Saya tidak dapat mengingat dengan baik kapan tepatnya saya menonton film pendek untuk pertama kali. Dahulu kala–entah kapan juga tepatnya–film pendek merupakan salah satu hiburan yang saya rasa sulit sekali diakses. Keterbatasan informasi, pengetahuan, dan juga latar belakang lingkungan yang tidak bergerak di bidang-bidang tersebut, membuat film pendek menjadi sesuatu yang asing. Bahkan judul-judul populer film pendek Indonesia hampir tidak pernah berbisik di telinga saya. Namun, tentu saja masa-masa itu tidak berlangsung lama.
Keberjarakan antara saya dengan film pendek perlahan luruh begitu film pendek Tilik (2018) mengguncang jagat media sosial twitter. Tilik dengan ide cerita yang membumi serta keunikan karakter Bu Tejo pada tahun 2020 lalu, membuka pintu buat saya mengenal film pendek. Terlebih keadaan pandemi membuat akses kepada hiburan menjadi hal yang dicari-cari masyarakat, pada saat itu Tilik memiliki “kemenangannya” tersendiri. Kemenangan sebagai film pendek sebagai medium yang viral, lalu dikenal masyarakat luas. Dan kemenangannya sebagai jalur untuk pembuka film pendek Indonesia lainnya (yang ini khusus untuk saya).
Sejak saat itu, saya mengenal Viddsee, salah satu platform menonton film pendek legal dan menyediakan banyak film pendek Indonesia yang dapat ditonton dengan gratis dan mudah. Sejak mengetahui akses menonton film pendek, saya berpikir permasalahan jarak bagi saya pribadi telah usai. Namun, prihal jarak membuat saya tersadar bahwa kemudahan yang akhirnya saya peroleh barangkali tidak dimiliki oleh banyak orang lain di luar sana. Akses kepada ruang-ruang hiburan tidak mudah didapatkan sebagaimana yang saya lakukan.
Sehingga, bagaimana jika film dan film pendek khususnya, yang memiliki muatan-muatan untuk menggambarkan keadaan sosial masyarakat Indonesia hanya dapat dinikmati oleh orang yang “itu-itu saja”? Bagian “itu-itu saja” yang saya maksud adalah orang-orang yang terlibat dalam industri dan ekosistem film, film menjadi eksklusif. Pertanyaan tersebut bersarang di kepala, saya cukup lama.
Sampai datang kesempatan bagi saya untuk terlibat dalam program Pop Up Cinema, salah satu rangkaian program dari acara Minikino Film Week 8 (MFW8). Pengalaman mengikuti Pop Up Cinema rasanya menjadi pengantar untuk menentukan jawabannya.
Kerja-Kerja Pop Up Cinema: Apa, Untuk Siapa, dan Keterlibatan Perempuan
Pop Up Cinema atau yang akrab dikenal sebagai Layar Tancap atau Misbar, merupakan program yang diusung oleh Minikino Film Week, Bali International Short Film Festival sejak awal kemunculannya. Masuk tahun kedelapan, MFW melakukan perjalanan ke satu lokasi dan berkolaborasi dengan penduduk lokal untuk membangun kerja sama yang berkelanjutan. Pop Up Cinema sendiri merupakan acara yang dibangun atas dasar kesadaran bahwa tidak semua orang memiliki akses untuk menonton film pendek dan apalagi pergi ke bioskop. Dengan dibangunnya Pop Up Cinema atau Layar Tancep, program ini berupaya untuk menciptakan pengalaman menonton film pendek di layar besar.
Saat itu tim Pop Up Cinema yang bertugas adalah I Made Suarbawa atau Kak Birus selaku Travelling Festival Director, Kak Vifick sebagai salah satu Dewan Penasihat yang juga merangkap sebagai fotografer, dua teman volunteer Jere dan Arya, lalu dua orang pengemudi mobil. Tim Pop Up Cinema hari pertama pada saat itu berjumlah tujuh orang. Proses keberangkatan menuju Desa Adat Pagi dimulai dari memasukkan perlengkapan Pop Up seperti layar serta penyangganya, speaker, mixer, proyektor, dll. Begitu pula saat sampai di Desa Adat Pagi, barang-barang yang kami bawa disiapkan untuk pemutaran film di malam hari.
Semua kerja angkut mengangkut ini membawa sedikit renungan dalam benak saya. Ketika mengetahui bahwa lahan kerja Pop Up Cinema merupakan wilayah yang didominasi oleh laki-laki. Baik itu pengangkutan maupun penurunan barang-barang dari mobil, pemasangan layar, hingga pada proses pengoperasian didominasi oleh tenaga laki-laki. Bantuan yang saya kerahkan untuk pemasangan Pop Up Cinema adalah dengan membantu mengangkat barang-barang (dengan kata lain adalah kerja-kerja yang didominasi oleh laki-laki).
Kerja-kerja outdoor seperti ini memang identik dengan tenaga laki-laki. Hal ini juga ada kaitannya dengan sejarah panjang domestifikasi yang diterima oleh perempuan. Dunia luar dianggap berat dan berbahaya sehingga “dapur, sumur, kasur” dicap sebagai tempat paling tepat untuk perempuan yang dinilai “lemah”. Tapi ketika saya mengikuti Pop Up Cinema di MFW8, saya merasa keterlibatan saya juga memiliki peran yang tidak sedikit. Dan tentu hal itu membuktikan kalau perempuan juga mampu kerja outdoor.
Upaya Membangun Ruang-Ruang Emansipatif
Pop Up Cinema MFW8 tahun ini diadakan selama dua hari berturut-turut di Desa Adat Pagi, Tabanan. Film-film pendek yang diputar merupakan bagian dari program Jolly dan Indonesia Raja 2022: Bali. Setiap film yang diputar menuai respons yang berbeda dari tiap rentang usia penonton. Saya ingat dengan jelas animasi seperti film De-De (2021), dapat menimbulkan gelak tawa di antara para anak kecil yang hadir malam itu. Atau sebut saja film-film dari rangkaian program Indonesia Raja 2022: Bali yang menyisakan kebingungan di benak bapak-bapak Desa Adat Pagi yang mempertanyakan absennya sosok ayah dalam beberapa film.
Pop Up Cinema atau Layar Tancep pada kenyataannya tidak hanya hadir sebagai ruang hiburan bagi warga Desa Adat Pagi maupun ruang sosial, melainkan sebagai ruang emansipatif yang merengkuh seluruh kalangan. Baik itu laki-laki dan perempuan dari bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek, remaja, dewasa, hingga anak kecil turut hadir menyaksikan program-program yang disiapkan. Setiap kalangan memiliki porsinya sendiri dalam mewujudkan Pop Up Cinema di Desa Adat Pagi, Tabanan. Seperti pemuda-pemuda Desa Adat Pagi yang turut membantu membangun layar Pop Up Cinema, ibu-ibu dan pemudi yang turut menyiapkan konsumsi hari itu, serta anak-anak yang membantu membersihkan aula tempat kami mengadakan Pop Up Cinema.
Upaya membentuk jaringan budaya menonton yang dapat menghubungkan wilayah-wilayah di Bali melalui program Pop Up Cinema di Desa Adat Pagi, berbanding lurus dengan antusiasme warga Desa Adat Pagi. Sejak awal kedatangan, kami disambut oleh beberapa pemuda dan pemudi serta ketua LPM Desa Adat Pagi. Kami lebur menjadi kesatuan yang saling bekerja sama mewujudkan Pop Up Cinema di desa tersebut.
Pop Up Cinema atau Layar Tancep sedikit banyaknya mengingatkan saya pada kegiatan nobar (nonton bareng) yang beberapa kali diadakan di tempat tinggal saya selepas perayaan HUT RI. Jika siang hari diisi dengan kegiatan perlombaan, maka malamnya diisi dengan acara nonton bareng (biasanya film India atau film perjuangan). Kegiatan tersebut selain merupakan medium rekreasi warga sekitar, juga merupakan medium pencari rezeki bagi para tukang dagang.
Penayangan film–yang pada awalnya merupakan tujuan utama–dengan format layar tancap menerobos batas-batas lain dengan menyeluruh. Semua orang, baik yang berniat menonton, bercengkrama, membeli dagangan, menjadi satu di bawah naungan sebuah pemutaran layar tancep. Dari hal tersebut, saya sedikitnya dapat mengetahui betapa pentingnya kebutuhan ruang yang hidup bagi masyarakat kita.
Maka Pop Up Cinema atau Layar Tancep di Desa Adat Pagi, Tabanan, merupa ruang di mana warga desa dapat mendapatkan hiburan. Sebut saja, anak kecil yang mendapat hiburan dari tontonan animasi, para remaja dan dewasa tanggung yang mendapat hiburan dari tontonan bergenre drama, pun dengan ibu-ibu, bapak-bapak, maupun kakek-nenek yang dapat pula menikmati, misal, film pendek Belajar di Kampung (2021) yang secara garis besar menceritakan perjuangan seorang ibu mengajarkan anaknya pada masa pandemi.
Pada akhirnya masyarakat dapat mendapatkan hiburan yang setara melalui pemutaran film-film pendek di Pop Up Cinema MFW8. Program ini menjadi jendela bagi masyarakat Desa Adat Pagi untuk merasakan atmosfer menonton yang sama, seperti apa yang dirasakan oleh orang-orang dalam industri film rasakan.
Discussion about this post