Berbicara tentang festival film pasti tidak terlepas dari pengaruh wilayah di mana ia berada. Di Indonesia, banyak festival film lokal yang berusaha mempresentasikan posisi diri mereka sendiri dalam sirkuit festival internasional. Dan salah satu yang membedakan satu festival dengan festival yang lain adalah, karakteristik penonton, dan lokasi di mana festival tersebut ada. Karena dari dua hal tersebut program dapat terbentuk dan festival akan mampu mempunyai identitasnya yang khas.
Minikino Film Week (MFW) adalah salah satu festival film pendek terpenting di Indonesia, juga salah satu yang terkonsisten dan terlama setelah Festival Film Dokumenter (20 tahun) dan Jogja Netpac Asian Film Festival (17 tahun). Sebagai salah satu festival film non-pemerintah yang masih berjalan, Minikino Film Week secara rutin melakukan jejaring dari komunitas ke komunitas. Hal ini nampak dari banyaknya rekan kerja yang berkolaborasi dengan mereka setiap tahunnya, bahkan tidak hanya komunitas namun juga lembaga-lembaga lainnya di seluruh wilayah provinsi Bali.
Salah satu bentuk kolaborasi yang dibangun oleh MFW ke 8 adalah kolaborasi dalam program Pop Up Cinema. Sebuah program pemutaran dengan konsep layar tancap yang tahun ini berada di kota Tabanan, tepatnya di Desa Adat Pagi pada tanggal 3 dan 4 September 2022. Pop Up Cinema sendiri memang sering berpindah-pindah setiap tahunnya, karena konsep layar tancap yang diusung membuatnya menjadi salah satu program MFW yang sangat fleksibel dengan format tempat, waktu, dan penonton. Pengalaman menonton yang sangat fleksibel inilah yang setiap tahun Minikino coba tawarkan kepada penonton Indonesia dan bahkan luar negeri.
Pop Up Cinema menjadi program yang menarik karena ia membuktikan bahwa festival film bisa berada dimana saja, dalam kondisi apapun, dan dengan penonton siapapun. Konteks nya jelas, bahwa dengan ruang yang lebih “merakyat” penonton–dari luar daerah Bali terutama–juga dapat berkenalan dengan masyarakat sekitar. Sehingga tidak ada jarak yang terbangun di antara penonton dari luar daerah dengan penonton dari masyarakat sekitar venue Pop Up Cinema, tapi apakah itu efektif? Nampaknya hal ini yang berusaha dijawab oleh Minikino di tahun ini dengan adanya fitur paket “wisata” yang ditawarkan. Sebuah perjalanan enam jam sebelum pemutaran berlangsung bertajuk Fringe: Workshop and Activities seperti yang ditulis dalam katalog yang dipegang oleh masing-masing pengunjung.
Mengajak beberapa tamu undangan Minikino seperti, Clarissa Jacobson dari Amerika Serikat, Jaime Manrique dari Kolombia, Jesper Jack dari Denmark, hingga Leong Puiyee dari SIngapura. Program Fringe menawarkan tiga titik perjalanan di dalam Desa Adat Pagi. Perjalanan kami dimulai dari perkenalan dengan burung hantu Tyto Alba Uma Wali milik Pak Kadek Enjoy (I Made Jonita), area persawahan masyarakat, beberapa rumah warga dengan arsitektur lokal yang khas, serta perjalanan menuju Wantilan.
Mereka yang Hidup Beriringan dengan Hewan
Perjalanan pertama dimulai dari Tyto Alba Uma Wali, sebuah penangkaran burung hantu berjenis Tyto Alba yang sudah ada sejak 2015. Penangkaran ini bertujuan untuk menjaga keberlangsungan hidup spesies Tyto Alba agar tetap terjaga keberadaannya dan dapat dimanfaatkan untuk menstabilkan populasi tikus yang kian meresahkan masyarakat. Uma Wali sendiri didirikan atas inisiatif bersama Pak Kadek Enjoy dan beberapa warga di Tabanan karena sadarnya potensi burung hantu jenis Tyto Alba yang banyak berada disekitar wilayah mereka. Konsep penangkaran sendiri didasari oleh usaha untuk menghentikan perburuan liar, hingga kecelakaan tak terduga yang dialami oleh spesies Tyto Alba di alam liar, alhasil keberlangsungan hidup spesiesnya tetap terjaga.
Di sana para pengunjung juga diperbolehkan untuk memotret beberapa burung hantu yang berterbangan di dalam sangkar. Menurut Pak Kadek Enjoy pengurus dari Uma Wali, semua burung hantu yang ada dalam penangkaran akan dilepaskan ke alam liar nantinya. Atau juga akan diberikan kepada sesama pemerhati burung Tyto Alba untuk digunakan keperluannya sebagai pembasmi hama. Sehingga tidak mengherankan jika sepanjang perjalanan kami, mudah menemui rumah yang memelihara satu burung Tyto Alba.
Bagi masyarakat Desa Adat Pagi, burung hantu Tyto Alba sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan mereka, dan salah satu penyelamat ladang padi milik warga dari kawanan tikus. Maka tidak heran jika disetiap rumah, ditemukan banyak sekali patung dan lampu berbentuk burung hantu Tyto Alba sebagai suatu penghormatan, dan mungkin juga kebanggaan identitas masyarakat lokal.
Setelahnya rombongan kami menuju wilayah persawahan, dan di sela-sela perjalanan mengunjungi rumah warga yang terbilang unik. Satu pekarangan rumah warga, bisa berisi satu keluarga besar yang tinggal di dalam 5-10 rumah dengan satu gerbang/pintu masuk yang sama. Semacam ada kompleks perumahan sendiri di dalam desa. Menurut Pak Kadek Enjoy rumah-rumah milik satu keluarga ini berdiri di tanah seluas 300 meter persegi (rata-rata). Dan di tengah pekarangan akan ditemukan balai kecil yang berfungsi sebagai tempat berkumpul keluarga, ketika membicarakan hal-hal penting seperti pernikahan.
Melanjutkan perjalanan ke area persawahan pengunjung akan disajikan banyak pemandangan sungai dan ikan-ikan yang sesekali berenang-renang. Bagi warga sekitar, ikan-ikan tersebut menjadi indikator kebersihan air. Apakah air tersebut sedang bersih atau tidak bagi ladang padi. Sementara itu di ladang padi, ada kolam ikan milik warga untuk usaha, kebanyakan ikan-ikan tersebut adalah ikan mas. Untuk hasil padi sendiri, ada satu padi yang menarik di daerah ini. Sebuah jenis padi campuran yang satu batangnya bisa menghasilkan 1-3 warna. Namun sayangnya cuaca kurang mendukung yang membuat tim tidak bisa melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi.
Kehangatan yang Meleburkan
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Wantilan, venue utama Pop Up Cinema tahun ini. Wantilan sendiri merupakan sebuah bangunan umum berbentuk seperti aula semi-terbuka yang biasa digunakan masyarakat untuk mengadakan rapat atau acara-acara tertentu. Di sana venue sudah disiapkan karena sehari sebelumnya Pop Up Cinema sudah berlangsung. Peserta wisata dijamu dengan kehangatan dan disajikan banyak sekali makanan dan minuman. Lidah mancanegara kami para peserta wisata, mencicipi rasa tradisional seperti Jaje Laklak ataupun teh beras merah untuk pelepas dahaga dan penahan lapar.
Di Wantilan ini juga para pengunjung berinteraksi dengan anak-anak yang bermain di sekitar venue maupun para panitia yang sebagian merupakan warga asli desa. Dilanjutkan dengan kegiatan menganyam topi caping menggunakan daun kelapa, buah kelapanya pun sekalian dibawa ke lokasi pemutaran untuk dibuka dan diminum bersama-sama.
Kegiatan-kegiatan ini merupakan bentuk keterbukaan festival film kepada masyarakat. Jika banyak festival film yang nampaknya diperuntukan untuk sinefil kelas kakap dan tersentralisasi di beberapa titik saja. Rasanya MFW8 lebih seperti mengadakan pesta rakyat jika melihat apa yang mereka tawarkan di Pop Up Cinema tahun ini. Festival Film yang tidak lagi hanya dinikmati orang-orang kota, namun juga orang-orang desa. Pun dengan orang-orang desa mengenal masyarakat diluar desa melalui film pendek, begitupun dengan penonton luar desa berkenalan langsung dengan kehidupan warga melalui perjalanan wisata sebelum pemutaran sembari berkegiatan bersama.
Hal lain yang menurut saya terpenting adalah bagaimana MFW8 mampu memposisikan dirinya sebagai wadah eksibisi. Bukan sekedar tempat bertemu, namun secara fleksibel mampu merepresentasikan keberagaman di Bali dengan beradaptasi sesuai kebiasaan masyarakat lokal. Adanya ruang seperti Wantilan, bentuk rumah yang diisi oleh satu keluarga besar, hingga kebiasaan dalam memecahkan masalah lingkungan bersama-sama membuat format layar tancap untuk menonton film pendek sangat cocok.
Seperti dalam pendirian penangkaran burung hantu yang bernafas kolektivitas, alasan mengapa layar tancap atau Pop Up Cinema menjadi format yang baik untuk menikmati sebuah film pendek, adalah karena orang-orang secara kolektif bisa merasakan pemutaran filmnya. Orang-orang di sekitar lokasi bisa dengan bebas mengakses dan menonton film pendek. Di sana orang bisa berdiskusi sambil duduk lesehan tanpa adanya sekat sosial. Di sana jugalah pertukaran informasi dan pendapat antara warga setempat dan penonton pendatang, berlangsung secara organik.
Discussion about this post