Bulan Februari 2022, Minikino kembali mengadakan Minikino Monthly Film Screening & Discussion. Programmer Edo Wulia membawakan judul program Going Green, bercerita secara luas tentang gaya hidup daur ulang dan ramah lingkungan menjadi fondasi kehidupan manusia.
Program Going Green menampilkan lima film pendek asal empat negara di tiga lokasi pemutaran Cirebon, Yogyakarta, dan Bali. Dalam program ini ada empat film pendek dokumenter dan satu film fiksi yang bertipe semi dokumentasi. Kelima film ini menyajikan realita lewat mata dokumentasi dan dokumenter.
Lewat program ini, penonton serasa dibawa keliling dunia, menyaksikan realita permasalahan lingkungan dan kemanusiaan beragam negara, kultur, dan budaya. Terasa ada benang merah sosio-kultural karena kita berkutat dengan masalah yang sama. Berusaha berteman dengan alam untuk memanusiakan manusia.
Time Lapse (2008) karya sutradara Jonathan Hagard, merupakan film animasi tentang menghilangnya sebuah desa di daerah Jakarta akibat urbanisasi dan modernisasi kota. Menonton film ini ibarat masuk dalam nostalgia suasana Jakarta pada pertengahan tahun 2000an. Terdapat ikon nyata kota Jakarta seperti Mall Grand Indonesia, papan baliho pemilu, bajaj oranye, dan cepatnya masyarakat Jakarta bergerak. Unsur dokumentasi realita itu berhasil membuat film ini terlihat hidup. Gaya animasi yang manis berangsur-angsur menggambarkan Jakarta yang hijau dan penuh dengan kehidupan berubah menjadi hutan beton yang mewah dan berlimbah.
Di Pinggir Kali Citarum (2020) karya sutradara Ali Satri Efendi, bercerita tentang pengrajin batu bata yang produktif di musim kemarau namun sial di musim penghujan. Adanya 2 sisi di atas koin yang sama membantu penonton memahami bahwa pekerjaan ini, dan banyak pekerjaan lainnya bergantung pada ketidakpastian alam semesta. Momen-momen pekerja yang menceritakan keseharian menceritakan keseharian manusia berkali-kali tertangkap oleh lensa seperti pekerja dalam istirahat makan siangnya dan usaha mereka menyelamatkan batu bata dari kebanjiran. Dengan visual tanpa narasi dialog dialog, film bercerita lewat visualisasi iklim, dan musik ilustrasi. Film ini menurut saya menuntut penontonnya untuk membuat interpretasi sendiri.
Last Breath of the Tonle Sap. (2021) karya Thomas Cristofoletti dan Robin Narciso, mengulas kehidupan Piseth sebagai nelayan yang hidup dari danau Tonle Sap. Hasil memancing perlahan-lahan berkurang akibat perubahan kondisi Tonle Sap yang disebabkan oleh perubahan iklim dan bendungan PLTA. Alih-alih berfokus pada kerusakan alam, dokumenter ini mengambil fokus manusia yang terkena dampaknya. Lewat kehidupan Piseth yang nelangsa, tergambar kesulitan manusia akibat perubahan iklim untuk memberi makan keluarga. Film ini juga menggambarkan upaya Piseth dan keluarganya bertahan hidup meski kondisi terus membuatnya babak belur.
Altaraba (2020) karya Luthfi Muhammad, menelusuri perjalanan Dasep dalam pekerjaannya memindahkan jenazah dari kubur akibat banjir dan konversi lahan kubur. Menariknya, proses pemindahan jenazah ini tertangkap kamera secara langsung, jujur, dan membumi. Film ini juga tidak malu-malu membahas aspek agama dan kepercayaan, menempatkannya sebagai fondasi kehidupan film. Dasep dengan ringan menuntun narasi yang informatif seputar topik mortalitas dan agama. Proses pemindahan jenazah tidak terasa horor ataupun setabu itu.
Accidental Activist (2020) karya Jinung Chung, menceritakan kehidupan El-Farouk, seorang aktivis queer muslim dalam upayanya membuat dunia yang terbuka bagi semua kalangan. Film ini mirip seperti khotbah yang membahas kebaikan El-Farouk. Topik yang menangkap perhatian saya ialah bagaimana El-Farouk berhasil menang atas perdebatan internalnya tentang identitas sebagai muslim dan gay. Dengan mulianya penggambaran El-Farouk dalam film, ia sangat manusia. Jika ini dokumenter propaganda, jelas ini adalah dokumenter propaganda yang berhasil.
Salah satu faktor yang membuat saya kerap kali menolak tontonan promosi kehidupan ramah lingkungan adalah banyaknya himbauan yang dipaksa masuk ke tenggorokan saya. Going Green menjadi program yang membuktikan bahwa narasi gaya hidup hijau tidak harus selalu diceritakan dengan baku dan penuh nilai politis.
Meski begitu Going Green juga bukan program tanpa misi. Lewat catatan program, keberpihakan dan visi program ini tertulis jelas. “Minikino melalui program film pendeknya mengampanyekan gaya hidup yang berkelanjutan dan dapat didaur ulang.” Yang membuat saya merasa Going Green berhasil adalah kampanye ini mengadopsi perjalanan setiap karakter dalam film sebagai media storytelling. Cerita manusia-manusia ini jauh lebih dapat didiskusikan ketimbang memaksa saya menjadi vegan. Pilihan filmnya terasa jujur, jelas, dan berhasil mengajak saya untuk bersimpati pada tiap topik bahasan.
Selain asyik dan menyenangkan, urutan film dalam Going Green rasanya juga berusaha menyampaikan sebuah statement. Program dibuka dengan Time Lapse, sebuah dampak urbanisasi manusia. Kemudian dilanjutkan dengan Di Pinggir Kali Citarum dan The Last Breath of The Tonle Sap. yang menggambarkan manusia dengan profesi yang mesti tunduk pada iklim dan alam. Altaraba bercerita tentang usaha manusia untuk berdamai dengan alam, tetap menghormati kematian dan kultur meskipun alam seringkali tidak bersahabat. Kemudian diakhiri dengan Accidental Activist, yang seratus persen manusia dengan gaya hidup hijau advokat sosial. Gaya hidup hijau bukan serta merta bertujuan menghijaukan bumi dan membuatnya indah. Bukan juga sekedar membuat alam lestari. Lebih dari itu, gaya hidup hijau berupaya untuk memanusiakan manusia meskipun kadang alam menjadi tantangan. Bumi yang hidup akan berdampak langsung pada keberlangsungan masa depan manusia.
Seperti program Minikino Monthly Screening sebelumnya, Going Green menjadi program yang tidak mendikte penonton lewat catatan programnya. Ia membuka ruang interpretasi yang menarik untuk diskusi. Pada akhirnya lewat diskusi penonton yang timbul dari program, tujuan Going Green dapat terpenuhi. Menjadi media kampanye gaya hidup yang berkelanjutan dan dapat didaur ulang.
Discussion about this post