Sebuah email masuk menjelang pertemuan dengan pembicara tamu kedua para pesrta program Minikino Hybrid Internship for Film Festival Writer. Kali ini guest speaker bernama Liisa Holmberg. Seperti biasa, selalu ada pengantar perkenalan mengenai pembicara, dan dalam email kali ini disertakan sebuah dokumen berjudul “OFELAS: The Pathfinder (Guidelines for Responsible Filmmaking with Sámi Culture and People)”. Yang membuat saya tertarik ketika mendengar nama “Sámi Film Institut” adalah karena saya tidak pernah mendengarnya selama ini.
Sámi adalah sebutan bagi penduduk yang mendiami Sápmi, sebutan lain untuk daerah Lapland dan beberapa daerah yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Semenanjung Kola di Russia. Mereka juga adalah suku yang menggunakan bahasa Sámi yang juga terancam punah. Selain itu banyak dari keturunan Sámi yang menyebar di negara-negara tetangganya sehingga banyak yang mengira orang Sámi di Norwegia adalah orang Norwegia, dan Sámi di Finlandia juga adalah orang Finland dan seterusnya. Dokumen Ofelaš atau dalam bahasa Inggris disebut The Pathfinder, itu sendiri berisi berbagai macam regulasi penting untuk para pembuat film dalam mengangkat budaya Sápmi dalam sinema. Pertanyaannya adalah mengapa? Dan sebenarnya apa yang terjadi sehingga dokumen itu penting dalam memahami perjalanan Liisa Holmberg dan Sámi Film Institute?
Pada hari Kamis, 2 Juni 2022 untuk pertama kalinya saya bertemu dengan orang Sámi. Orang-orang Sámi berada dalam ketidakpastian geografis. Liisa Holmberg mengkonfirmasi hal ini. Ketidakjelasan geopolitik, dan orang-orang Sámi yang terpencar di beberapa negara memicu eksploitasi budaya yang perlahan dapat menggerus budaya Sámi sendiri. Dokumen The Pathfinder adalah contoh usaha mereka untuk mencegah eksploitasi budaya, terutama karena pernah dan terus menerus terjadi dalam konteks sinema.
Liisa menjelaskan Ofelaš yang juga menjadi judul dokumen tersebut adalah judul film pertama yang menceritakan tentang budaya Sámi. Film tersebut dibuat oleh sutradara Sámi bernama Nils Gaup pada tahun 1987. Sebelumnya banyak sekali film yang mengangkat tentang budaya Sámi, namun justru tidak melibatkan orang-orang Sámi dalam posisi penting saat produksi. Ofelaš hadir sebagai perlawanan terhadap kekecewaan intervensi luar terhadap budaya Sámi yang berujung kepada eksploitasi semata. Sebelumnya produksi film tidak menciptakan pertukaran ilmu seperti yang selalu diharapkan oleh orang-orang Sámi. Film Ofelaš sempat menjadi salah satu nominasi Academy Awards sebagai Best Foreign Pictures tahun 1988.
Usaha dekolonisasi dan keinginan terbebas dari eksploitasi para pendatang atau orang luar suku Sámi mendorong inisiasi lahirnya Sámi Film Institut dan dokumen regulasi panduan bernama The Pathfinder yang juga diambil dari nama film yang menandai adanya revolusi sinema di dalam budaya Sámi. Hal ini menarik karena Sámi Film Institut ternyata menjadi corong utama mereka dalam memperjuangkan lahirnya ekosistem sinema yang sehat dan bebas dari eksploitasi. Organisasi ini juga mampu berkontribusi dalam perkembangan distribusi budaya dan pengetahuan lokal. Hal yang sama sebenarnya banyak terjadi di negara yang tidak terlalu maju distribusi atau reproduksi ilmu budayanya, terutama di negara-negara bekas koloni seperti di Indonesia.
Negara bekas koloni memiliki karakteristik yang sama, yaitu mewariskan pengetahuan yang diambil dari para penjajah untuk tetap dipakai walaupun sebenarnya pengetahuan tersebut sudah ada di negara koloni dalam bentuk dan laku yang berbeda. Reproduksi dan klaim ulang pengetahuan antara koloni dan yang mengkoloni ini di kemudian hari umum dikenali sebagai eksploitasi kebudayaan. Hal ini menjadi salah satu pilar bentuk dari Penjajahan atau Kolonialisme yang lebih umum.
Budaya mengkoloni dan menduduki suatu bangsa atau suku hari ini tidak melulu bermula dari ekspansi militer. Kolonialisme masuk melalui budaya, ekonomi, teknologi, bahkan hal-hal yang sifatnya lebih subtil yaitu cara pandang masyarakat di suatu wilayah. Sebagai orang Indonesia saya memahami ketakutan orang Sámi terhadap Kolonisasi model baru yang akan (atau bahkan sudah terjadi) melalui industri sinema yang masuk dan berusaha mewakili mereka tanpa keterlibatan berarti.
Ketakutan yang sering terlintas di benak saya dan serupa dengan kekhawatiran orang Sámi misalnya tentang anak muda yang lebih suka menonton film Hollywood ketimbang film Indonesia. Berapa banyak anak muda yang suka lagu Indonesia ketimbang Korea/ Jepang/ Amerika? Dan berapa banyak orang Indonesia yang mau belajar tari tradisional ketimbang latihan dance k-pop? Kolonisasi modern punya kekuatan menciptakan satu atau dua generasi hari ini yang gamang alias insecure khawatir tertinggal budaya luar. Mungkin saja imbasnya adalah distribusi pengetahuan lokal yang suatu saat akan berhenti dan mati suatu saat nanti.
Saya sempat mengalami sendiri situasi berada di lingkup komunitas kota Tasikmalaya yang tidak terlalu maju industri filmnya. Distribusi ilmu kebudayaannya juga tidak terlalu terawat dengan baik. Ketika saya dan teman-teman merasa ada kepentingan untuk meningkatkan produktifitas film lokal, terlalu banyak anak muda yang sudah berhenti berusaha. Ada perasaan bahwa perkembangan di daerah lain sudah sangat jauh dan tidak mungkin warga lokal Tasikmalaya akan mampu mengejar ketiggalan. Urusan arsip budaya lokal dipercayakan begitu saja terhadap orang luar daerah dan tidak ada kesadaran bahwa seringkali terjadi praktik diskriminatif, dan eksploitatif tanpa memberi timbal balik ilmu yang sepadan dari luar terhadap lokal.
Pada waktu itu, saya dan kawan-kawan di Tasikmalaya mencoba menempuh berbagai cara. Salah satunya adalah membangun departemen perfilman di dalam dewan kesenian daerah. Ternyata hal tersebut tidak efektif pada praktiknya karena banyak disusupi oleh kepentingan politis yang melakukan komodifikasi kearifan lokal. Pada akhirnya semangat banyak komunitas meredup. Anak-anak muda mulai meninggalkan hal terkait film yang dahulu mereka perjuangkan.
Saya jadi ingat rasa takut yang sama saat bercakap-cakap dengan Liisa. Rasanya saya sebagai orang Indonesia masih sering tidak yakin bagaimana harus menyikap kearifan lokal. Dengan segala kegelisahannya, Liisa tetap berjuang selama bertahun-tahun mencoba untuk meyakinkan orang-orang Sámi dan orang luar budaya tersebut agar mau bersatu lebih bijak bersikap dalam menghadapi intervensi cara pandang luar yang melakukan komodifikasi lokalitas Sámi.
Adanya regulasi yang digunakan untuk melindungi kepentingan lokal seperti The Pathfinder dapat menjadi rujukan penting bagaimana kita harus merawat distribusi pengetahuan dan perfilman lokal yang ada, sehingga hak-hak tiap orang yang ada di ekosistem perfilman dapat terpenuhi serta meminimalisir adanya penyimpangan dalam praktiknya. Sebab saya percaya film merupakan medium yang sejatinya sangat universal dan sudah seharusnya setiap orang memiliki hak yang sama untuk belajar dan menyuarakan pandangannya melalui film.
Discussion about this post