Siang hari pada saat tulisan ini dibuat, saya sudah menghabiskan hampir seluruh es kopi susu yang agak saya sayangkan karena dibuat dengan banyak gula. Es kopi tersebut sukses membuat saya kembali meminta segelas air minum dan berakhir membuat saya dua kali pergi ke toilet untuk buang air kecil. Tentu saja sekaligus diliputi rasa was-was sebab meninggalkan barang bawaan sendirian di tengah senyapnya suasana cafe. Namun tak apa, alih-alih mengutuk peran ginjal dalam sistem ekskresi tubuh, saya jauh lebih menyayangkan kopi yang sebetulnya bisa jadi sangat nikmat jika saja tidak kemanisan.
Hal tersebut juga membuat saya kembali berpikir, dalam kurun waktu kurang dari dua jam, keterlibatan saya dengan air bisa dibilang cukup banyak. Mulai dari menyeka keringat dengan tisu, minum es kopi susu sekaligus air mineral, belum lagi dengan aktivitas buang air kecil. Tentu saja sebab air merupakan entitas cair yang menjadi sumber kehidupan yang tidak dapat terpisahkan dari segala aktivitas manusia. Sebagai hal yang esensial dan sentral dalam hidup, air terlibat begitu saja tanpa pernah betul-betul “dilihat” dan dimaknai keberadaannya.
Sisa perasaan sekaligus penasaran seperti itulah yang pada awalnya hadir selepas saya menyaksikan The Chicken (2020). Film pendek yang ditulis dan disutradarai oleh Neo Sora serta keterlibatan Jackson Segars sebagai produser film tersebut. Jackson sendiri merupakan pembicara dalam sesi pemaparan materi mingguan program Minikino Hybrid Internship for Film Festival Writers 2022. Bagi saya, The Chicken tidak ingin berbicara soal ayam sebagaimana yang terberi dalam judul. Meski ayam tetap ada, kehadirannya lebih terasa seperti sekeping puzzle yang melengkapi berbagai isu yang berusaha diangkat dalam film pendek tersebut. Salah satu aspek yang menarik perhatian saya sejak pertama kali menonton adalah bagaimana The Chicken menyajikan elemen air yang konstan hadir di setiap momen penting Hiro sang tokoh utama.
Ketika film dimulai, kamera menyoroti kipas berputar yang menunjukkan panasnya cuaca di New York ketika itu. Disambut dengan keluhan Hiro tentang betapa panasnya kota tersebut diiringi dengan beberapa peristiwa seperti menepuk nyamuk dan kedatangan sepupunya. Beberapa peristiwa tersebut membuat Hiro membasuh tangan, mencuci muka, dan tentu saja menyeka air sekaligus keringat yang ada pada tubuh dan wajahnya. Sampai pada pengenalan film pendek tersebut, agaknya saya telah mengklasifikasikan elemen air yang dihadirkan dalam The Chicken terbagi menjadi dua macam. Air sebagai bagian utama dari tubuh manusia sekaligus air sebagai elemen yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia.
Selain peristiwa tersebut, terdapat pula peristiwa di mana Hiro dan sang sepupu, Kei, mencoba membantu seorang laki-laki yang tergeletak di jalan dengan memberinya air minum. Alih-alih berhasil menolong laki-laki tersebut, Hiro dan Kei malah memperparah keadaan. Peristiwa menolong laki-laki tua di jalan diakhiri dengan tatapan nanar Hiro pada air (yang saya yakini sebagai urine) yang mengalir di tanah. Hadirnya air sebagai elemen yang tidak terpisahkan dari tubuh manusia juga hadir di akhir film di mana ditampilkan ketuban istri Hiro yang pecah, sekaligus peristiwa Kei membersihkan ketuban yang ternyata bercampur dengan darah ayam. Hal tersebut yang membuat saya memahami bahwa rentetan keterlibatan air hadir di momen penting hidup Hiro yakni kedatangan Kei, kesalahan menangani laki-laki tua (yang mengakibatkan Hiro tidak mampu menyembelih ayam), sekaligus pecahnya ketuban sebagai tanda kelahiran sang anak.
Penjelasan filosofis tentang air pernah saya dengar dari siniar kajian filsafat yang dipaparkan oleh Dr. Fahruddin Faiz mengenai kitab Tao Te Ching dalam ajaran Taoisme. Bahwasannya air tidak pernah menolak takdir yang diberikan pada dirinya. Dengan kata lain, air memiliki sifat adaptif. Jika kita menaruh kopi, susu, teh, atau bahkan mencemari air dengan kotoran, air akan tetap menjadi air dan bersedia menerima takdirnya. Berbekal pengetahuan tersebut, sedikitnya saya menjadi dapat menafsirkan apa yang berusaha disentuh oleh pembuat film ketika menghadirkan elemen air tersebut. The Chicken sendiri menggambarkan seorang imigran Jepang bernama Hiro yang tinggal di Amerika dan menikahi perempuan Amerika. Karakter adaptif layaknya air juga diperlihatkan Hiro ketika ia mengatakan kepada Kei bahwa di Amerika tidak boleh merokok di dalam ruangan.
Kemampuan (atau barangkali keharusan) yang dimiliki Hiro dalam memahami Amerika sebagai tempat tinggal barunya menurut saya sedikit banyaknya yang menjadi alasan dihadirkannya banyak elemen air dalam The Chicken. Jika diperhatikan lebih jeli, kita akan mampu melihat ketidaktahuan dan kebimbangan nyata tergambar dalam diri Hiro maupun sepupunya Kei. Proses adaptasi terhadap lingkungan baru tersebut layaknya air yang mau tidak mau harus adaptif terhadap apapun yang menjadi takdirnya. Sehingga elemen air dalam The Chicken setidaknya bagi saya merupakan pengingat bahwa air itu luwes atau lentur namun juga sekaligus kuat, di manapun ia berada air tetaplah air meski banyak hal berusaha mengubahnya.
Discussion about this post