Acara budaya umumnya dirancang untuk hiburan dan kesenangan khalayak luas. Eksistensinya bertujuan untuk mempropagandakan dan menyebarluaskan tema-tema budaya yang menggunakan berbagai medium seni yang tak terbatas pada film, musik, fotografi, tari dan kesusastraan. Ketika acara budaya menerima intervensi yang minim dari pemerintah, muncul kendali dari korporasi. Akibatnya muncul budaya massa yang dikomersialisasikan, serta lahirnya industri budaya yang merupakan indikasi masyarakat kapitalis. Adorno dan Horkheimer, dua filsuf Jerman membahas industri budaya sebagai ungkapan industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah hubungan produksi kapitalis. Mereka berpendapat bahwa industri budaya telah menghambat tumbuhnya individu otonom, mandiri yang dapat menilai dan memutuskan sendiri melalui alat berupa modal dan teknologi. Realita tersebut menyebabkan berbagai bentuk acara budaya, khususnya festival film, memiliki hubungan erat dengan kelas menengah atas.
Festival film merupakan sarana komunikasi massa yang ampuh –tidak hanya untuk hiburan, melainkan juga sebagai media yang edukatif. Mantra magis dari layar dengan gambar bergeraknya menyatukan jiwa-jiwa penonton yang tergolong mampu secara finansial. Dalam dunia yang lambat laun tenggelam dalam digitalisasi, mereka yang tidak memiliki akses internet akan kesusahan untuk mendapatkan informasi tentang festival yang sedang berlangsung. Ditambah lagi, bahasa Inggris yang kerap digunakan dalam festival film internasional pada era globalisasi ini bukanlah bahasa yang dikuasai secara mahir oleh mayoritas penduduk Indonesia. Melihat hal ini, festival film memang sudah seharusnya lebih difokuskan ke realita sekeliling, tak melulu mengikuti zaman, seperti yang dilakukan oleh Minikino Film Week (MFW) Bali International Short Film Festival.
MFW adalah festival film yang berfokus khusus film pendek. Dalam website maupun berbagai pernyataan umum yang dipromosikan Minikino, festival ini percaya bahwa film pendek, seperti puisi atau cerita pendek, adalah karya otonom dengan kekuatan sastra yang unik. Kumpulan film pendek yang terprogram dengan baik di MFW juga merupakan stimulan yang kuat untuk diskusi; memicu proses berpikir kritis.
Saya, sebagai pengunjung MFW7 tahun 2021 ini ikut berperan sebagai penulis festival film, bersaksi bahwa menonton film pendek memang terbukti menimbulkan hasrat untuk berdialog dan bertukar pikiran.Tetapi, lebih dari itu, Minikino juga membuka ruang untuk mereka yang jauh dari lingkup perfilman, seperti para pedagang kecil yang diberi kesempatan ikut merayakan kemeriahan MFW pada tanggal 3-11 September 2021 lalu.
Lagi-lagi tema pandemi COVID-19 harus disebutkan dalam tulisan ini. Namun, virus ini memang telah mengubah sendi-sendi kehidupan manusia dari berbagai sektor, tak terkecuali pedagang kaki lima (PKL). Banyak orang yang harus memutar otak untuk bisa bertahan hidup. Dalam MFW7 lalu, saya menemukan hal yang unik nan istimewa. Di saat gegap gempita beli makanan secara online, kami, seluruh tim yang terlibat dalam festival, mendapatkan kupon-kupon yang dapat ditukarkan dengan makanan yang dijual oleh para PKL di sekitar MASH Denpasar, festival lounge dan salah satu venue festival MFW.

Ide kupon ini berangkat dari Fransiska Prihadi, Program Director MFW7 bersama dengan Edo Wulia, Festival Director MFW7, yang menyadari bahwa festival film merupakan perayaan bersama: siapa pun boleh ikut merayakan. Sejak tahun 2015, MFW edisi pertama bekerja dengan beberapa restoran sebagai mitra diskon. Pengunjung MFW di tahun 2015 akan mendapat diskon jika membeli makanan di restoran yang bekerja sama sebagai mitra diskon. Namun, pandemi telah menghambat gerak manusia sehingga di tahun 2021 ini, lahirlah ide baru untuk memanfaatkan individu-individu yang menyandarkan nasibnya sebagai PKL. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat di Bali membuat banyak sektor usaha mikro kecil dan menengah terdampak cukup besar. Dengan semangat kolaborasi, Minikino memberdayakan para pedagang sekitar. Mereka yang berjualan di sekitar festival lounge MFW7 diantaranya adalah Warung Bu Azkiyah yang berdagang nasi beserta lauk pauknya, penjual batagor dan pedagang kaki lima sate ayam. Para PKL ikut merayakan kemeriahan festival film pendek internasional dan roda ekonomi bergerak.
Di bawah sadar, keberadaan pedagang kecil ini telah merajut kenangan istimewa. Di pinggir jalan, di bawah tenda sederhana dan kadang duduk di emperan toko yang tutup di malam hari, sambil menunggu makanan disajikan, kami bercakap, berbagi canda tawa, keceriaan, dan mengenal satu sama lain lebih baik.

Salah satu obrolan yang saya ingat soal salah satu film di MFW7 dari program Indonesia Raja Jakarta, yang berjudul Liburan Diam-Diam (Erlangga Radhikza, 2020). Film ini mengilustrasikan bagaimana kepala keluarga yang kurang mampu secara ekonomi, secara licik melakukan suatu cara demi bisa menuruti keinginan anaknya untuk berlibur ke Kebun Binatang. Sesuai seperti teori Emile Durkheim tentang struktur sosial dalam masyarakat yang dapat menekan warga negara untuk melakukan kelicikan atau kejahatan.Saya merasa lega bahwa MFW7 berhasil membentuk festival yang inklusif, dirayakan oleh beragam individu tanpa sekat kemampuan ekonomi yang merupakan stereotypical sebuah festival film.
Adorno dan Horkheimer mengemukakan bahwa industri budaya telah menghambat tumbuhnya individu-individu yang otonom dan mandiri yang menilai dan memutuskan sendiri melalui alat berupa modal dan teknologi. Namun, momen-momen yang dilahirkan MFW membuktikan bahwa secanggih-canggihnya eksistensi teknologi di zaman sekarang, memang tidak ada yang bisa menggantikan senda gurau yang dilakukan secara langsung secara inklusif.
Interaksi lewat layar dengan koneksi internet mungkin tetap dapat menimbulkan canda tawa, namun tetap saja ada sebuah sekat yang membatasi ruang ekspresi antar-individu. Tetap ada jurang emosi dan ekspresi dalam interaksi daring. Minikino telah memberi kesempatan merayakan hidup lewat pertemuan film pendek kelas dunia dengan penontonnya, bahkan lebih lagi merangkul PKL melebur sekat untuk bercengkrama dan menciptakan memori indah untuk dikenang.
Sampai jumpa di MFW8, saya sudah mencatat tanggalnya 2-10 September 2022.
Discussion about this post