Ada suatu masa ketika hal-hal yang menjadi kecintaan mendadak berubah menyebalkan. Seperti keharusan untuk mengkaji novel favorit dengan pendekatan struktural. Atau menonton film bukan sebagai medium rekreasi melainkan dalam rangka membandingkannya atau bentuk kesusastraan lain. Hingga tentu saja menulis dengan tujuan memenuhi kewajiban mata kuliah yang seringnya tidak betul-betul berangkat dari keinginan hati. Tuntutan baik itu yang kasat mata maupun tidak, turut serta menjelma kejemuan-kejemuan lain yang silih berganti.
Cinta pun tidak pernah sederhana. Misalnya, perihal mencintai orang lain, tentu saja tidak semudah mengatakan “aku mencintaimu” atau kalimat manis lain. Melainkan membutuhkan banyak kompromi dan penerimaan masing-masing pihak yang seringnya lebih rumit dari apa yang pernah terpikirkan. Maka, sempat sekali terlintas bagaimana Pak Sapardi Djoko Damono mampu mencintai dengan cara yang sederhana?
Namun kini, masa itu tidak hanya sebagai bagian dari perjalanan, melainkan bagaimana hal tersebut membentuk pribadi hari ini. Proses transisi masa tersebut dengan keadaan saat ini barangkali lantaran pertemuan dan perkenalan dengan banyak hal. Misal, seperti pertemuan dengan beberapa orang yang sangat menikmati bidang yang mereka lakukan.
Ketika pertama kali terlibat dalam proses kreatif teater, saya pernah bertanya-tanya tentang bagaimana kakak-kakak senior begitu tekun dan tangguh pada apa-apa yang mereka kerjakan. Proses yang panjang, juga tenaga, waktu, dan biaya yang dikorbankan serta kesulitan-kesulitan yang mampu teratasi (setidaknya bagi saya) cukup membuktikan cinta terhadap apa yang mereka kerjakan.
Hingga ketika Asako Fujioka, koordinator Yamagata International Documentary Film Festival (YIDFF)—yang juga berkecimpung dalam industri film Jepang—secara tidak langsung mengatakan ia mencintai film dengan cara yang tidak sederhana. Yamagata sebagai kota, terletak di lembah hijau yang bergulir jauh di utara Tokyo, Kota Yamagata adalah lokasi festival film dokumenter internasional pertama di Asia. Festival Film pertama (tahun 1989) adalah acara untuk memperingati 100 tahun Kota Yamagata. YIDFF selalu diadakan di bulan Oktober sebagai musim terbaik bagi Yamagata dan diselenggarakan setiap dua tahun. Untuk terus konsisten mencintai budaya sinema yang terbangun di Yamagata tentu butuh konsistensi.
Banyak rintangan, kendala, maupun kesulitan-kesulitan lain dalam upayanya hidup untuk industri dan budaya sinema Jepang. Namun Asako tetap konsisten selama puluhan tahun, menjaga industri film Jepang yang ia tekuni. Saya yakin cobaan pasti datang bertubi-tubi namun kecintaannya pada film lebih tangguh dari problema yang dihadapi. Dengan cinta yang Asako miliki, ia menggunakan seluruh kemampuan yang ada untuk mengembangkan industri film yang ia jalani.
Presentasi virtual yang disampaikan Asako, membuat saya kembali mengingat apa yang saya lakukan saat ini, yaitu menulis. Apakah saya telah cukup, atau setidaknya rela mengorbankan waktu untuk menekuni apa yang saya lakukan hari ini bahkan jika hal tersebut menyita banyak hal? Apakah rencana pergi jauh-jauh ke Bali untuk menjadi Festival Writers di Minikino Film Week layak untuk dilakukan? Kenapa sampai saat ini saya masih menulis?
Pertanyaan-pertanyaan itu, menjadi bagian dari proses yang selalu mendampingi dalam setiap kegundahan. Sampai saat ini, saya masih merasa apa yang saya lakukan sebagai ruang aktualisasi diri, hingga kesulitan dan banyak tantangan lain yang sedang atau sudah teratasi tidak hanya merupakan sebuah fase. Melainkan bentuk cinta yang juga tidak sederhana sebagaimana Asako, kakak-kakak senior, dan diri saya lakukan pada apa-apa yang kami kerjakan.
Discussion about this post