Forum Titik Temu Programmer Indonesia yang diadakan pada Kamis, 21 September 2023 dalam rangkaian Minikino Film Week 9 dibuka oleh sebuah statement dari moderator Kiki Muchtar, yang menyatakan bahwa saat menyebut istilah “programmer” orang akan langsung mengasosiasikannya dengan IT Programmer. Bahkan bila dilengkapi menjadi “Film Programmer”, istilah tersebut masih mengundang kebingungan. Persoalan definitif ini merefleksikan situasi film programmer sebagai profesi, serta programming film pendek di Indonesia yang jarang diketahui orang di luar ekositem film. Padahal perannya begitu signifikan bagi perkembangan film pendek sebagai salah satu medium seni yang punya banyak peluang aktivasi.
Minikino, sebagai festival film pendek tertua di Indonesia, membentuk jalinan kerjasama programmer Indonesia Raja, Minikino mempelopori sebuah gerakan programmer Indonesia yang lebih formal dan kolektif, di mana sebelumnya gerakan programmer Indonesia lebih bersifat independen dan “underground”. Tujuannya untuk mengenalkan kerja-kerja programming kepada kerja yang lebih professional. Meski begitu, Indonesia Raja masih mempertahankan karakteristik dan semangat regionalitasnya yang memberi corak khas pada gerakan ini, sekaligus mengaktivasi pertukaran-pertukaran ide dan budaya antar daerah melalui program film pendek.
Forum ini kemudian, sesuai namanya, menjadi titik temu. Tidak hanya antar programmer Indonesia Raja, namun juga para programmer Indonesia lainnya yang berada di luar jaringan IR, juga dengan dihadiri oleh para filmmaker Indonesia. Panelis forum ini diisi oleh Nosa Normanda (Programmer IR2023: Jakarta Metropolitan), Gerry Junus (Programmer IR2023: DIY & Jawa Tengah), Kardian Narayana (Programmer IR2023: Bali), Akbar Rafsanjani (Programmer IR2023: Aceh), Petrus Kristianto (Programmer Layar Liar, Semarang), Lulu Ratna (International Documentary Film Festival Amsterdam, dan Boemboe Forum, Jakarta), dan Kiki Muchtar (InDocs, Jakarta) sebagai moderator. Diawali dengan cerita-cerita mengenai eksistensi ekosistem film pendek di daerah masing-masing, forum kemudian berlanjut mengupas lebih dalam terkait pergerakkan programmer dan programming berdasarkan pengalaman masing-masing panelis. Forum ini mencoba menjawab pertanyaan sudah sejauh mana geliat dan peran programmer film pendek di Indonesia.
Pergerakkan, Filmmaker, dan Penontonnya
Wilayah yang diwakili oleh masing-masing panelis tampak sudah memiliki ekosistem film pendek yang hidup dan berdinamika. Petrus Kristianto dan Gerry Junus bahkan memberikan daftar rinci komunitas film apa saja yang masih aktif dan sudah vakum di Semarang dan Yogyakarta. Lalu Nosa Normanda lanjut menceritakan ekosistem film pendek di Jakarta yang bersifat lebih independen, sporadis, dan underground, menghasilkan cukup banyak sebenarnya filmmaker-filmmaker yang sudah cukup “matang”. Diikuti Lulu Ratna yang juga menambahkan terkait eksplorasi programming di Jakarta dengan membagikan pengalamannya saat mengadaptasi artikel menjadi sebuah program film. Sementara Akbar Rafsanjani dan Kardian Narayana membicarakan ekosistem film pendek wilayah Aceh dan Bali, yang meskipun terlihat tidak semarak dan seaktif Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta, namun tetap memiliki kegiatan-kegiatan yang konsisten berbasis pergerakkan akar rumput yang mengembangkan sineas-sineas lokal.
Para programmer memang sudah seharusnya memiliki kesadaran dalam memandang film dan penontonnya sebagai bagian yang tak terpisahkan. Hal ini turut menjadi fokus pada praktik programming dan rancangan kegiatan pemutaran yang dilakukan di masing-masing wilayah. Contohnya, terlihat dari usaha-usaha untuk mencoba memahami pola dan selera dari penonton Semarang yang dilakukan oleh Petrus Kristianto bersama Layar Liar, serta Nosa Normanda yang menyebut bahwa programming film yang ia lakukan, secara khusus menyasar segmen penonton tertentu.
Di sisi lain, praktik programming di Indonesia juga tetap menaruh fokus pada para filmmaker. Akbar Rafsanjani menyebut bahwa programming film pendek di Aceh memiliki tujuan lain di samping tujuan estetis, yakni memupuk semangat bagi filmmaker-filmmaker daerah untuk terus memproduksi film yang semakin berkualitas. Hal serupa juga terjadi di Bali, Kardian Narayana menyebut bahwa program Indonesia Raja: Bali memberi ruang yang menciptakan standar yang berbeda bagi filmmaker pemula di Bali. Yang tentunya secara tidak langsung meningkatkan kualitas berkarya dari filmmaker lokal di sana.
Fungsi programming adalah menjalankan siklus dari film. Tak jarang, kerja programming juga mirip dengan kerja distributor yang mempertemukan filmmaker, film, dan penontonnya. Contoh konkritnya berupa aktivasi ruang-ruang menonton alternatif namun populer seperti Cafe, yang dilakukan oleh Kardian Narayana di Bali. Juga yang paling jelas adalah Layar Liar yang secara khusus membawa program berisi film-film pendek ke layar-layar yang tidak kota-sentris, dengan tujuan menjangkau penonton yang kurang memiliki akses. Semangat untuk mempertemukan ini juga kemudian menurut Nosa Normanda, berkembang menjadi tidak hanya sekedar pemutaran, namun membuka ruang-ruang diskusi lebih lanjut, seperti yang sudah umum berjalan di Jakarta dan Yogyakarta.
Perihal Apresiasi dan Validasi
Poin menarik mengenai peran dan fungsi programming bagi filmmaker, datang dari Lulu Ratna saat bercerita tentang pengalamannya menjadi programmer di International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA). Ia menggunakan istilah “nurturing filmmaker” atau pembinaan filmmaker sebagai salah satu peran yang dilakukan oleh programmer. Ini adalah proses menilai semua film dan menyertai catatan berisi saran, bimbingan, dan arahan, yang kemudian akan dikirim kembali ke setiap filmmaker. Sistem programming seperti itu, dijelaskan oleh Lulu telah menjadi sebuah keharusan yang dilakukan oleh tiap programmer di IDFA. Fakta bahwa pengalaman ini hanya diucapkan oleh Lulu Ratna, dan hanya Ia dapat saat bekerja di festival film luar Indonesia, menciptakan kesan bahwa proses tersebut sepertinya belum menjadi hal penting yang ada dalam benak programmer Indonesia. Namun, mengapa?
Saya percaya bahwa prinsip utama dari konsep “nurturing filmmaker” ini sebenarnya telah dilakukan oleh para programmer Indonesia, namun melalui cara-cara yang lebih informal dan tidak sekonsisten IDFA. Namun, melihat bagaimana apresiasi dan validasi sebagai profesi yang didapatkan oleh film programmer Indonesia pun tidak sekonsisten dan sebanding dengan di IDFA, fenomena ini agaknya menjadi terjustifikasi. Film programmer di Indonesia tidak memiliki basis profesi yang kuat, bahkan untuk menjadi mata pencaharian utama. Masalah inilah yang mengundang atmosfer (cukup) panas saat Gerry Junus “menyinggung” soal pendapatan programmer di Yogyakarta. Kurangnya apresiasi secara materiil, ketiadaan asosiasi, beberapa bahkan bercerita masih seringnya menerima miskonsepsi terkait pekerjaan sebagai “programmer”, “selektor”, dan “kurator”—yang berujung pada beban pekerjaan yang tak sesuai.
Dalam konteks film pendek, programmer memegang peranan yang sangat esensial. Sehingga membiarkan begitu saja miskonsepsi tentang programmer, justru dapat menimbulkan sebuah efek berantai yang berkemungkinan memperpendek umur industri film pendek di Indonesia itu sendiri. Sayang sekali bila jalur yang telah dibangun oleh gerakan-gerakan kolektif ini pada akhirnya tidak berujung pada apa-apa.
Di sisi lain, saya rasa salah satu hal yang bisa dilakukan oleh para programmer Indonesia adalah terus membangun jaringan kerjasama, tak terbatas hanya di Indonesia saja. Ruang-ruang pertemuan yang diciptakan festival film internasional seperti Minikino Film Week bisa menjadi tempat yang tepat untuk membangun jaringan, kepercayaan, memperkuat kredibilitas, serta menciptakan kemungkinan-kemungkinan kolaborasi yang tentunya benefisial bagi industri film pendek Indonesia. Di saat seperti ini, membatasi jaringan dan mengeksklusi diri dari ruang-ruang pertemuan ini tampaknya bukanlah langkah yang tepat.
Discussion about this post