Saat mendengar kata mahasiswa saya langsung teringat pada masa muda, gairah, ego, idealisme, dan hal lain-lain yang identik dengan energi berapi-api. Titel mahasiswa seakan-akan memberikan dorongan kuat dan motivasi untuk menciptakan kebaruan di dalam diri masing-masing individu. Tidak heran jika saat mahasiswa, banyak yang mulai membuat komunitas atau kolektif, berkontribusi dalam berbagai pameran seni, membuat pertunjukan teater, dan lain sebagainya. Rasanya upaya-upaya tersebut sekaligus bentuk pertanggungjawaban atas proses transisi masa remaja menuju dewasa.
Program Minikino Monthly Screening Discussion Juli 2023 diberi tajuk Hatchlings yang bisa diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai menetas. James Bintang Panglima, programmer bulan Juli ini, berupaya mengapresiasi proses panjang seorang mahasiswa film. Sebuah perayaan artistik seorang pembuat film yang baru menetas, ya hatchlings (menetas). Program ini terdiri dari empat film pendek, di antaranya adalah I Took a Nap and I Miss You (Shelby Kho, 2021), Sunday (Ezra Cecio, 2021), Sonata Kampung Bata (Riri Riza, 1991), Yang Sudah, Sudah (Zhafran Solichin, 2019). Bintang Panglima selaku programmer, dalam catatan programnya memantik: apa yang membuat mereka terus belajar dan berkarya? Untuk mencoba menjawabnya, saya berkesempatan mengikuti sesi diskusi secara daring di MASH Denpasar pada tanggal 12 Juli 2023. Diskusi tersebut sekaligus menghadirkan Riri Riza, sutradara dan penulis Sonata Kampung Bata dan Ezra Cecio, sutradara dan penulis Sunday. Selain para pembuat dan penulis film yang hadir, diskusi juga dihadiri oleh programmer Bintang Panglima serta Fransiska Prihadi yang memoderasi jalannya diskusi.
Keluarga dan yang Tersisa Setelahnya
Film-film pendek dalam program ini menyisakan pengalaman menonton yang berbeda-beda. Namun, tiap-tiap filmnya memiliki benang merah yang kurang lebih serupa, relasi tentang anak dan lingkungannya. I Took a Nap and I Miss You misalnya, menceritakan perjuangan seorang ibu mengurus anak selepas kepergian suaminya. Penonton turut diajak merasakan lengangnya rumah sekaligus perasaan ibu dan anak-anak perempuannya sebagai yang ditinggalkan atas sebuah kehilangan. Menjadi pengingat bahwa sekeras apapun upaya mereka untuk membebaskan diri dari memori tersebut, mereka tidak akan pernah bisa meniadakan ruang yang mereka tempati. Rumah masih sama dan mereka tetap harus mendiami ruang tersebut. Bagi saya, I Took a Nap and I Miss You tersaji dengan porsi yang pas. Tidak ada dialog yang berlebih, yang terasa sangat dekat dan nyata adalah rasa. Adegan demi adegan mampu mewadahi empati penonton utamanya kepada sang ibu.
Salah satu yang cukup menarik perhatian saya adalah tentang bagaimana film pendek ini tidak membuat sosok ibu menjadi perempuan yang selalu kuat dan tangguh. Alih-alih begitu, ibu diberi ruang untuk berduka, menangis, dan bersedih bersama anak-anaknya. Membangun ikatan emosional sebelum akhirnya kembali berperang dengan kenyataan, dengan peran ganda yang harus diampunya. Begitulah I Took a Nap and I Miss You hadir menjelajahi ingatan-ingatan terdalam kita perihal kehilangan.
Jika I Took a Nap and I Miss You menceritakan hubungan antara ibu dan anak-anak perempuannya, Sunday hadir berkebalikan dengan menyuguhkan hubungan antara ayah dan anak perempuannya. Sunday menceritakan lebih banyak hal melalui peristiwa tersirat. Biarpun begitu, saya percaya bahwa urgensi sebuah cerita tidak hanya terletak pada apa yang diceritakan melainkan juga yang tidak diceritakan. Sebab sebuah film tidak mungkin lahir dari ruang kosong, ia selalu bersinggungan dan menyatu dengan konteks di sekelilingnya.
Sunday berhasil menjahit isu sosial seperti perbedaan etnis dan pernikahan dalam porsi yang cukup. Tidak diperlihatkan perdebatan penuh amarah atau pertentangan yang sengit antara Edwin dan putrinya. Melainkan hanya kegamangan, kegelisahan, kebingungan, dan haru yang terpancar dalam raut wajah Edwin. Dengan durasi sembilan belas menit Ezra Cecio mampu menampilkan ketetapan hati Edwin atas pilihan hidup putrinya. Hangat. Saya yakin penonton mampu merasakan emosi yang berusaha disampaikan melalui hubungan ayah dan anak perempuan tersebut. Perasaan cinta yang besar hingga sang ayah tidak mampu kehilangan putrinya.
Berbeda dengan dua film sebelumnya yang sebagian besar berlatarkan di rumah, sesuai dengan judulnya, Sonata Kampung Bata memilih perkampungan bata sebagai setting peristiwa. Sonata Kampung Bata sendiri secara sederhana menceritakan seorang anak laki-laki yang tidak bisa menikmati wahana komedi putar yang dibawa oleh rombongan hiburan keliling. Pemandangan seperti lingkungan persawahan, anak-anak memakai seragam sekolah, tumpukan-tumpukan bata, sedikit banyaknya menjadi gambaran kehidupan kampung bata meski film ini dikemas dengan dialog yang minim. Dengan format penyajian yang unik, premis yang sederhana, dan sinematografi yang apik, film ini secara magis mampu menyihir penonton turut merasakan kesedihan anak laki-laki anak pembuat bata yang tak bisa menikmati wahana komedi putar.
Hubungan anak dengan orang tua juga menjadi kisah utama film pendek Yang Sudah, Sudah (About Mother). Sebagai seorang sutradara muda, hanya Jepri yang tahu caranya mengatur, mengarahkan, dan memimpin para aktor agar mampu memerankan karakternya dengan sebaik mungkin. Namun, membuat film berdasarkan cerita ibunya membuat sang ibu merasa memiliki andil lebih atas proses syuting. Sebab ia merasa paling tahu bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Kerap berselisih paham atas keputusan-keputusan sepihak yang dibuat ibunya, Jepri diliputi perasaan jengkel. Seiring berjalannya proses syuting, perasaan tersebut sirna sejalan dengan obrolan-obrolan sederhana antara Jepri dan ibunya.
Dari keempat film pendek ini, terlihat menonjol kehadiran anak sebagai fokus sentral cerita. Pada I Took a Nap and I Miss You kehadiran dua anak perempuan kakak beradik, Gigi dan Stacy, merupakan seorang remaja dan pra-remaja yang tengah menghadapi perasaan-perasaan suka pada lawan jenis. Sementara Sunday lebih serius mengemas kisah anak perempuan Edwin dan kekasihnya yang memperjuangkan restu untuk pernikahan. Berbeda dengan Edwin yang diliputi banyak emosi, anak perempuannya cenderung memperlihatkan wajah yang datar tanpa ekspresi apapun.
Kehadiran wahana komedi putar yang dibawa oleh rombongan hiburan keliling dalam Sonata Kampung Bata menimbulkan pertanyaan serta ketakutan dalam diri anak laki-laki tersebut. Perasaan asing terhadap lingkungannya yang baru, meski pada akhirnya ia mampu menaiki komedi putar dengan bantuan anak perempuan lain. Yang Sudah, Sudah (About Mother) pada akhirnya memberi celah bagi Jepri untuk meneduhkan perasaan jengkelnya pada sang ibu. Barangkali yang ibunya lakukan bukan semata-mata untuk mengaturnya melainkan memberikan apapun yang ia bisa untuk anaknya.
Bikin Film: Keterbatasan Menjawab Tantangan Zaman
Pemutaran empat film tersebut sekaligus membuka ruang bertukar pikiran yang lain. Diskusi MMSD Juli ini dibuka oleh moderator Fransiska Prihadi dengan menanyakan programmer Bintang Panglima tentang latar belakang program ini. Bintang menegaskan kembali bahwa film-film yang dipilihnya untuk program merupakan film yang berasal dari sekolah film. Sonata Kampung Bata misalnya, merupakan karya Riri Riza semasa menjadi mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Begitu juga dengan Sunday, yang disutradarai Cecio di bawah naungan Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Hal menarik dalam diskusi ini adalah perbedaan rentang waktu pembuatan film antara kedua sutradara tersebut.
Sonata Kampung Bata dibuat pada tahun 1991 sementara Sunday dibuat tahun 2021. Perbedaan kualitas alat produksi, medium yang dipakai, dan lain-lain membuat penonton diajak menyaksikan arsip dari zaman yang berbeda. Dalam diskusi seusai pemutaran, Riri Riza menceritakan ragam tantangan yang dialaminya pada tahun 90an. Mulai dari lokasi di Cikarang yang menempuh jarak sejauh 45 km dari IKJ, proses syuting menggunakan film 16 mm yang harus di-rolling sementara lokasi Kampung Bata yang dipenuhi debu, terbatasnya ketersediaan kamera dan tidak didapatkannya izin untuk menggunakan kamera di luar kampus, tidak adanya monitor untuk melihat proses pengambilan gambar, bahkan ketika gambar sudah didapat membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh hari untuk melihat hasilnya.
Riri Riza juga menambahkan, sebagai penulis dan pembuat Sonata Kampung Bata bahkan tidak memiliki salinan filmnya sendiri. Waktu itu, Sonata Kampung Bata berhasil memenangkan lomba pitching film dari Kodak dan mendapat beberapa roll film 16mm untuk syuting. Setelah film selesai, pada tahun 1992 Sonata Kampung Bata dibawa keliling oleh Kodak, hingga diundang ke The International Short Film Festival Oberhausen salah satu festival film pendek dan terbesar di dunia. Namun, Sonata Kampung Bata tidak memiliki salinan fisiknya karena pendistribusian film dilakukan dengan mengirimkan format fisik. Bertahun-tahun berlalu barulah Riri Riza mendapatkan 16mm Sonata Kampung Bata saat menghadiri undangan sebuah sekolah film di Jepang pada tahun 2016. Pada saat itu, ia dikejutkan oleh pemutaran filmnya dan pemberian salinan filmnya dalam format 16mm sebagai penghargaan. Saya rasa hal ini menunjukkan bahwa kesadaran mengarsipkan karya masih sangat terbatas, bahkan bagi pembuatnya sendiri.
Sementara, 30 tahun kemudian, sebagai mahasiswa film, Cecio menghadapi tantangan berbeda. Film yang dibuatnya saat menjadi mahasiswa semester lima tersebut tidak hanya mengalami keterbatasan budget, melainkan juga sumber daya manusia dan tempat yang seadanya lantaran pandemi Covid-19 dua tahun lalu. Alih-alih terkungkung dalam keterbatasan, Cecio dan kawan-kawan memilih untuk beradaptasi dengan rupa dunia yang ‘baru’ dengan memaksimalkan segala yang ada. Semua keterbatasan yang dialami baik oleh Riri maupun Cecio menunjukkan betapa membuat film pada tahun-tahun tersebut memiliki tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh filmmaker dan seluruh elemen yang terlibat dalam proses produksi film. Dengan kata lain, mereka mampu mengubah yang terbatas menjadi kreativitas.
Dalam diskusi, Bintang menambahkan bahwa meski dihadapkan oleh tantangan berupa keterbatasan-keterbatasan, yang dilakukan oleh mahasiswa film dari mulai menetas hingga saat ini adalah tetap berkarya. Tidak terjebak pada keadaan yang membatasi ruang gerak, melainkan terus mengeksplorasi ruang tersebut untuk menelurkan karya sebanyak-banyaknya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan arsip terhadap karya-karya filmmaker adalah melakukan pemutaran, diskusi, serta kerja-kerja pengarsipan lain yang mampu merekam jejak perjalanan karya tersebut.
Discussion about this post