Saya tidak banyak menonton film dari Aceh maupun tentang perempuan Aceh. Pengetahuan saya tentang bagaimana perempuan Aceh dipresentasikan dalam film, seingat saya hanya melalui film Tjoet Nja’ Dhien (1988). Dan saya sadar betul tidak semua perempuan Aceh dapat direpresentasikan oleh tokoh seperti Tjoet Nja’. Oleh karenanya menonton film-film dalam program Indonesia Raja 2021: Aceh, mengantarkan saya pada pengalaman menonton kisah tentang perempuan Aceh dalam dimensinya yang beragam.
Program Indonesia Raja 2021: Aceh kali ini menampilkan lima film pendek dari filmmaker yang memiliki kedekatan dengan Aceh. Entah karena mereka adalah orang Aceh, atau pernah tinggal di Aceh. Dalam catatan program Indonesia Raja 2021: Aceh yang ditulis oleh Muhammad Akbar Rafsanjani, fokus dari rangkaian program ini adalah “memperlihatkan betapa inti masalah yang diterima perempuan adalah relasinya dengan patriarki, hingga upaya untuk sadar diri dan membalik kuasa atas relasi ini”. Tak heran jika, semua tokoh utama dalam program Indonesia Raja 2021: Aceh adalah perempuan.
Film pertama yang saya saksikan adalah Momo (2020), film eksperimental yang digarap oleh Qiu Mattane Lao. Momo menampilkan alegori seekor anjing dan perempuan yang sama-sama terkurung dalam kandang. Lao memosisikan perempuan sama terdomestikasi dan tidak bebas layaknya anjing, laki-laki di sisi yang lain adalah pihak yang tidak suka melihat perempuan/anjing bebas. Manuver simbolik yang dilakukan oleh Lao, saya rasa cukup frontal untuk menggambarkan ketertindasan perempuan. Sebagai pembuka program ini, Momo rasanya dimaksudkan untuk menjadi semacam halaman rumah, menjadi impresi pertama menuju rumah yang di dalamnya banyak kamar berisi problem-problem relasi kuasa.
Film pembuka dan ekspektasi yang terbangun karena saya membaca catatan programnya dulu sebelum menonton film-filmnya, membuat saya berekspektasi dan mencari-cari aspek relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki. Sebuah relasi heteronormatif yang menempatkan perempuan dalam posisi sulit di film-film berikutnya. Hal ini tentu saya sadari sebagai konsekuensi dari sebuah pengantar program. Entah pengantar ini berhasil mengantarkan dan membantu pembaca dalam memahami suatu film atau justru membuat pembaca tersesat dalam belantara preasumsi. Pada titik inilah saya melihat menariknya program film pendek. Film pendek sendiri sebagai artform bisa diinterpretasikan secara luas oleh penonton. Di samping itu, program film juga bisa membentuk narasi baru. Oleh karenanya, ketika saya selesai menonton kelima film ini dan mencoba menarik benang merah yang berbeda dengan programmer tidak ada salahnya kan.
Perempuan dalam bingkai fiksi
Dalam Poe Rumoh (Fadhilul Umami, 2020), film fiksi yang berlatar tragedi simpang KAA pada tahun 1999, saya melihat kebimbangan dan kesedihan tokoh utama yang ditinggal suaminya bukan berlandas pada relasi kuasa yang mengopresi posisi tokoh utama. Namun lebih pada relasi cinta matrimonial dan kepedulian. Lagipula siapa yang tidak sedih di hadapan kehilangan yang tidak terduga? Mengutip apa yang dikatakan Bell Hooks dalam The Will to Change: Men, Masculinity, and Love, laki-laki adalah korban dan pelaku patriarki sekaligus. Membuat saya berpikir jika dalam film ini sang suami justru menjadi korban juga. Laki-laki yang juga menjadi korban patriarki ini berada di posisi yang rumit. Sang suami dalam film dikonstruksi untuk memikul beban tanggung jawab dan kehormatan rumah tangga. Oleh karenanya, sang suami terpaksa harus lebih dulu off-screen dan menjemput kematian sebagai harga yang harus ditanggung karena berhadapan dengan opresi maskulinitas hegemonik yang lebih besar bernama negara.
Film fiksi tentu bisa menggambarkan realitas faktual tentang peristiwa dan kondisi sosial-politik suatu wilayah, tetapi sejatinya film fiksi mempunyai kapasitas yang lebih lentur dalam mengonstruksi realitas. Pada titik ini, konstruksi realitas dalam suatu film sangat tergantung pada gagasan filmmaker dan bagaimana filmmaker membingkai realitas.
Film fiksi yang disutradarai Arief Rachman Missuari, Hana Gata (2020), hampir memenuhi ekspektasi saya dari apa yang dituliskan Akbar di catatan program. Namun, pesan tersebut tidak kuat saya rasakan karena relasi antara istri-suami tidak terbangun secara kuat dalam film. Hana Gata secara singkat, bercerita tentang seorang janda beranak satu yang sehari-hari bekerja di rumah dan selalu membayangkan suaminya yang hilang. Sang janda dalam film ini selalu membuat kopi dan timpan untuk suaminya, meskipun suaminya sudah tiada. Ketika janda ini membuat timpan, ia menangis di dapur dan berkata, “Tak ada yang berubah semenjak kepergianmu, aku masih saja membuat kopi dan timpan untukmu, bang”. Sebagai penonton saya tidak dapat menangkap ekspresi ini sebagai grieving atau penderitaan karena perasaan terpaksa oleh kultur. Pada akhirnya relasi kuasa dalam film ini terkesan dipaksakan hadir melalui percakapan dari seorang tokoh bercadar yang tiba-tiba ingin membunuh sang janda.
In the Absence of Men
Dalam Elin (2020) karya Andri Saputra, justru saya tidak menemukan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan sama sekali, laki-laki bahkan tidak hadir secara signifikan. Film dokumenter ini merekam keseharian dan gagasan Elin, perempuan difabel yang mengadvokasi isu-isu disabilitas di kalangan pemuda Aceh. Elin dan komunitasnya berjuang untuk menghapus persepsi tentang istilah normal dan abnormal. Baginya distingsi ini justru menempatkan kawan-kawan difabel sebagai alien. Kalaupun ingin melacak secara historis tentang pembedaan yang normal dan abnormal ini.
Film dokumenter lain dari program ini, Klinik Nenek (2019) karya Sonya Anggi Yani dan Oka Rahmadiyah, juga tidak menunjukan peran laki-laki yang signifikan, sama seperti Elin. Film yang diproduksi oleh Aceh Documentary ini secara observasional memperlihatkan bagaimana seorang pembuat obat-obatan tradisional di Panga, Aceh Jaya mendapat banyak pasien kembali setelah mereka kecewa dengan pengobatan modern. Di samping itu, kegelisahan si Nenek tentang pengetahuan pengobatan tradisional yang tidak mustahil akan punah karena kendala regenerasi.
Relasi kuasa heteronormatif justru patah dengan kehadiran film-film semacam Klinik Nenek dan Elin. Relasi heteronormatif yang berdasar pada kuasa dan polarisasi, tidak ditampilkan dalam film-film dokumenter ini. “Rangkaian film pendek ini memperlihatkan betapa inti masalah yang diterima perempuan adalah relasinya dengan patriarki” seperti yang dikatakan Akbar dalam catatan program, tidak sepenuhnya nampak menjadi pendorong utama laju film-film ini. Tentu hal ini bukan berarti kondisi faktual (di luar layar) perempuan Aceh sudah terlepas dari belenggu patriarki.
Mungkin di sinilah sisi menarik dari sebuah program pemutaran, dia bisa memantik dan memicu diskusi yang lebih jauh. Terlebih film sebagai produk budaya tentu tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang hitam putih. Perbedaan pendapat pun pada akhirnya menjadi sebuah dialog dialektis yang membuka jalan pada sudut pandang baru. Berbeda dengan Akbar dalam menarik benang merah dalam rangkaian lima film pendek ini, alih-alih menunjukan kesan “perempuan yang tertindas” dan selalu bergantung pada laki-laki, Saya justru menemukan keragaman masalah kehidupan perempuan-perempuan dalam film-film ini. Ia menunjukkan spirit tentang ketahanan dan upaya untuk terus berdaya di tengah berbagai kesulitan hidup yang banyak lapisannya.
Discussion about this post