Saya mendapatkan kesempatan untuk menonton program Indonesia Raja 2021: Jawa Barat sebagai bagian dari program Minikino Hybrid Internship Program for Writers. Menurut Kemala Astika, programmernya, program ini memiliki koleksi film yang berkisah tentang realitas yang lucu, membingungkan, dan memprihatinkan yang terjadi di lingkungan Jawa Barat. Selain itu, dapat juga merefleksikan masyarakat Indonesia. Tetapi bagaimanapun juga, realitas inilah yang membentuk kita. Forget the Bomb in the Backyard, We’re Fine! karya Lerryant K.G. Basuki, membicarakan realitas ini dengan cara yang menggelitik.
Dalam film fiksi berdurasi 15 menit ini, kita mengikuti Flo dan Bimbim, sepasang mahasiswa, yang berusaha untuk menyelesaikan deadline tugas mereka. Namun, mereka terganggu oleh kerumunan di luar kosan Flo. Kerumunan tersebut mempermasalahkan tas hitam yang diduga bom di tengah gang kecil di Depok. Flo dan Bimbim termasuk masyarakat yang menganggap insiden bom tersebut hanyalah sebuah lelucon. Namun mereka tetap berkerumun, berpartisipasi dalam kekonyolan masyarakat sekitar.
Film ini terinspirasi dari kejadian nyata serupa di sebuah gang di Depok beberapa tahun silam. Insiden ini cukup menghebohkan waktu itu di beberapa media sosial. Beberapa penghuni gang tersebut pun adalah teman-teman saya sendiri yang kuliah di Universitas Indonesia. Fenomena ini meninggalkan kenangan yang unik bagi mahasiswa Universitas Indonesia. Buktinya, sekelompok sineas mahasiswa UI, Bathi Films, mengabadikan insiden tersebut lewat film pendek ini. Forget the Bomb adalah sebuah film pendek yang dikemas secara ringan, komedik, dan bernuansa remaja. Pada saat yang sama, film ini juga berhasil memberikan kesan yang membekas soal bagaimana masyarakat kita memaknai sebuah insiden atau sebuah ‘bom’.
Eksploitasi dan Sensasi
Masyarakat Indonesia memiliki reputasi dengan keunikannya merespons sebuah insiden, yaitu adanya kecenderungan untuk mengeksploitasi sensasinya. Contohnya saja, setahun yang lalu, sebuah taman wisata di Pekanbaru membuat sebuah tugu corona, dengan maskot kartun berbentuk virus corona yang imut dan berwarna-warni untuk menarik wisatawan. Berbagai respons bermunculan. Ada yang berpikir bahwa hal tersebut lucu, bahkan tidak peka terhadap bencana.
Fenomena ini juga terjadi dalam Forget the Bomb. ‘Bom’ dalam film adalah sebuah alegori dari insiden yang berpotensi membahayakan masyarakat. Bom dianggap sebagai hiburan, tontonan, dan bahkan ajang untuk pamer. Bukannya bertindak untuk menyelamatkan diri, masyarakat sekitar malah mengelilingi bom tersebut bagai tontonan topeng monyet.
Kemudian ada upaya eksploitasi oleh berbagai individu dalam kerumunan tersebut. Salah satunya adalah komodifikasi insiden. Hal ini tercerminkan dari adegan tukang nasi goreng yang datang dan berjualan di dekat kerumunan, dengan harapan pembelinya di hari itu semakin banyak. Insiden juga dapat menimbulkan sensasi atau hype. Ada adegan seorang mahasiswi yang mengadakan live streaming di Instagram agar mendapatkan apresiasi dan validasi dari followers-nya, serta menarik followers baru juga agar traffic-nya naik. Selain itu, ada seorang pengantar pizza datang ke lokasi untuk mengantarkan pizza ke Flo dan Bimbim. Sebelum ia pergi, ia meminta bantuan Flo dan Bimbim untuk memotret dirinya bersama tas terduga bom tersebut agar bisa ia pamerkan kepada kerabat dan keluarganya. Perbuatan mahasiswi dan pengantar pizza menunjukkan dampak sebuah sensasi terhadap individu. Ada keinginan individu untuk dilihat sebagai partisipan dalam sebuah peristiwa; mendapatkan perhatian dalam dijadikan narasumber untuk orang-orang yang penasaran soal kejadian yang sedang sensasional.
Lerryant, sutradara film ini, mencoba untuk mengkritisi sensasionalitas. Hal ini terlihat dari berbagai adegan yang menunjukkan respons masyarakat terhadap insiden. Sekaligus membuat penonton menggeleng-gelengkan kepala. Adegan yang dirancang rasanya berhasil menghibur penonton. Namun terlebih dari itu, Lerryant menunjukkan sebuah realitas dalam masyarakat.
Ajang Spekulasi
Beberapa individu dari kerumunan membuka diskusi soal asal-usul bom tersebut. Seorang pemuda berkonspirasi bahwa tas tersebut entah bagaimana memiliki hubungan dengan elit global yang ingin menyebarkan stigma buruk terhadap sebuah agama. Lalu ada pemuda lain yang meremehkan situasi bom; mengatakan bahwa bom tersebut hanyalah sebuah hoax dan masyarakat hanya bertingkah berlebihan.
Spekulasi dan pertikaian pendapat sebelum ditanganinya sebuah masalah sangat mencerminkan masyarakat Indonesia. Tidak usah ambil contoh yang jauh, hingga sekarang saja beberapa orang masih berdebat bahwa virus Covid-19 adalah konspirasi elit global. Ada yang menganggap enteng dan tidak percaya walaupun sudah ada fakta. Spekulasi yang sebenarnya tidak ada gunanya dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Trauma Masa Lalu
Insiden terduga bom ini merupakan reaksi dari trauma terhadap masa lalu. Banyak insiden-insiden bom bunuh diri di berbagai daerah, sehingga tidak heran mengapa warga yang menemukan tas hitam terduga bom tersebut memiliki insting untuk melaporkannya kepada polisi.
Menurut saya trauma memiliki sisi positif. Trauma membuat kita belajar dari apa yang sudah lalu dan lebih berhati-hati saat bertemu sebuah situasi. Karena apapun dapat terjadi. Bagaimana jika tas terduga bom tersebut memanglah sebuah bom? Pertanyaan ini diajukan oleh film pendek ini di shot terakhirnya. Di hari setelah insiden terduga bom, Flo dan Bimbim menemukan sebuah tas hitam yang tergeletak di tengah jalan. Mereka awalnya menertawakan tas hitam tersebut setelah melihat kekonyolan reaksi masyarakat malam sebelumnya. Flo dan Bimbim hening sejenak, kemudian melarikan diri dari tas hitam tersebut. Akhir dari film dikemas secara jenaka, namun berbicara lebih mengenai pengaruh trauma terhadap bagaimana kita merespons sesuatu.
Forget the Bomb adalah sebuah film pendek yang segar dibandingkan film-film pendek lainnya di program Indonesia Raja 2021 Jawa Barat yang mengemas topik serius dengan nada yang sama seriusnya. Forget the Bomb memiliki kesan anekdot, sebuah cerita singkat lucu yang disampaikan untuk mencairkan sebuah percakapan. Dari hampir seluruh tulisan saya yang menunjukkan kekuatan film ini, ada beberapa aspek cerita dalam film yang menurut saya kurang relevan dengan topik utama yang disajikan. Seperti B-story hubungan cinta Flo dan mantannya, percakapan intim antara Bimbim dan Flo, dan world building yang membingungkan antara berusaha menjadi film komedi-satir atau romansa remaja. Meskipun demikian, saya menikmati jenaka dan kehidupan karakter-karakternya dalam film, serta refleksi ‘bom’ atas realitas masyarakat kita.
Discussion about this post