Geliat perfilman di Bali berlangsung secara sporadis di akar rumput. Memang pewartaan tentang ekosistem film jarang muncul ketika membicarakan budaya Bali. Bali sebatas hadir sebagai latar, lokasi syuting, atau bahkan dalam skala global kerap dipandang sebagai sesuatu yang mooi indie. Namun dari akar rumput, aktivitas perfilman di Bali mulai dari produksi, distribusi, ekshibisi, apresiasi, dan pendidikan terus bergerak dengan caranya sendiri. Hal tersebut menjadi diskusi hangat dalam perhelatan Forum 100% dari Bali, Minikino Film Week 9, pada Rabu (20/09) sore, yang bertempat di Irama Indah Minihall, Denpasar. Melalui forum ini, perbincangan tentang produksi dan ekshibisi, menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Produksi film di Bali digerakkan oleh komunitas-komunitas yang tersebar di seluruh penjuru Bali. Pada forum ini, pembicaraan tentang produksi diwakilkan Dwitra J. Ariana (Dadap) dari Asosiasi Dokumenteris Nusantara (ADN) Korda Bali, Nirartha Bas Diwangkara dari Film Sarad, dan Novia Puspita Riza Arifin dari Searah Creative Hub. Ketiga narasumber ini memiliki cara pandangnya tersendiri mengenai produksi film di Bali.
Ruang Bernaung Untuk Membuat Film
Membuat film adalah kerja kolektif, produksi film di Bali, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, banyak dilakukan komunitas-komunitas film – Film Sarad adalah salah satunya. Berdasarkan penjelasan Nirartha, komunitas ini terbentuk atas ketertarikan yang sama dalam membuat film. Film Sarad membuat berbagai jenis film, mulai dari fiksi, dokumenter, hingga animasi. Salah satu film pendek yang mereka produksi adalah Tergila-Gila (Nirartha Bas Diwangkara, 2019) tayang pada program Family Implosion, bagian dari World Tour Indonesia di Bogoshort 2022.
Berbeda dengan Film Sarad yang membuat berbagai jenis film, Asosiasi Dokumenteris Nusantara (ADN), secara khusus fokus pada pembuatan film dokumenter. ADN tersebar di seluruh Indonesia, dan untuk Korda Bali diketuai oleh Dwitra J. Ariana atau akrab dipanggil Dadap. “Filmmaker-dokumenter Indonesia itu seperti tidak punya dasar hukum setiap melakukan kegiatan, kemana kita mencari legitimasi kegiatan kita untuk meminta izin atau bendera siapa nih dipakai, karena sebagian besar dokumenteris Indonesia itu tidak punya lembaga.” Jelas Dadap terkait landasan terbentuknya ADN. Menurutnya, ADN adalah ruang bagi berbagai dokumenteris, baik pemula maupun sudah profesional.
Penemuan ide adalah tahapan yang esensial dalam produksi film, Dadap menyampaikan proses penemuan ide di ADN. Ia menjelaskan bahwa dokumenteris yang tergabung di ADN memiliki ketertarikan, keresahan, dan latar yang berbeda-beda, sehingga ide-ide yang muncul dalam asosiasi ini terbilang beragam. Yang terpenting menurut Dadap, bukan sebatas tentang ide, namun cara untuk memvisualisasikan ide tersebut. “Bisa saja isunya ini sedang heboh, tapi kalau dituturkan dengan cara yang sudah dituturkan oleh TV, media-media yang mainstream, ngapain lagi dibuat film?” ungkap Dadap. Bagi Nirartha hal yang tak kalah penting penemuan ide adalah bagaimana antar anggota bisa saling membantu dalam proses mewujudkannya.
Hal ini, disadari oleh Nirartha dan Dadap yang memaknai film sebagai bidang multidisiplin. Nirartha dalam berproses bersama Film Sarad, banyak melakukan kolaborasi dengan Teater Kalangan dan ISI Denpasar. Begitu pula saat pembuatan film animasi, di mana mereka berkolaborasi dengan para animator. Sementara itu, bagi Dadap yang pernah memenangkan Film Dokumenter kategori Pendek Terbaik, Festival Film Dokumenter 2016, untuk film Petani Terakhir (Dwitra J. Ariana, 2016), kolaborasi telah menjadi bagian dari prosesnya membuat film. Menurutnya, dalam tiap pembuatan film dokumenter, kolaborasi terbentuk melalui pembangunan rasa percaya antara pembuat dan subjeknya.
Di sisi lain, kolaborasi juga menjadi solusi dari anggapan kurangnya sumber daya ketika memproduksi film di Bali, baik teknis maupun finansial. Lewat proses berjejaring yang panjang, Nirartha pada akhirnya berkesempatan untuk membuat film, yang diproduseri oleh John Badalu, dengan dukungan dari Yayasan Kino Media dan pendanaan dari Voice Global. Film yang ditayangkan di Busan International Film Festival ini, berjudul Where the Wild Frangipanis Grow (Nirartha Bas Diwangkara, 2023). “Jadi itu cara saya berpikir bagaimana untuk sebenarnya kita punya potensi, kita bisa bergerak dari lahan kita sendiri, bagaimana kita memanfaatkan sumber daya yang kita punya.” Ungkap Nirartha. Hal serupa juga dilakukan oleh Dadap, yang pada akhirnya memperoleh pendanaan pada perhelatan Denpasar Film Festival (DFF) 2015 untuk film Petani Terakhir.
Sebuah wacana alternatif disampaikan Dadap, ketika menjawab pertanyaan dari salah seorang penonton dan juga pembuat film, Putu Raditya Pandet tentang, “bagaimana cara pembuat film di Bali bertahan hidup?”. Menurut Dadap, pertanyaan seperti itu tidak terlalu relevan, karena faktanya perfilman di Bali jauh dari kata industri film. “Pembuat film di Bali tetap harus sadar dengan kebutuhan hidup”, ujar Dadap. Di Bali masih sangat sulit untuk menggantungkan hidup dari produksi film, maka Dadap hidup sebagai petani full time, dan pembuat film part time. Pertanyaan tentang upaya bertahan hidup sembari membuat film, kemudian terkoneksi dengan Searah Creative Hub, yang menjadi wadah membuat film bagi para alumni ISI Denpasar yang tersebar dan bekerja di berbagai tempat.
Searah Creative Hub terbentuk atas dasar belum mapannya industri perfilman di Bali, sehingga banyak lulusan Produksi Film dan Televisi, ISI Denpasar yang bekerja bukan pada bidang film. Menurut Novia, selaku perwakilan Searah Creative Hub, komunitas ini mengumpulkan alumni, sebagai ajang bertukar ilmu dan saling membantu produksi film – karena tiap alumni tentu punya kompetensi di masing-masing lini produksi. Meskipun demikian, menurut Medy Mahasena, seorang pembuat film dari Bali yang juga bagian dari komunitas ini, mengungkapkan bahwa pengetahuan di tiap lini produksi di Bali masih kurang. Menurutnya hal tersebut disebabkan oleh kurangnya literasi dan koneksi ke sumber pengetahuan produksi film yang lebih mapan, seperti di Jawa.
Searah Creative Hub, selanjutnya tidak hanya berhenti di kegiatan produksi. Sebagai wadah berkumpulnya para alumni, komunitas ini juga mengadakan banyak kegiatan, seperti olahraga, diskusi, termasuk pemutaran film. Pemutaran film dalam komunitas ini melengkapi usaha produksi yang telah dilakukan sebelumnya.
Kolaborasi dan Budaya Menonton
Jika sebelumnya dijabarkan bahwa produksi di Bali karakternya menyebar, maka ekshibisi di tahun-tahun ini, terbentang di selatan dan utara Bali. Di selatan ada Minikino, Bali Makarya, Balinale Film Festival, Denpasar Documentary Film Festival, dan Denpasar Sineas Festival. Minikino hadir dengan festival filmnya sendiri, pemutaran rutin, dan pemutaran kolaborasi. Pada Forum 100% dari Bali dihadirkan rekan-rekan pemutaran kolaborasi Minikino, seperti Komunitas Uma Wali dari Desa Adat Pagi, Pecinta Alam Kayoman Pedawa dari Desa Pedawa, dan Komunitas Natah Rare. Sementara itu, di utara, Singaraja Menonton semakin berkembang dengan pemutaran rutin tiap bulannya.
Pemutaran kolaborasi oleh Minikino menjadi ajang menumbuhkan budaya menonton di berbagai daerah di Bali. Seperti di Komunitas Uma Wali, di Desa Adat Pagi, Tabanan yang mengadakan pemutaran layar tancap dan perjalanan melihat konservasi burung hantu Tito Alba; Kemudian ada juga pemutaran dan workshop bersama komunitas Natah Rare, Banjar Adat Tegeh Sari, Denpasar; serta Desa Kayoman Pedawa, Buleleng.
Menurut penuturan I Made Suisen, selaku perwakilan dari Desa Kayoman Pedawa, Buleleng, para warga menyambut dengan antusias pemutaran yang diadakan Minikino. “Karena zaman sekarang itu sangat sulit, mempersatukan masyarakat. Apalagi dengan adanya sinetron. Jadi mereka lebih sering jam 7, tutup pintu udah gak bergaul sama tetangga lagi.” Ungkap I Made Suisen, menjelaskan bahwa pemutaran film di desa dapat mengaktifkan budaya berkumpul dalam masyarakat.
Pertemuan antar penonton ini adalah hal yang harus diwadahi oleh pegiat ekshibisi. Salah satu ekshibisi yang mulai aktif di Bali Utara adalah Singaraja Menonton, yang pada Forum 100% dari Bali diwakilkan oleh Dian Suryantini. Dian menjelaskan bahwa Singaraja Menonton adalah komunitas yang bergerak pada bidang mikrosinema (ekshibisi), yang saat ini memiliki 2 venue pemutaran, yakni di Yayasan Mahima Singaraja dan Kedai Kopi Dekakiang. Singaraja Menonton terbentuk melalui jejaring pertukaran film yang terjadi antar programmer, serta kebutuhan terkait tempat untuk menayangkan film. Kegiatan Singaraja Menonton berkisar pada pemutaran film, diskusi, sharing, dan workshop. Singaraja Menonton juga dibentuk atas keresahan terhadap pembuat film di Bali yang masih kebingungan untuk mendistribusikan film yang mereka produksi.
Melalui pemutaran film, dapat dilihat bagaimana pemahaman penonton, respon, dan diskusi yang terbentuk pasca pemutaran. Seperti di desa Kayoman Pedawa, yang sebelumnya dijelaskan begitu antusias. Menurut I Made Suisen, saat film yang ditayangkan pembawaannya kompleks, banyak masyarakat yang merasa tidak mengerti. Namun menurut I Made Suarbawa, “Sebenarnya kalau kami bilang, dia bukan tidak mengerti tapi hanya tidak bisa mengartikulasikan perasaannya.”
Lain halnya dengan budaya menonton di Singaraja Menonton, yang menurut Dian cenderung aktif dan panas. “Jadi penontonnya bisa perang, dalam artian saling debat kalau menonton film di komunitas kami. Mereka memperdebatkan bagaimana estetika dalam film, bagaimana storytelling yang disampaikan, bagaimana juga teknik pembuatan film.” Hal tersebut juga diamini oleh Kardian Narayana (Cotecx), yang juga merupakan penggagas Singaraja Menonton. Menurutnya, perdebatan ini bahkan akan berlanjut setelah acara selesai, yaitu melalui tulisan yang dibuat untuk mengulas film yang telah ditonton. Ia juga menambahkan, terkadang penulis ulasan harus berdebat dengan pembuat film di media sosial. Hal ini menurut Cotecx, akan menjadi sarana pengembangan bagi budaya menonton dan pembuat film, khususnya di Bali.
Masih banyak sebenarnya sisi yang belum dikulik dari perfilman Bali, dan masih banyak pula hal yang perlu dibenahi. “Kalau ngomongin ekosistem (film) di Bali cukup lengkap ya, punya semua lini sebenarnya. Tapi kan permasalahannya adalah, di Bali, penggiat film dan komunitasnya banyak banget, tapi mereka itu tidak saling berjaring dan membentuk ekosistemnya.” Ungkap Medy Mahasena ketika membicarakan perfilman di Bali. Di sisi lain, Agung Bawantara, seorang penulis dan anggota ADN, yang juga menghadiri Forum 100% dari Bali, mengutip pendapat Prof. Dr. Ida Bagus Mantra ketika menyampaikan bagaimana seharusnya perfilman di Bali berjalan. “Kesenian di Bali tidak boleh terpusat. Harus sambehang, seperti memberi makan ayam.” Dua pendapat tersebut, pada akhirnya menggambarkan situasi perfilman di akar rumput Bali yang memang seharusnya bergerak secara sporadis, namun harus selalu mengupayakan ruang untuk terkoneksi.
Discussion about this post