Menonton ulang sebuah film merupakan sebuah pilihan yang dipengaruhi oleh waktu, materi, dan akses. Tidak semua orang memilih untuk melakukannya sebab satu atau lebih faktor tersebut terkadang tidak dimiliki. Aksesibilitas menonton ulang film pendek dalam sirkuit festival lebih sulit direalisasikan daripada film panjang. Berbagai pilihan film panjang dapat diakses dengan mudah lewat bioskop komersil ataupun streaming platform, sedangkan film pendek biasanya hanya hadir pada layar-layar alternatif, seperti art house sinema, pemutaran komunitas, dan paling dirayakan dalam festival film. Sebagai salah satu peserta program Hybrid Internship for Festival Writer 2023, saya mendapatkan kesempatan untuk mengakses film-film pendek nominasi Best Audio Visual Experimental Short dalam Minikino Film Week 9, bahkan untuk menontonnya secara berulang.
Proses pribadi saya menonton film karya Gladys Ng yang berjudul Every Floor Looks The Same (2022) secara berulang kali dilatarbelakangi oleh alasan personal. Sebagai sebuah film eksperimental, film ini hadir dengan permainan elemen sinematis, menyandingkan dan menabrakkannya satu sama lain dalam cara-cara inkonvensional. Hal ini merupakan pengalaman menonton yang asing bagi saya. Keasingan ini kemudian mendorong saya untuk memaksa diri untuk memahami film dalam bingkai pemikiran naratif. Ketika film-film Hollywood yang khas dengan konvensi penceritaan naratif selalu menjadi tipe film yang saya konsumsi sejak dulu, kebiasaan untuk mencerna film dengan bingkai pemikiran naratif ini pun secara otomatis terbentuk. Bingkai ini kemudian membuat film eksperimental lekat dengan kesan film yang tidak jelas. Mungkin karena film eksperimental tidak menjelaskan dirinya lewat cara yang akrab saya temui.
Hasilnya, alih-alih bisa membacanya secara tekstual, untuk mencernanya saja saya butuh menontonnya berulang kali. Di sisi lain, kesempatan untuk menonton film pendek (yang eksperimental) berulang kali merupakan hal yang langka. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menceritakan pengalaman langka ini ke dalam tulisan saya. Selama tiga kali sesi menonton Every Floor Looks The Same, berbagai interpretasi dan perasaan muncul secara berurutan dari sesi pertama hingga terakhir. Namun, ada pula yang muncul secara tumpang tindih.
Pertama, Berkenalan
Bagi saya, menonton film untuk pertama kalinya menyerupai proses berkenalan dengan orang baru, dan menonton film eksperimental, dalam pandangan saya, sama seperti berkenalan dengan orang yang abstrak, sulit dimengerti, dan artsy. Berkenalan pada pertama kali hanya akan meninggalkan kesan-kesan abstrak dari baju yang ia kenakan dan bagaimana ia berbicara, tanpa benar-benar memahami apa yang dibicarakan. Saat pertama berkenalan, Every Floor Looks The Same meninggalkan kesan-kesan abstrak dari sudut pandang Osmanthüs, seorang gadis kecil yang berpetualang menyusuri lanskap kota tempat tinggalnya, tanpa benar-benar memahami apa yang ia ingin lakukan. Sambil memfokuskan diri untuk berusaha (keras) memahami cerita, kesan-kesan abstrak itu menjadi jerat yang menjaga mata saya tetap tertaut ke layar.
Dalam film, Osmanthüs terlihat tidak terlalu bersemangat untuk “bergerak”. Bergerak di dalam lingkungan kota tempat tinggalnya yang modern, namun sepi. Tidak terlalu banyak interaksi yang terjadi di sekitar Os. Sendirian, Ia mengelilingi kota yang didominasi gedung-gedung modern dengan sedikit sentuhan pepohonan. Hingga akhir, satu-satunya yang tampak memercikan semangat Osmanthüs adalah taman hiburan di kotanya. Menggunakan burung yang hilang sebagai alasan untuknya “bergerak”, Os pada akhirnya mendapatkan yang ia inginkan meskipun tidak sesuai harapan.
Mengikuti keseharian Osmanthüs yang bebas berjalan-jalan sendirian, saya bertanya-tanya, mengapa ia sangat tidak bersemangat? Bukankah harusnya seorang anak kecil yang bebas biasanya lebih bersemangat? Waktu kecil, saya sangat suka saat ditinggal sendiri di rumah karena bisa bebas melakukan apapun. Hingga akhirnya saya sampai pada adegan ia sedang les biola. Adegan itu mengingatkan saya saat momen masa kecil yang harus mengikuti les piano karena dipaksa orang tua. Seketika saya menyadari, mungkin Os tidak sebebas yang saya kira.
Kedua, Yang Tersirat
Setelah berkenalan dan familiar dengan Osmanthüs, les biolanya, kota tempat tinggalnya, burung yang hilang, dan sebagian besar latar tempat dan waktu film, sesi kedua membuat saya sadar akan detil-detil kecil yang tersusun di setiap adegannya. Sesi kedua merupakan sesi terbentuknya berbagai interpretasi konten film.
Kembali pada analogi saya yang memandang proses menonton film sebagai berkenalan dengan seseorang, di pertemuan kedua, saya menemukan pola “kelakuan” orang ini. Pola ini dibentuk melalui motif sinematis yang muncul secara berulang, lalu mencoba memahami alasan di balik keputusan pemunculannya. Salah satunya adalah warna hijau yang digunakan secara konsisten. Mulai dari warna teks judul film, warna properti karakter, hingga pada bentangan pepohonan yang banyak menjadi latar sepanjang film. Bentangan pepohonan ini, dihadirkan dan digambarkan secara inferior. Pepohonan seringkali digambarkan terhimpit oleh gedung-gedung tinggi, beberapa adegan lain melakukan empasis terhadap alat penebangan pohon dan prosesnya. Satu adegan bahkan menyandingkan suara teriakkan anak kecil di wahana bermain, dengan shot pohon kering, pohon ditebang, serta pohon kecil yang diapit dua gedung tinggi.
Hubungan antara pohon, gedung, dan kota dalam film ini mencuri sebagian besar perhatian saya saat sesi menonton kedua. Melihat konteks film yang berlatar dan berasal dari Singapura, pemunculan ketiga objek tersebut dapat dimaknai sebagai komentar Gladys Ng terhadap Singapura yang menekan habis ruang-ruang hijau di kota-kotanya. Sebuah statement yang berangkat dari kepenatannya sebagai warga kota yang selalu berpapasan dengan gedung modern yang seolah mengurung ruang bergerak, dan kerinduannya dengan pepohonan yang lambat laun hilang dari pandangan. Karakter Os terlihat seperti wujud individu “kecil” yang kebingungan mencari tempat “bermain” di tengah kota yang berusaha keras memodernisasi diri.
Ketiga, Muncul ke Permukaan
Dalam salah satu pembahasan mata kuliah Experimental Film Production sewaktu saya kuliah, dosen saya menyebut bahwa film eksperimental lebih fokus untuk membagikan sebuah perasaan atau sebuah kesan, sebuah kata sifat, daripada berusaha untuk menceritakan sesuatu atau menyampaikan sebuah pesan moral. Fokus ini juga terlihat jelas pada Every Floor Looks The Same. Bertemu kali ketiga dengan Osmanthüs membuat saya semakin dekat dengannya, hingga akhirnya bisa menyelami dan (sedikit) memahami perasaannya.
Pada sesi menonton pertama dan kedua, saya masih sibuk mencari kaitan konsep dengan konten. Namun saat menonton ketiga kalinya, hal yang lebih muncul ke permukaan adalah perasaan-perasaan yang film ini coba tawarkan pada penonton. Terpisah dari segala makna simbolis yang tersemat di sepanjang film, Every Floor Looks The Same membagikan sebuah perasaan terperangkap dan percikan keinginan untuk bergerak membebaskan diri. Sebagai individu yang terkadang terlalu betah dalam status quo yang menawarkan ilusi kenyamanan dari lingkungan modern, saya merasa terhubung dengan Osmanthüs.
Hubungan ini juga kemudian berbicara tentang perasaan “besar” dan “kecil”. Terdapat satu dialog dalam film yang menggambarkan perasaan ini, “Do you know what it means to be big and small at the same time?”, yang diucapkan oleh guru biola Osmanthüs. Dialog ini menjadi sebuah refleksi yang mempertanyakan kembali apa arti menjadi besar atau kecil. Apakah orang dewasa dan anak kecil menjadi indikator dari apa yang disebut “besar” dan “kecil”? Atau apakah kedua kata sifat itu sebenarnya berbicara lebih dari usia atau ukuran semata?
Rasanya, kisah Os dalam film ini sebenarnya adalah potret sebagian besar masyarakat kota. Saya, dan mungkin orang dewasa di perkotaan lainnya, pun sebenarnya setiap hari berkutat dengan apa yang biasa disebut dengan krisis eksistensi. Menyadari seberapa kecil signifikansi diri terhadap lingkungan sekitar, mempertanyakan sebenarnya kita diciptakan untuk apa atau untuk siapa. Perasaan dan pertanyaan yang seringkali seketika muncul, ditemani tatapan kosong saat terjebak macet, ataupun saat terjaga sendirian di malam-malam panjang yang dihiasi lampu kota. Every Floor Looks The Same terasa seperti rekaman memori berulang dari kehidupan banal manusia modern.
Bagi saya Osmanthüs bukan hanya sebatas tokoh dalam film. Perjumpaan terus menerus dengannya menyadarkan saya bahwa ia bukan sekedar karakter fiksi yang hidup di dunia fiktifnya sendiri. Jiwa Osmanthüs sejatinya hidup dalam diri para manusia kota. Hidup dalam diri Gladys, ataupun dalam diri saya sendiri. Mungkin, apabila saya menonton Every Floor Looks The Same beberapa kali lagi atau berjumpa dengan Osmanthüs beberapa kali lagi, ada banyak perasaan lain yang tertangkap. Mengenal dan mengikuti Osmanthüs bergerak di dunianya, memberikan gambaran awal akan ide tentang film pendek yang bisa berperan selain sebagai medium yang ekspresif, tapi juga medium yang kontemplatif.
Discussion about this post