apa yang dinarasikan dalam film penutup sangatlah berbeda. Sweet Plastik (2024) karya Art Collective Project membawa narasi tentang sampah di Desa Lapeng, Pulau Breuh. Film pendek eksperimental ini dikerjakan oleh beberapa komunitas dan institusi seni di Aceh. Berkisah tentang dua anak kecil yang mendapati botol plastik di suatu pantai di Pulau Breuh, dan botol itu membawa kehancuran bagi penduduk di pulau.
Apa yang sebenarnya ingin diceritakan oleh film ini adalah sampah-sampah dari nasional dan internasional yang berkumpul di Desa Lapeng pada saat musim angin timur berlangsung. Sampah-sampah itu memenuhi pantai. Sebagai gambaran, Pulau Breuh adalah pulau yang jaraknya sekitar satu sampai dua jam menggunakan perahu dari ibu kota Banda Aceh. Dan desa Lapeng adalah sebuah desa di Pulau Breuh yang belum terkoneksi jaringan internet.
Lantas, apakah sampah bukan bagian dari religiusitas? Meskipun tidak membawa narasi tentang religiusitas secara langsung, kita dapat menilai bahwa film ini membawa pesan klasik, “kebersihan sebagian dari iman”. Menaruh film ini sebagai penutup program, menurut saya, programmer ingin menyajikan cara pandang baru dalam menarasikan tentang agama. Sampah adalah persoalan umat manusia yang harus diselesaikan. Bagi saya, sudah seharusnya persoalan lingkungan dan kemanusian dibicarakan dalam ruang-ruang agama manapun.
Pada akhirnya, menonton lima film dalam program ini, membuat saya berefleksi. Sebagai seorang yang bercita-cita menjadi pencerita, saya sadar bahwa cerita-cerita yang coba saya buat selama ini pun tidak jauh dari narasi Syariat Islam; entah saya mengkritik atau membuatnya menjadi sekedar penggerak cerita. Saya beranggapan bahwa para pengkarya dari kelima film ini mengalami hal yang sama, hal itu, saya rasa akibat dari narasi religiusitas yang memenuhi ruang publik dan merasuk ke bawah sadar.
Discussion about this post