Rombongan dengan baju berwarna merah, biru dan kuning turun dari bus di depan Griya Musik Irama Indah, Denpasar pada Rabu (11/01) pagi. “Jumlah mahasiswanya ada 71 orang tambah 9 dosen,” ujar Citra Latief, pemandu rombongan mahasiswa Universitas Pelita Harapan (UPH) yang sedang melakukan Study Tour ke Bali. Pagi itu diselenggarakan pemutaran film dan seminar bertajuk Short Film Distribution Talks & Book Seminar “I Made A Short Film Now WTF Do I Do With It?”, yang dihadiri secara daring langsung oleh Clarissa Jacobson sebagai penulis bukunya.
Sebelum sesi diskusi dimulai, Direktur Program Minikino yang juga menjadi moderator seminar, Fransiska Prihadi dalam sambutannya mengatakan, ini pertama kalinya Minikino menerima kunjungan studi dari universitas. Selanjutnya Lala Palupi, Kepala Prodi Desain Komunikasi Visual UPH, juga memberi sambutan dan menyampaikan bahwa Minikino sebagai festival film memiliki divisi kerja yang beragam. Oleh sebab itu, UPH berkunjung ke Minikino karena profesi yang akan dijalani oleh mahasiswa kedepannya akan luas sekali.
Lala juga menyinggung film The Luckiest Man On Earth (2021) yang disutradarai oleh salah satu alumni UPH yaitu Muhammad Exsell Naufal Rabbani. Film tersebut pernah ditayangkan di Minikino Film Week dan dibawa ke jaringan internasional. “Festival seperti ini harapannya menjadi pembuka jalan, tidak tertutup peluang bagi jurusan desain grafis, ilustrasi, dan animasi. Semuanya bisa mendapat peluang,” ujar Lala.
Sesi yang pertama adalah perkenalan tentang Minikino bersama Edo Wulia. Edo menceritakan bagaimana Minikino melalui kegiatan-kegiatannya seperti Minikino Film Week, Minikino Monthly Screening, S-Ekspress, dan Indonesia Raja, menjadi ruang untuk pertukaran, distribusi dan diskusi. Sesi kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film Lunch Ladies (2017) yang ditulis oleh Clarissa Jacobson.

Seusai pemutaran film, Clarissa yang terhubung daring dari Los Angeles memaparkan bagaimana cara “membuka pintu” distribusi film. Menurutnya, pertama-tama seorang filmmaker harus punya arah yang jelas tentang tujuan filmnya sehingga memiliki langkah-langkah distribusi yang jelas. Selain itu untuk memperlebar jangkauan distribusi, Clarissa juga menyinggung tentang pentingnya penggunaan subtitle. Berdasarkan pengalamannya mendistribusikan film Lunch Ladies, Clarissa berkisah jika dirinya sangat senang jika filmnya bisa disaksikan oleh penonton yang tidak berbahasa Inggris terutama saat ia mengunjungi langsung festival filmnya.
Fransiska juga menanyakan pada Clarissa apa pentingnya festival film dan bagaimana festival film bisa mengubah hidupnya. Bagi Clarissa, festival film terutama festival film pendek itu luar biasa, terutama tentang bagaimana festival film pendek membangun jaringan. Banyak pertemuan dan kesempatan yang tidak terduga dapat terjadi karena terhubung dengan festival film pendek. “For example, meeting you guys right now, it’s awesome!” ungkap Clarissa kepada para mahasiswa UPH.
Bagi Katty dan CK, mahasiswa peminatan Sinematografi, seminar bersama Clarissa banyak membuka pengetahuan baru tentang pentingnya distribusi film. Bagi mereka ilmu distribusi jarang diketahui di kalangan mahasiswa, padahal ini penting sekali. Hal serupa juga disampaikan oleh Alfiansyah Zulkarnain. Sebagai dosen Desain Komunikasi Visual, Alfian mengatakan jika festival seperti Minikino adalah jembatan bagi filmmaker dan juga pekerja kreatif. Lewat seminar dan bedah buku bersama Clarissa, Alfian merasa mendapat pengetahuan praktis tentang distribusi. “Distribusi menjadi pelengkap bagi semua disiplin ilmu yang kita pelajari di kampus, dan study tour ini jadi upaya untuk membangun suasana akademik yang baik,” pungkasnya.
Discussion about this post