Program Let The Masculinities Burn (Indonesia Is The Light At The End Of The Tunnel) yang dirancang Fransiska Prihadi (Minikino) & Andrés Suarez (Bogoshorts), niat awalnya ditujukan bagi penonton Kolombia di Bogoshorts yang ke-20 untuk berkenalan dengan lanskap film pendek Indonesia pada tahun 2022 lalu. Sebagai bagian dari program World Tour: Indonesia, program ini menjadi semacam jendela untuk melihat panorama budaya, sosial dan politik dari negara yang berlawanan posisi secara geografis. Dan ketika program ini bertemu penonton Indonesia pada Januari 2023 di Mash Denpasar dan Uma Seminyak, jendela itu berubah menjadi cermin.
Perubahan seperti ini, mengingatkan saya pada apa yang dikatakan oleh Eric Sasono dalam tulisannya Ruang dan Prasangka, bahwa “programmer film yang baik adalah programmer yang memproduksi ruang pertunjukannya menjadi ruang yang lincir (smooth, glisse), bukan ruang yang penuh penataan, aturan dan kategori.” Programmer film festival memang semestinya tidak hanya menyusun film atau mengkategorisasi berdasarkan penilaian artistik semata. Mempertimbangkan konteks kultural dan politis yang lebih luas menjadi penting.
Tentang “Yang Normal” dan “Ideal”
Kembali lagi bicara soal cermin, menonton empat film pendek yang dipilih Andrés dari beberapa pilihan film pendek Indonesia yang ditawarkan oleh Fransiska, rasanya seperti melihat cerminan masyarakat dan diri sendiri sekaligus. Pada film pertama dalam program ini misalnya Jemari Yang Menari Di Atas Luka-Luka (2019) yang disutradarai oleh Putri Sarah Amelia berangkat dari persoalan yang cukup dekat dengan saya, kalau orang tua ingin masyarakat melihat anaknya “normal” atau “baik-baik” saja.
Dari persoalan itu Putri sebagai sutradara dan penulis naskah mengembangkannya menjadi premis yang unik. Tentang seorang perias jenazah yang harus merias jenazah seorang trans laki-laki. Lanjut ceritanya, si perias jenazah harus merias jenazah ini sesuai permintaan sang ibu agar anaknya nampak seperti perempuan dan terlihat “normal”. Tapi setelah mengetahui keseharian si jenazah yang memilih menamai dirinya “Mikael Putra” lewat barang dan foto di kamarnya. Si perias jenazah memutuskan untuk merias jenazah dengan pakaian formal laki-laki.
Keberpihakan si pengurus jenazah ini memicu sebuah pertanyaan dalam benak saya. “Dari mana ia mendapat sensibilitas seperti itu?” Kalau di dunia nyata, besar kemungkinan si pengurus jenazah ini sudah menggadai profesinya. Tapi karena kita sedang membicarakan film dan pertanyaan seperti itu, justru mempertegas jika sensibilitas tersebut datang dari sudut pandang dan keberpihakan filmmakernya. Hal ini saya pikir bukan sekedar pilihan untuk memperkuat aspek dramatis, tapi juga pilihan yang politis.
Sebagai film pembuka, Jemari Yang Menari Di Atas Luka-Luka yang tanpa dialog ini, berbicara dengan keras tentang “apa yang normal” dari identitas dan seksualitas. Ia pun menjadi pengantar yang mulus untuk film berikutnya yang memiliki isu serupa, Lika Liku Laki (2021) karya Khozy Rizal. Sebuah film pendek yang mengisahkan Akbar yang harus berpura-pura menyukai sepak bola agar diterima oleh perkumpulannya.
Sejak awal karakter Akbar muncul dalam frame, dia sudah mencoba fit in dengan teman-temannya yang maskulin dengan berdiri di depan cermin dan mengucapkan “Bro… Bro.. BRO”. Dicarinya suara serak-serak paling macho. Lalu Akbar ngegym, ikut nongkrong, dan ikut-ikut mengukur ukuran penis sebagai simbol kegagahan. Tapi semua itu berbenturan dengan queerness yang ada dalam diri Akbar. Melihat kelakuan Akbar, saya sedih karena memang itulah kenyataan pahit jika menjadi queer di lingkungan yang mengamini heteronormativitas, artinya langsung mendapat cap “tidak normal”.
Menjadi normal, dan menjadi bagian dari mayoritas artinya menjadi tidak berbeda. Menjadi “seragam”, adalah sebuah paksaan dalam konstruksi heteronormativitas yang mapan hari ini. Seakan-akan tidak ada opsi untuk menjalani hidup dengan cara yang lain di luar heteronormativitas. Heteronormativitas sebagai produk budaya yang seksis, bias, tak setara dan condong pada diskriminasi serta kekerasan struktural, juga turut membentuk bagaimana sebuah keluarga yang ideal—atau dalam konsep keluarga modern disebut keluarga nuklir (nuclear family). Permasalahan keluarga inilah yang diangkat oleh kedua film pendek berikutnya yaitu Seragam (2020) arahan Brahmma Wijaya Putra dan Laut Memanggilku (2021) arahan Tumpal Tampubolon.
Dalam Seragam, konsep keluarga nuklir beririsan dengan identitas rasial dan agama. Latar waktu di tahun 1998 menjadi konteks penting dalam film pendek ini. Saat itu, Soeharto baru saja turun tahta, tapi nilai-nilai ideologis yang ditanamkannya masih meraja, termasuk nilai-nilai keluarga nuklir yang oleh Orde Baru ditanamkan dalam Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS), bapakisme, dan juga ibuisme. Dalam NKKBS keluarga dimaknai sebagai institusi yang terdiri dari suami, istri dan satu atau dua orang anak yang saling menunjang secara rohani dan jasmani. Sedang bapakisme dan ibuisme adalah pembagian berdasarkan relasi gender yang memposisikan peran dan posisi. Sederhananya konstruksi peran itu dibagi menjadi tanggung jawab bapak dalam urusan yang bersifat jasmani seperti nafkah (publik), dan ibu yang bersifat rohani seperti mengurus anak (domestik).
Keluarga kecil dalam Seragam—dan mungkin semua keluarga di Indonesia hingga saat ini—harus berhadapan dengan nilai-nilai tersebut. Bapak dalam Seragam haruslah bapak yang bekerja dan memberi contoh yang baik pada anaknya. Mungkin terdengar kolot, tapi menonton dramanya saja masih terasa dekat. Bagaimanapun, NKKBS, bapakisme, dan ibuisme terlalu kuat mengakar dalam masyarakat sehingga ekspektasi tentang keluarga yang ideal hanya itu-itu saja. Permainan ekspektasi tentang keluarga selanjutnya dimainkan dengan baik oleh Tumpal melalui Laut Memanggilku.
Tumpal dengan sadar menampilkan kisah Sura, seorang anak yang “tidak ideal”, tanpa bapak dan ibu yang hadir dalam kesehariannya. Sura ditampilkan penuh rasa penasaran dan eksplorasi, sampai pada suatu ketika, ia menemukan sex doll di kumpulan sampah di tepi pantai. Sex doll itu diberikan pakaian dan dijadikan kerudung oleh Sura, menyulapnya menjadi sosok seorang ibu untuk memenuhi kebutuhan jiwa/rohaninya. Ada satu adegan yang kuat dalam film pendek ini, ketika seorang remaja merenggut paksa, dengan kekerasan, sex doll (atau ibu) yang ditemukan Sura. Imajinasi dan asumsi saya sebagai penonton berekspektasi kalau sex doll ini akan digunakan sebagaimana fungsinya. Tapi ekspektasi saya patah. Karena ternyata remaja ini sama membutuhkan sosok ibu untuk memenuhi kebutuhan jiwa/rohaninya.
Permainan ekspektasi dalam Laut Memanggilku, meskipun berhasil, ia masih terjebak dalam imajinasi atas kebutuhan “keluarga yang ideal”. Bahkan kebutuhan atas “keluarga yang ideal” ini diperjuangkan dengan cara yang maskulin melalui kekerasan, dominasi dan hasrat kepemilikan. Laut Memanggilku sebagai penutup program menunjukan bagaimana rapuhnya maskulinitas dihadapan kebutuhan atas cinta dan hubungan yang penuh kasih sayang.
Kelembutan Sebagai Kata Kerja
Dalam sesi bincang-bincang usai pemutaran program, salah satu penonton, Angga menanyakan pada Andrés “Apakah ada hal yang kamu temukan sebagai sesuatu yang universal dalam maskulinitas?”. Ini jawaban Andrés,“Saya menemukan sesuatu yang universal tentang maskulinitas. Waktu kamu berpikir tentang maskulinitas, kelihatannya seperti “keras”, tidak lembut, mementingkan harga diri, dan angkuh”.
Lalu Andrés melanjutkan “Sepertinya ini sesuatu yang perlu kita ajarkan pada anak-anak, bahwa kita bisa lembut, ada narasi yang cukup populer di Kolombia sekarang bahwa ‘kelembutan itu revolusioner’, kita ada di sebuah sistem yang sangat keras, kita harus produktif, efektif. Kebanyakan kerja sampai tidak ada waktu untuk sebuah perhatian, afeksi”. Bagi Andrés, topik maskulinitas penting karena ia berada di generasi yang menahan perasaan di dalam diri, dan tidak berhasil mengekspresikannya. Jadi Andrés percaya, ketika ia melihat lihat film-film pendek ini, ia merasa terhubung dengan berbagai pertanyaan yang muncul dari film-film pendek ini.
Saya sepenuhnya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Andrés tentang kelembutan. Terutama kelembutan yang harus menjadi kata “kerja” dan dinormalisasi dalam setiap tindak-tanduk bersosial. Karena sialnya, kebutuhan atas koneksi dan cinta ini telah disesatkan oleh kapitalisme global dan patriarki menjadi hasrat akan kekuasaan dan kepemilikan. Dan hal ini berlaku secara universal, baik di Indonesia maupun di negara terjauh dari Indonesia seperti Kolombia.
Akhirnya, program film pendek ini—seperti saya singgung di awal—adalah cermin, dan kita tahu kalau cermin tidak pernah berbohong. Saya seperti bercermin, bagaimana saya sebagai laki-laki ada dalam pusaran narasi yang mengharuskan saya menjadi “normal, menjadi maskulin, menjadi dominan dan menjadi kuat. Padahal berantakan dan rapuh ketika bicara soal kebutuhan manusia atas koneksi dan cinta. Dan sebagaimana yang mungkin sudah kita ketahui, cinta tidak akan mekar di lingkungan yang penuh dominasi.
Discussion about this post