Film yang diproduksi pada tahun 2017 ini memasukkan banyak aspek yang lebih mudah dipahami orang dengan latar belakang budaya Amerika dan tidak dialami di negara dan daerah lain. Jujur saja saya tidak mengalami kenangan sekolah dengan para Lunch Ladies dan budaya menu-menu makanan yang berganti-ganti di kantinnya, selain pedagang warung yang menyediakan jajanan dan makanan selalu sama tiap hari dan akan ganti kalau misal ada request. Kadang kalau memang makanannya tidak enak, ya kita biasanya menggerutu diam-diam tanpa mau komplain karena ada rasa pakewuh dan takut menyakiti hati si pedagang. Sementara di Lunch Ladies, inilah yang menjadi akar masalah utama, sebab bermula dari makanan yang tidak enak inilah konflik dimulai hingga berakhir dengan aksi pembunuhan yang brutal dan kita tertawakan sepanjang film.
Pertemuan saya dengan Clarissa Jacobson sebenarnya saya awali bukan dengan pertemuan di malam saat dia menjadi Guest Speaker di internship Minikino, 16 Juni 2022. Namun akhir tahun 2021 saat saya membantu Minikino Monthly Screening and Discussion (MMSD) untuk memutarkan salah satu filmnya, Lunch Ladies di Pusat Studi Lingkungan Sanata Dharma, Yogyakarta bersama puluhan penonton yang hadir dan memadati ruang penayangan saat itu. Yang dengan aneh dan bahagia menertawakan kasus yang bisa dijatuhi pasal pembunuhan berencana sepanjang film.
Lunch Ladies sendiri menceritakan dua wanita yang bekerja sebagai juru masak di sekolah menengah yang rela melakukan apa pun untuk menjadi koki pribadi Johnny Depp. Sayangnya itu tidak mudah, mereka harus berhadapan dengan bullying hingga pembunuhan yang harus segera mereka tutupi demi mempertahankan ambisi mereka.
Di film inilah saya pertama kali melihat dan menikmati keliaran seorang Clarissa dalam mengolah cerita yang walaupun di Indonesia mungkin tidak ada istilah Lunch Ladies di sekolah-sekolah. Namun kita paham yang dimaksud Clarissa dalam karyanya bahkan saat pertama kali menonton kami tertawa bersama saat melihat Seretta dan LouAnne melakukan berbagai aksi pembunuhan.
Yang sebenarnya saya merasa aneh dengan diri sendiri ketika menertawakan hal tersebut, seolah ada sesuatu dalam diri saya yang sedang berusaha untuk diajak menembus batasan-batasan tertentu seperti: moralitas, empati, dan juga budaya.
Hal tersebut kemudian terjawab ketika saya mendengarkan sendiri melalui zoom meet tentang bagaimana Clarissa menyikapi film secara umum, dari proses kreatif hingga sampai kepada distribusi. Dimana ia berusaha melihat keseluruhan aspek film adalah suatu hal yang relatif mungkin dan tidak ada yang tidak mungkin. Dan dengan ia percaya bahwa film adalah bahasa universal, Clarissa meyakini setiap manusia ketika menontonnya pasti akan memiliki irisan-irisan personal yang pasti ada, sekecil apapun itu.
Dalam kasus saya dan Lunch Ladies misalnya, irisan itu ternyata adalah irisan pandangan personal saya terhadap moral, rasa empati, dan juga budaya yang saya alami di Indonesia lalu bertabrakan dengan versi yang dialami oleh Clarissa di Amerika Serikat.
Karena bisa jadi batasan-batasan yang berusaha ditembus oleh Clarissa melalui karya dark comedy nya ini sebenarnya merupakan kritiknya terhadap apa yang berusaha direpresentasikan oleh sinema Hollywood (yang diwakilkan oleh sosok Johnny Depp) selama bertahun-tahun dalam membangun fame nya. Yang terkadang bisa menjadi sangat toxic ketika melihat realitas di lapangan. Misalnya, berapa banyak aktor/aktris Hollywood yang mendapat ancaman pembunuhan oleh fans nya sendiri? Sangat banyak, puluhan. Di negara lain, beberapa sudah sampai tahap pembunuhan, seperti yang dialami John Lennon.
Dan tentu saja dark comedy berusaha menertawakan ketragisan dan kemungkinan kemungkinan buruk yang bakal terjadi setelahnya dengan sangat blak-blakan. Yang uniknya saya sebagai penonton memiliki after taste setelah mengalami fase penertawaan itu, ada perenungan melalui pertanyaan “kenapa saya bisa tertawa ya?”.
Saya ingat dari keseluruhan film dalam Minikino Monthly Screening Desember 2021 (programmer: Azalia Syahputri dan Rasyid Faqih), mayoritas penonton menyukai film yang ditulis dan diproduser oleh Clarissa Jacobson. Selain karena pembawaan yang ringan dibanding karya-karya yang lain, film ini berangkat dari keresahan terhadap kultur pop yang semakin toksik tidak hanya di Amerika, tapi juga di Korea, Jepang, bahkan Indonesia sendiri. Keresahan itulah yang sejatinya membuat kita bersama-sama bersatu untuk harus menertawakannya walau dalam perasaan yang tidak nyaman.
Discussion about this post