[Ulasan Ini Mengandung Spoiler untuk film Blue Poetry (2023)]
Gerakan meniadakan kantong plastik, tren membawa tumbler sendiri, beli baju bekas (thrifting), hingga menganut diet vegan atau vegetarian—semua penyesuaian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat urban ini, dilakukan atas nama melawan krisis iklim. Semua tahu isu sebesar ini tidak akan mungkin selesai karena satu orang tiba-tiba berhenti menggunakan kantong plastik. Namun, yuk berpikir positif sejenak. Mungkin, kemauan kita merubah gaya hidup sedikit demi sedikit memiliki nilai lebih dari sekedar nilai etis: it’s the right thing to do.
Memang, Indonesia mengimpor 3% dari sampah plastik di dunia (secara illegal), kebanyakan berasal dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Pada 2020 sendiri, Indonesia menghasilkan sekitar 65,2 juta ton sampah. Bisa jadi, hal ini menginspirasi para petinggi perusahaan-perusahaan yang produk-produknya merajalela supermarket kita untuk menerapkan kebijakan go-green (kali ini asli, sungguhan kok, bukan sekedar greenwashing). Walau nilai-nilai go-green ini nampaknya tidak mengurangi jumlah sampah plastik sekali pakai (bahkan meningkatkan jumlahnya) sejauh ini, kita tetap harus percaya bahwa niat baik mereka cukup untuk menghasilkan perubahan.
Porsi besar dari sampah yang asal mulanya dari pabrik dan perusahaan multinasional ini larinya ke laut. Awalnya, banyak dari sampah ini dibiarkan menggunung di suatu lahan, jalanan, atau bahkan tempat sampah. Saking rindunya sampah-sampah ini pada suasana segar laut, jauh dari debu dan asap perkotaan, larilah mereka ke laut. Tenang saja, manusia membantu perjalanan mereka ini.
Ramainya laut dengan rombongan sampah mungkin menginspirasi Muhammad Heri Fadli untuk menulis dan menyutradarai film pendek Blue Poetry (2023). Film pendek ini menceritakan keseharian Ucup, seorang nelayan di pesisir suatu daerah di Indonesia. Lautan yang menafkahi hidupnya juga merupakan lautan yang menjadi rumah bagi banyak sampah plastik. Ketika kedua fakta ini berjumpa, terjadi distorsi antar kedua maknanya. Sampah dan kehidupan menjadi sinonim.
Sampah Sebagai Sumber Kehidupan
Suasana ganjil sudah berakar sejak film mulai. Di mana halaman luas nelayan biasanya digunakan untuk menjemur ikan. Tapi di depan halaman rumah Ucup malah terbaring bermacam-macam rupa sampah. Namun, mari coba berpikir positif. Mungkin saja, Ucup pekerjaannya bukan hanya menangkap ikan, tetapi juga mengumpulkan sampah untuk membantu membersihkan lingkungan laut dan pantai daerahnya. Bukankah mulia untuk menceritakan kisah nelayan yang sedang berjuang menghidupi keluarganya sekaligus jadi superhero penyelamat laut dari sampah?
Kemudian, film mengajak kita menemani Ucup mencari ikan di laut bersama nelayan-nelayan lain. Jangan bingung kalau di layar, umpan mereka tampak seperti kondom bekas, karena sebenarnya itu cumi. Hanya saja cumi-cumi ini terlalu sering bergaul dengan kondom-kondom bekas di laut. “You are who you surround yourself with,” kan? Ucup dan teman-temannya mendapat banyak ikan. Jangan bingung dengan wujud ikan-ikan ini. Memang, tangkapan mereka terlihat seperti sandal, pembalut, jok motor, tetapi ikan-ikan ini masih layak dagang dan konsumsi.
Ikan tuna raksasa (yang tentunya bukan jok motor) terjual, dan sebagian ikan lainnya (asli, itu ikan) masuk dalam perut nelayan-nelayan serta keluarga mereka sendiri. Pada titik ini, berusaha terus positive thinking jadi sedikit konyol. Ini adalah saatnya mengakui Blue Poetry berbicara dalam bahasa figuratif. Film terus membawa audiens untuk berimajinasi dalam kegelisahan dengan yang berbicara dalam metafora. Di dunia Ucup, ikan adalah sampah dan sampah adalah ikan.

Penggunaan metafora dalam membahas isu pencemaran laut sudah menjadi natur yang kadang malah membuatnya kehilangan makna terlalu sering digunakan. Namun, dalam Blue Poetry, metafora memiliki fungsi ilmiah dan kultural. Ilmiah berarti metafora bermula dari fakta, dan kultural dalam bagaimana film dapat menghubungan fakta tersebut ke dalam konteks masyarakat yang berhubungan langsung dengan isu. Metafora di sini berguna sebagai alat yang meratakan persepsi audiens akan isu yang terlalu kompleks, seperti pencemaran laut.
Metafora yang diterapkan di sepanjang film dapat diidentifikasikan juga sebagai hiperbola. Faktanya, banyaknya sampah plastik di laut sudah menyusup ke ekosistem laut yang kompleks. Contohnya saja, pada 2020 ditemukan bahwa 55% ikan yang dijual di Makassar mengandung plastik. Meskipun kini realitanya ikan masih berwujud layaknya ikan di pasar, film membawa fakta ini melangkah lebih jauh dengan memberi ikan wujud sampah plastik.
Berbeda dengan karya dokumenter jurnalistik dan statistik, film pendek fiksi yang bernarasi dengan metafora memberi kesan cukup segar bagi audiens. Terutama untuk mendalami isu yang terpampang nyata dan mengarahkan kita pada dunia distopia.
Monster Plastik yang Menghantui Laut
Secara formal, dua pertiga film Blue Poetry juga berbicara dalam bahasa horor yang menimbulkan ketidaknyamanan—penerangan minim, keheningan yang tidak nyaman, kecurigaan, gambar yang terlalu aneh untuk dicerna karena terlalu jauh dari realita. Dan ketidaknyamanan itu menantang audiens untuk sungguh-sungguh mencerna segalanya yang ada di layar, sebagaimana Ucup dan keluarganya mencerna tumis plastik dengan nasi di film.
Aroma horor dalam film ini tidak berhenti di situ saja. Bahkan, secara keseluruhan, film ini dapat dikatakan film horor. Bukankah seharusnya banyaknya plastik menakutkan untuk kita manusia? Tidakkah lautan penuh sampah cukup untuk menakut-nakuti kita akan nasib masa depan manusia di bumi? Apakah keseganan manusia-manusia dengan banyak kuasa (uang) untuk memperbaiki atau mengimbangi kesalahan mereka bukan kisah horor?
Di dunia di mana ikan berwujud sampah memiliki nilai, keadaan (nalar dan emosional) manusia patut dipertanyakan. Meski untuk Ucup dan semua warga semesta Blue Poetry, sampah adalah ikan dan ikan adalah sampah, metafora horor dalam film ini jadi manifestasi keadaan bumi kita ketika sudah di ujung tanduk.
Nasib Ucup serta keluarganya (bahkan bisa dibilang semua manusia di dunianya) bukan lagi di tangan mereka sendiri, melainkan dalam tangan sampah yang menghidupi (atau mematikan) mereka. Ikan (plastik) menghidupi mereka secara jasmani dan ekonomi dan dalam waktu bersamaan menghancurkan mereka dari dalam. Faktanya, mikroplastik sudah menjajah banyak kehidupan laut, memasuki jaringan tubuhnya, dan kemudian memasuki tubuh manusia. Makna kehidupan dan sampah telah terdistorsi. Manusia dan sampah telah menjadi hal yang sama. “You are what you eat”, dan menjadilah sampah plastik semua manusia penikmat “ikan” versi Blue Poetry.
Akhir kisah Ucup ironis, tetapi tidak mengejutkan. Ucup menjadi monster plastik—berwarna-warni plastik menyelimuti sekujur tubuhnya. Blue Poetry dapat dibaca sebagai sebuah satir tentang ancaman limbah plastik terhadap kehidupan laut, yang pada akhirnya mengancam segenap kehidupan di bumi, termasuk manusia.
Meski dunia Ucup dan dunia kita tampak jauh berbeda, nyatanya, keduanya masih serupa. Dalam menyampaikan idenya, Muhammad Heri Fadli menggunakan gaya gamblang walaupun semesta dalam filmnya bernada fantasi. Sama seperti ada aktivis yang turun ke jalan maupun berbicara secara akademis, ada pula filmmaker yang melalui seni audio-visual menyorakkan gagasan mereka tentang kerusakan bumi. Dan Blue Poetry hadir menyodorkan betapa tidak ada harapannya krisis iklim saat ini sementara masih membangkitkan semangat dan amarah pada kita untuk tidak diam.
Discussion about this post