“Apa yang sangat spesial dari Acung untuk diangkat menjadi sebuah film?” tanya Putu Bayuwestra salah satu kawan sejawat peserta internship film festival writer padaku ketika kami hendak mengulas film bersama. Pertanyaan tersebut malah memunculkan segudang pertanyaan lain di kepalaku: apakah pertanyaan tersebut terjawab dalam film itu sendiri, atau justru film tersebut menyisakan lubang sebegitu besarnya hingga kawanku bertanya demikian?
yang Spesial dari yang Klise, yang Klise dari yang Spesial
Acung Memilih Bersuara (Amelia Hapsari, 2023) menceritakan kisah Acung, seorang keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Pasuruan. Ia tak pernah meniatkan diri menjadi aktivis, namun besar di tengah-tengah besarnya kebencian, diskriminasi, dan bahkan persekusi terhadap keturunan Tionghoa, ia tak bisa diam saja. Karenanya, ia ditangkap dan dipenjara tanpa diadili saat usianya masih sangat muda. Dokumenter animasi pendek ini adalah bagian dari proyek Buried Chapters, atau Babak-babak yang Dikuburkan, kumpulan dokumenter yang mengangkat cerita-cerita sejarah yang dikuburkan, terutama seputar peristiwa 1965 dan 1998.
Lalu, jika ini adalah bagian dari cerita sejarah yang lebih luas, terutama peristiwa sebesar 1965 dan 1998, apa yang spesial dari Acung? Kalau boleh kujawab jujur, tidak ada yang spesial. Asumsiku, mungkin Amelia Hapsari juga kurang lebih sepakat―tersurat dari caranya menutup film dengan zooming out ilustrasi wajah Acung dan menampilkan ilustrasi orang-orang lain. Acung hanyalah satu dari sekian ribu, bahkan mungkin juta, subjek-subjek terdampak persekusi dan genosida 1965. Situs Perpustakaan Online 1965-1966 juga menulis: “Acung Memilih Bersuara bukan semata-mata tentang Acung seorang. Ia memilih bersuara karena apa yang disaksikannya seiring ia tumbuh: kebencian yang terus diterima oleh banyaknya keturunan etnis Tionghoa. Kisah ini diangkat untuk satu generasi yang hingga kini masih terdampak karena ketidakadilan yang dialami generasi pendahulu puluhan tahun yang lalu.”
Dengan begitu, Acung bahkan tidak seharusnya jadi “spesial”―subjek-subjek terdampak lain punya luka, duka, dan trauma yang sama penting dan valid dalam perjuangan mencari keadilan. Ia pun sedang tidak hadir, atau dihadirkan, untuk mewakili semua suara subjek-subjek terdampak. Pretensi representatif yang dibingkai dalam sebuah film akan selalu runtuh ketika dihadapkan pada realita di luar bingkai film yang begitu beragam. Seharusnya, film tidak dibuat dengan pretensi mewakili keseluruhan realita tersebut. Toh, judul film ini adalah Acung Memilih Bersuara, bukan Acung Bersuara Mewakili Penyintas.
Percakapanku dengan Bayu juga menawarkan ulasan pemantik lain yang menarik: “aku merasa film ini adalah sebuah pengantar dari impact campaign atau advokasi pasca pemutaran, dan aku malah lebih penasaran sama campaign-nya” ujarnya. Implikasi dari ulasan ini sesungguhnya adalah adanya kesan klise dalam film: satu lagi film aktivis yang mengangkat isu hangat dengan estetika kampanye a la lembaga swadaya. Sejujurnya, aku tidak tidak sepakat dengan kesan tersebut. Animasi yang dilatarbelakangi oleh suara narator yang mengisahkan ketidakadilan Acung memang tidak mengeksplorasi estetika film secara dalam. Layaknya esai video yang kerap ditemukan di kanal YouTube, film ini sangat mudah dicerna sebagai pengantar terhadap suatu isu.
Tentang Dampak dan Kampanye Film
Tapi, apakah kemudian kesan “film kampanye klise” ini membuat filmnya menjadi tak layak tonton? Kurasa pertanyaan tersebut justru meleset jauh. Pertanyaan yang lebih relevan mungkin bisa berangkat dari sesuatu yang lebih material: dengan adanya “klise”yang membuatnya mudah diakses dan dicerna publik lebih luas, seberapa jauh film ini dapat mengubah kondisi dan situasi nyata yang menyelubungi kampanye ini?
Material di sini bukan berarti kuantitatif―pertanyaan ini tidak sedang mencoba mengukur seberapa luas impact kampanye dengan angka-angka statistik yang perlu dipertanggungjawabkan kepada yayasan pendanaan. Material berarti ia memiliki efek yang dirasakan secara nyata, signifikan, dan mendasar. Sejauh apa efek tersebut dirasakan oleh penggerak isunya? Sejauh apa ia punya kontribusi terhadap keadilan, atau setidaknya kesejahteraan (well-being) dari subjek-subjek terdampak?―terutama karena merekalah yang tidak hanya mengalami penindasan yang material dan nyata atas hidup mereka, tapi cerita-cerita merekalah yang disebar dan dipajang-pajang oleh para penggerak isu. Jika kawan sejawatku menyatakan ketertarikannya (alih-alih pada filmnya itu sendiri, tapi) pada kampanye yang sedang bergulir, bagaimana ketertarikan tersebut mempengaruhi kondisi materialnya? Dan bagaimana posisi(onalitas) film Acung Memilih Bersuara jika ditempatkan pada kerangka kampanye tersebut secara keseluruhan?
Tentu saja, sayangnya, aku tak punya jawaban atas pertanyaan berseri di atas. Pula bukan posisiku untuk menjawabnya―ia yang paling remuk di bawah opresi kuasa langsung adalah ia yang berhak untuk menekankan agensinya sendiri. Pertanyaan pemantik di atas baiknya menjadi pertanyaan kita bersama, untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas serta mendorong perspektif keberpihakan yang lebih kritis dan membebaskan bagi mereka yang harus bergulat dengan kekerasan dan kekuasaan.
Dengan begitu, akan sayang jika kehadiran Acung kita persempit menjadi perkara “apa yang spesial” darinya. Perdebatan soal estetika film rasa-rasanya hanya jadi perdebatan sia-sia yang hanya bisa beredar di bubble kalangan pegiat film, terutama jika bicara soal film yang punya subyek politik nyata yang materialitas hidupnya tidak dalam posisi aman maupun sejahtera. Acung Memilih Bersuara, sebagai bagian dari kampanye kemanusiaan yang lebih besar, jelas mencoba mengartikulasikan solidaritasnya terhadap subyek yang terhimpit melalui medium film. Eksplorasi estetikanya yang memunculkan “film kampanye klise” di satu sisi menunjukkan kekurangan eksplorasi lebih jauh, tapi di satu sisi ia membuat kampanye isu menjadi lebih mudah diakses.
Discussion about this post