Suasana di MASH Denpasar pada hari Sabtu (30/3) pagi sudah diramaikan pengunjung. Mereka tak lain adalah peserta Workshop Akting Suara untuk Disabilitas Netra dan Orang Awas Bersama Jati Andito, seorang aktor suara profesional Indonesia. Sesuai dengan temanya, peserta merupakan gabungan dari para rekan disabilitas netra Yayasan Teratai dan sejawat Minikino. Workshop tertutup ini terselenggara sebagai bagian dari dukungan event strategis Dana Indonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Lokakarya ini juga merupakan kegiatan lanjutan dari sharing session Dunia Akting Suara dan Audio Description (AD) dalam film yang diselenggarakan oleh Minikino Studio bersama Jati Andito selaku mentor sebelumnya pada tahun 2023. Masih mengusung tema pengembangan wawasan terhadap sinema inklusi, lokakarya kali ini lebih menekankan pada teori dan praktik akting suara secara lebih mendalam. Terakhir, para peserta akan dipersilakan untuk mengutarakan kritik dan harapannya terhadap penerapan inklusivitas dalam sinema di Indonesia.
“Seni peran seringkali berorientasi pada performa di panggung atau layar, padahal di masa kini cakupan akting bisa lebih luas daripada itu,” papar Jati saat mulai membawakan materi tentang akting. Akting suara sendiri tak ubahnya berakting. Sama halnya dengan aktor yang tampil di atas panggung, akting suara juga harus memberikan nyawa pada suara yang dibawakan. Praktik akting lewat permainan menjadi aktivitas yang menarik dan sekaligus melibatkan seluruh peserta pelatihan.
Lebih mendalam lagi, ada ingatan emosional yang perlu dilatih yakni kemampuan aktor untuk memproyeksikan perasaan karakter dengan meminjam emosi serupa yang pernah dirasakan sang aktor. Perihal emosi ini cukup banyak aplikasinya, termasuk memberi makna di balik setiap perkataan aktor. Salah satu latihannya adalah dengan mencoba mengucapkan satu kata dengan intonasi dan emosi yang berbeda-beda. Dari sana mulai terlihat bagaimana intonasi yang berbeda dapat memberikan nuansa yang berbeda meski hanya satu kata.
Tak hanya bekal wawasan baru, mentor juga mengingatkan perihal persiapan fisik yang perlu dilakukan oleh seorang aktor suara. “Manfaatnya agar suaranya bisa konsisten dari awal pengambilan suara hingga akhir,” ungkap Jati. Selesai dengan semua pemanasan tersebut, kegiatan dilanjutkan dengan mempraktikkan berbagai macam voice over. Ada pun jenis-jenis voice over yang disediakan oleh mentor, antara lain, animasi, radio, iklan, maupun naskah dokumenter. Masing-masing peserta ditantang untuk mencoba terjun langsung dengan naskah yang telah tersedia.
Voice Acting, Audio Description dan Inclusive CInema
Edo Wulia membuka diskusi dengan mengungkapkan gagasannya bahwa tidak ada aturan yang baku dalam pengerjaan AD di Indonesia karena tidak ada kebijakan publik yang secara khusus mengatur kepentingan AD menjadi sebuah fasilitas publik. Fitur ini tumbuh dari akar rumput maupun muncul sebagai tawaran komersial dari penyedia layanan hiburan platform video on demand tertentu. Menurutnya, AD di Indonesia cenderung merupakan sebuah alih wahana dari bahasa visual menjadi bahasa verbal, seperti halnya ketika novel diadaptasikan menjadi film. “Masing-masing memiliki kekuatannya tersendiri dalam menyampaikan cerita. Akhirnya yang bisa kita usahakan adalah bagaimana pengisian AD ini bisa sedekat mungkin dengan filmnya,” kata Edo.
Mentor kemudian berbagi mengenai pengalamannya dalam dunia profesional. “Aku baru menyadari bahwa AD yang kami kerjakan itu hanya mengambil sudut pandang dari orang awas yang berasumsi adegan-adegan itu penting untuk dideskripsikan,” ungkapnya.
Sharing dari peserta pelatihan bergantian dari orang awas maupun orang dengan disabilitas netra. Topik diskusi beragam dari mulai menghindari suara yang saling menabrak ataupun menghindari deskripsi untuk adegan yang sudah jelas menimbulkan suara yang mudah dikenali, seperti misalnya membuka pintu kayu. Mentor dan partisipan sama-sama menggali pertanyaan tentang proyeksi kedepannya untuk mengoptimalkan penerapan AD di Indonesia.
Edo mengawali dengan menegaskan pentingnya mengadakan konferensi nasional yang melibatkan pelaku industri film dan komunitas disabilitas netra. “Karena kita membuat ini untuk para disabilitas netra, tentunya wajib untuk melibatkan mereka. Jadi tidak terus menerus hanya orang-orang awas yang berasumsi mana yang perlu atau mana yang tidak,” ucapnya.
Secara langsung, Ariyana, salah seorang peserta pelatihan dengan disabilitas netra, turut menanggapi pernyataan dari Edo. Menurutnya, sebelum mengadakan konferensi nasional, pembahasan mengenai AD bisa diawali dengan forum group discussion (FGD). “Meski sasaran utamanya adalah disabilitas netra, namun perlu juga mengundang lintas komunitas lain. Agar dapat menemukan acuan yang baik dalam membuat AD yang bisa dinikmati, baik oleh disabilitas netra mau pun orang-orang awas,” ujarnya.
Kembali menyinggung persoalan fitur AD dan Closed Caption (CC) untuk penyandang disabilitas, Harisandy yang memiliki pengalaman mengajar anak-anak sesama disabilitas, mengatakan perlu kajian lanjutan mengenai teknis dan tata bahasa yang tepat agar bisa dinikmati dan dipahami oleh kawan-kawan disabilitas. Terutama disabilitas netra dan Tuli yang memiliki hambatan secara audio dan visual.
“Film ini bisa dikatakan sebagai semacam produk universal yang sebaiknya bisa dinikmati semua kalangan. Jadi sebenarnya, bagaimana dengan adanya AD dan juga CC bisa membantu, tidak hanya para disabilitas netra dan Tuli, tapi juga orang-orang awas yang agak terhambat penglihatan dan pendengarannya,” kata Harisandy.
Direktur Traveling Festival Minikino, I Made Suarbawa pun turut angkat bicara menanggapi pernyataan Harisandy. “Pada akhirnya memang tidak bisa ada standar yang baku dalam pembuatan AD ini. Tapi setidaknya, melalui proses yang panjang ini, kita bisa mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, atau mana yang tidak diperlukan,” ujarnya.
Diskusi mengenai perkembangan AD di Indonesia ini menjadi makin menarik ketika Edo melontarkan gagasan bahwa nampaknya yang akan lebih dibutuhkan adalah kode etik dalam pembuatan AD. Seperti misalnya, himbauan dan pemberian akses untuk bisa berkonsultasi dengan kelompok-kelompok disabilitas netra dalam proses pembuatan AD. Menurutnya, ini langkah yang krusial ketika berbicara tentang pengembangan sinema inklusi yang menyasar kawan-kawan disabilitas. “Karena untuk apa membuat sesuatu yang hanya berdasarkan asumsi orang awas, sementara ada kawan disabilitas netra sendiri yang sebaiknya kita libatkan. Sebaiknya ada kesadaran etika yang diperhatikan ketika akan membuat sebuah alih wahana,” tegas Edo.
Mendekati penghujung lokakarya, mentor juga memberikan sedikit kilas balik tentang apa yang telah dipelajari hari itu. Kemudian Jati juga menyinggung keadaan dunia kerja aktor suara yang masih mengalami turbulensi, terutama dalam penetapan harga dan pemenuhan hak-hak pekerjanya. Ketika digali lebih dalam, nyatanya masih banyak profesi di Indonesia yang tidak memiliki serikat pekerja.
Sebagai penutup pelatihan yang berlangsung seharian penuh ini, Jati Andito mengungkapkan harapannya pada ekosistem pekerja kreatif di Indonesia. “Melalui diskusi kita tadi ada banyak sekali wawasan yang didapat, mulai dari kritikan kawan-kawan disabilitas netra terhadap penerapan AD, hingga langkah strategis untuk pengembangan AD dan CC. Tentunya yang terakhir kita juga berharap ketika bisa terjun ke profesi aktor suara, ada serikat yang bisa menaungi hak-hak pekerjanya,” tandasnya.
Editor: Fransiska Prihadi
Discussion about this post