Hak Asasi Manusia dapat mencakup banyak hal. Raoul Wallenberg Institute bekerjasama dengan Minikino Film Week (MFW) untuk mengeksplor berbagai aspek yang berhubungan dengan hak asasi manusia melalui media film pendek.
Sejak 2021, Raoul Wallenberg Institute (RWI) Awards telah menjadi bagian dari program di Minikino Film Week dengan tema HAM di Asia Pasifik. Film-film pendek yang masuk ke MFW memiliki kesempatan untuk dikurasi kembali dan menjadi nominasi di RWI Awards. Hadiah yang ditawarkan, yakni berupa uang tunai sebesar Rp 15.000.000 untuk satu pemenang utama dan dua pemenang kedua masing-masing mendapatkan hadiah uang tunai sebesar Rp7.500.000.
Dengan adanya penghargaan ini di Minikino Film Week 9 menyediakan ruang percakapan untuk berbagai isu HAM di penjuru Asia Pasifik. Nyatanya, isu-isu ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari, namun luput dari perhatian masyarakat. Contohnya, dalam film-film pendek yang masuk nominasi RWI Awards 2023 ini, film fiksi tentang perempuan hamil yang harus bekerja menafkahi keluarganya dalam The Wedding Ring (Robin Narciso, Kamboja, 2022). Ada juga film yang penuh metafora tentang nelayan yang harus bekerja keras di tengah perubahan lingkungan sekitarnya dalam Blue Poetry (Muhammad Heri Fadil, Indonesia, 2023).
Selain film fiksi, dalam nominais ini juga ada film dokumenter tentang Mufi, seorang Tuli yang mengukir karir dalam musik dan menginspirasi orang lain untuk berekspresi melalui bahasa isyarat dalam Senandung Senyap (Riani Singgih, Indonesia, 2022). Lalu ada juga Acung yang tumbuh dewasa menyaksikan kebencian terhadap etnis Tionghoa dalam Acung Memilih Bersuara (Amelia Hapsari, Indonesia, 2023). Atau bagaimana seorang pembuat film mengenang perjalanannya bersama orangtuanya dan menyaksikan pemandangan sekitarnya semakin berubah dalam One Day in Lim Chu Kang (Michael Kam, Singapura, 2022).
Melihat ragam isu HAM yang terpilih dalam RWI Award kemudian memunculkan pertanyaan, bagaimana perspektif RWI dalam melihat isu HAM, dan dampak apa yang bisa ditimbulkan oleh film-film pendek ini. Jason Squire selaku Direktur Regional Asia Pasifik RWI dan Yudha Pratama selaku Communication Officer Regional Asia Pasifik RWI, duduk bersama dengan para pembuat film (Riani Singgih, Amelia Hapsari, dan Robin Narciso) juga penonton festival dalam forum Human Rights Short Films X RWI pada Jumat siang, 22 September lalu di Griya Musik Irama Indah dalam perhelatan MFW9.
Yudha menjelaskan, RWI sebagai institusi riset dan akademis sejak tahun 1984 yang berbasis di Lund, Swedia ini membagi isu HAM dalam 2 kategori utama, yaitu hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. “Khususnya di regional Asia Pasifik, kami bekerja dalam beberapa tema yang spesifik, antara lain, HAM dan lingkungan, Bisnis dan HAM, Akses pada Keadilan, dan Non-Diskriminasi dan Inklusi,” ujarnya.
Yudha juga memberikan gambaran bagaimana film dapat membangkitkan diskusi dan aksi yang berhubungan dengan HAM. “Melalui media film, kita dapat mengedukasi orang-orang tentang konsep HAM dan contoh nyatanya yang terjadi dalam kehidupan.”
Lebih lanjut, Yudha memaparkan terminologi “Art Activism” yang menjadi landasan RWI dalam menjangkau ranah lain di luar latar akademis RWI. Bagi RWI, berbagai macam ekspresi seni dapat membangkitkan kesadaran, mengadvokasi keadilan sosial, dan mengangkat isu HAM. Tidak hanya membangkitkan kesadaran, Art Activism juga dapat menggugah masyarakat secara emosional sehingga mereka akan lebih mungkin untuk mendukung atau terlibat dalam isu tersebut. Berbagai ekspresi seni yang dimaksud dapat berupa film dan dokumenter, seni rupa, puisi, seni pertunjukkan, seni digital, hingga sosial media.
Fransiska Prihadi selaku Direktur Program MFW 9 yang juga menjadi moderator dalam forum ini, mengungkapkan kebahagiaannya dapat mengumpulkan para panelis dan penonton untuk mendiskusikan isu kemanusiaan ini. “Minikino selalu menjadi hub bagi orang-orang untuk bertemu, belajar, mendengarkan, berdiskusi, dan juga bersenang-senang. Kami senang RWI yang terkenal sebagai institusi riset mau mendukung para pembuat film yang menyuarakan tema tertentu melalui festival film seperti ini,” ungkapnya.
Dalam kesempatan ini, para pembuat film yang hadir turut menyatakan bagaimana pengalaman mereka dalam membuat film tentang isu HAM sangat membuka pandangan mereka. “Terutama saat membuat film dokumenter, saya berkesempatan untuk terjun langsung, mendengarkan orang, dan memahami isu yang mereka hadapi yang bahkan mungkin tidak kita ketahui terjadi di dalam kehidupan ini,” ungkap Riani Singgih.
Robin Narciso bahkan meyakini pembuat film memiliki kekuatan untuk mendorong perspektif penonton. “Kita bisa ambil satu cerita lalu menginterpretasikan ulang dan mengarahkan tujuan yang ingin disampaikan ke penonton. Maka dari itu, penting untuk selalu mempertanyakan bagaimana ide narasi utamanya dan dari mana asal perspektif pembuat filmnya.”
Masing-masing panelis pembuat film juga berkesempatan untuk mempresentasikan latar belakang dan perjalanan mereka hingga menjadi pembuat film yang vokal menyuarakan berbagai isu di sekitar mereka. Tidak hanya itu, ditampilkan pula video kesan dan pengalaman dari para pemenang RWI Awards tahun sebelumnya. Mulai dari Khozy Rizal sutradara film pendek Ride To Nowhere (2022) yang memenangkan honorable mention di RWI Asia Pacific Award tahun 2022. Disambung dengan Hadafi Raihan Karim, sutradara film pendek The Partian (2021) yang memenangkan honorable mention RWI Asia Pacific Award 2022. Dan juga ada video dari produser Abdullah Hannan dan sutradara Firdaus Balam dari film pendek BAGAN (Sudden Uncertainty) (2021) sebagai film pendek terbaik dalam RWI Asia Pacific award tahun 2022. Semua dibawakan secara kasual tanpa nuansa menggurui atau pun propaganda yang agresif.
Sebagai penutup, seluruh panelis forum menyampaikan harapannya masing-masing terhadap kegiatan ini di masa mendatang. Amelia Hapsari mengawali dengan berharap bahwa siapa pun, di mana pun dia lahir dan berada, bagaimana pun situasi hidupnya, memiliki kesempatan untuk menceritakan kisahnya agar mimpi dan harapan mereka bisa didengar banyak orang.
Jason Squire mengutarakan bahwa isu-isu HAM ini masih sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat, namun tidak berarti semangat memperjuangkannya harus luntur. Tak perlu berbicara jauh ke ranah politik, lingkungan, atau sebagainya. Kaum muda, khususnya, dapat merasakan berbagai tekanan terkait citra tubuh dan lainnya melalui media sosial. “Hal yang fundamental dari HAM adalah bagaimana kita sebagai individu bisa menjadi diri kita sendiri, dan memiliki kemampuan untuk mengekspresikan diri dengan cara yang kreatif. Jadi jangan patah semangat dan teruslah berjuang,” tandasnya.
Discussion about this post