Menonton film demi film dalam suatu program yang utuh dapat menghadirkan pembacaan yang lebih bermakna. Ketika film-film pendek dirangkai dalam suatu program, ada programmer yang sengaja menghadirkannya kepada penonton dan tidak membiarkan suatu film berdiri sendiri. Pada Minikino Monthly Screening & Discussion December 2021, Azalia Syahputri dan Rasyid Faqih berkolaborasi menyeleksi film pendek dari berbagai negara dan mengemasnya untuk penonton dalam program yang bertajuk Fine Line. Azalia dan Rasyid adalah teman satu kampus di ISI Yogyakarta. Saat membuat program ini, Azalia baru menyelesaikan magang enam bulan di Minikino dan sedang bekerja paruh waktu untuk festival tersebut, sedangkan Rasyid ialah pre-selection committee Minikino Film Week 7 (tahun 2021).
Bekerja sama dengan beberapa komunitas se Jawa-Bali, Program Fine Line tidak hanya ditayangkan di Bali, tapi juga mendapat layar di Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Saya berkesempatan menghadiri program Fine Line di Bandung pada hari Sabtu, 11 Desember 2021. Bahasinema, Ruang Film Bandung dan Cinemora sebagai penyedia tempat menjadi kolaborator Minikino untuk penayangan program ini.
Honekami (A Bite of Bone) (2021) karya sutradara Honami Yano menjadi film pembuka. Film ini menggunakan pendekatan animasi dengan metode gambar doting tentang seorang anak kecil yang menceritakan ulang memorinya atas kematian ayahnya. Saya tertarik saat si anak diminta menggigit serpihan tulang ayahnya yang tidak lebur dalam proses kremasi. Sebagai anak kecil, rasa penasaran membuahkan pertanyaan yang sebetulnya sederhana, tapi kadang justru membuat orang dewasa berpikir ulang. Honami Yano, memilih untuk menggambar, menulis, dan mengisi suara sendiri untuk menampilkan ulang kedekatan personal dengan budaya dan lingkungan hidupnya di Jepang.
Film berikutnya Renggana (2021) karya sutradara AR Affandi asal Kuningan, Jawa Barat. Film ini menceritakan problematika seorang perempuan bernama Kasih yang memilih jalan hidup sebagai penari ronggeng. Latar belakang sutradara sebagai sastrawan, membuat film ini memiliki kekuatan dialog bahasa Sunda yang kuat. Narasi tentang maskulinitas beracun dalam irisannya dengan kebudayaan lokal terkesan seksi. Sebenarnya ada banyak subteks relevan, namun sayangnya Affandi kurang optimal menggunakan bahasa audio-visual untuk memperkuat subteks ini, dan membebankannya sebatas dalam dialog-dialog antar tokoh.

Selanjutnya adalah film pendek dengan durasi satu menit berjudul Childskin (2020) karya sutradara Pepi Eirew. Animasi yang banyak menggunakan semiotika ketubuhan sepertinya menjadi kunci memaknai “apa itu masa puber”. Visualnya cantik, lembut, memanjakan mata dan agak surealis. Penempatan film ini di pertengahan terasa seperti jeda untuk bernafas dan bersiap untuk film berikutnya GMIII : Essay 23-28 (2021) karya sutradara Bayu Kusuma yang merupakan film eksperimental. Film ini berusaha membuat dekonstruksi naskah Genealogy of Morals-nya Nietzsche. Yang saya tangkap ialah fragmen-fragmen yang berceceran. Soal repetisi, noise yang statis, dikotomi, hitam-putih, subjek-objek, dan sebagainya. Semuanya sulit saya simpulkan dalam suatu penyimpulan yang utuh.
Setelah GMIII : Essay 23- 28 selesai, alunan musik jazz dari urutan pembuka Misophonia (2021) karya sutradara Filippo Guarna terasa begitu menampar (dalam arti yang baik). Film drama ini bercerita tentang seorang lelaki yang memiliki kepekaan super terhadap suara. Selanjutnya film komedi gelap, Lunch Ladies (2017) yang disutradarai JM Logan menyusul sebagai penutup rangkaian program Fine Line. Lunch Ladies bercerita tentang Seretta dan LouAnne yang bekerja sebagai koki dapur sekolah. Ambisi mereka untuk menjadi koki pribadi Johnny Depp membawa mereka pada keputusan-keputusan yang “nekat”.
Kedua film terakhir adalah film genre dengan gaya penceritaan linier tiga babak dan sangat terasa formulatif. Dari segi struktur, gampang saja untuk menyebut kalau kedua film terakhir menggunakan logika film panjang-panjang yang dipendekkan. Penempatan kedua film ini di akhir program saya rasa adalah upaya yang baik dari programmer untuk meninggalkan kesan yang menyenangkan saat menonton. Azalia dan Rasyid menaruh perhatian yang besar perihal pengaruh urutan film terhadap mood yang tercipta saat film-film pendek ini ditonton dalam sebuah program.

Dalam catatan programnya, Azalia dan Rasyid menulis:
Film-film ini membawa kita berjalan di garis tipis; antara penerimaan dan penyangkalan, antara cinta dan obsesi.
Dari catatan program tersebut, program Fine Line ini terlihat dibangun menggunakan pendekatan “benang merah” dari enam film yang ada. Ada banyak pendekatan dalam pembuatan sebuah program pemutaran. Bisa menggunakan pendekatan wilayah—seperti yang dilakukan Minikino dengan Indonesia Raja, pendekatan genre, pendekatan bentuk sampai kemiripan benang merah seperti dalam program Fine Line ini. Namun, di samping semua pendekatan itu, hal yang membuat sebuah program pemutaran menjadi berbeda dari sekedar playlist adalah kapasitas program pemutaran dalam memproduksi wacana. Program pemutaran perlu menghadirkan wacana alternatif, tidak perlu melanggengkan wacana yang sudah mapan.
Proses seleksi, memilah hingga menyusun dan kesadaran jika program ini akan menemui penontonnya adalah politik visibilitas. Program film menjadi arena kontestasi wacana perihal apa-apa yang perlu terlihat (visible) dan tidak perlu terlihat. Sebab nasib terburuk dari sebuah film adalah ketika ia tidak menemui penontonnya. Oleh karenanya semua proses programming mesti dilakukan dengan pertimbangan. Saya yakin Azalia dan Rasyid punya pertimbangannya sendiri dalam memilih keenam film ini. Hanya saja pertimbangan-pertimbangan ini tidak disampaikan kepada penonton, dan posisi mereka sebagai programmer jadi tidak jelas. Apakah penonton perlu tahu pertimbangan programmer dalam memilih filmnya? Saya rasa perlu. Dalam konteks produksi wacana, rasanya saya bisa saja bertanya, apa pertimbangan menghadirkan film seperti Lunch Ladies yang terasa sangat Hollywood bersamaan dengan GMIII : ESSAY 23 – 28 atau Renggana yang lahir dari konteks yang jelas berbeda jauh sama sekali. Wacana apa yang sebetulnya ingin dihadirkan?
Dengan mengajukan pertanyaan seperti itu, mungkin ada baiknya saya mengingatkan kembali kritik Ayu Diah Cempaka atas program Indonesia Raja Bali: 2016, “catatan programnya yang terlalu umum, meraba-raba, tidak memberikan gambaran yang terang soal film-film yang dimuat dalam programnya dan mengapa film-film ini harus dijadikan sebuah program”. Saya rasa kritik yang diutarakan Ayu masih relevan. Karena alasan yang sangat mendasar, menghadirkan film kepada penonton juga perlu tanggung jawab. Atau setidaknya alasan.
Di samping apresiasi saya atas pengurutan program yang asyik, saya penasaran perihal pertimbangan Azalia dan Rasyid membuat catatan program yang terlalu umum (dan abstrak) ini. Kalau catatan program difungsikan sebagai pengantar, saya merasa tidak diantar kemana-mana karena “penerimaan dan penyangkalan” apalagi “cinta dan obsesi” adalah garis tipis (fine line) abstrak yang bisa saja ditemui dalam banyak film di luar sana. Jikalau catatan program ini berfungsi sebagai teks pendukung diskusi atas rangkaian film-filmnya, maka isinya kurang kuat dalam memberikan nilai lebih untuk menghadirkan wacana baru.
Saya menduga catatan program Fine Line ini sengaja dibiarkan abstrak agar para penonton dapat berdiskusi tanpa perasaan terbatasi. Kalau memang demikian, catatan program ini bisa disebut berhasil karena diskusi yang terjadi di Cinemora terbangun dari penangkapan para penonton. Mulai dari impresi personal penonton tentang film mana yang paling mereka suka, sampai bahasan kualitas nilai produksi film pendek Indonesia dan luar negeri. Tidak ada perspektif tunggal karena semua penonton saling membagikan pengalaman menontonnya. Karena pada akhirnya pemutaran program film pendek ketika ditonton bersama-sama, selalu mungkin menstimulasi penonton menjadi subjek yang aktif untuk berdiskusi. Dan tentu diskusi semacam ini menjadi salah satu hal yang menarik ketika menyaksikan pemutaran program film pendek.
Ingin dengar diskusi antara filmmaker dan programmer? Klik di sini untuk menonton After Screening QnA MMSD December 2021 – FINE LINE di art-house cinema MASH Denpasar (10/12) bersama; Bayu Kusuma (GMIII: Essay 23-28), Clarissa Jacobson (Lunch Ladies), Filippo Guarna (Misophonia), Honami Yano (A Bite of Bone), Azalia Syahputri dan Rasyid Faqih (Programmers), Moderator: Fransiska Prihadi (Minikino).
Discussion about this post