Terbiasa membaca catatan program dengan benang merah yang konkret (seperti tema/genre yang sama), timbul rasa penasaran saya ketika membaca catatan program Minikino Monthly Screening and Discussion (MMSD) Mei 2023: Di Sekitar Pojokan. Biasanya, sebelum menonton sebuah program film, saya dapat membayangkan level relevansi yang akan saya miliki dengan program film tersebut. Bayangan seperti “Oh, program film ini akan membahas banyak dinamika hubungan orang tua dan anak,” atau “Oh, program film ini akan berisi banyak film dengan gaya experimental”.
Dalam catatan programnya, Ladya Cheryl dan Zeke Khaseli selaku programer menyatakan bahwa Di Sekitar Pojokan merupakan refleksi dan memori bertemu dengan teman-teman baru dan menemukan kenyamanan dalam komunitas film di Kota New York (NYC), yang secara langsung menjadi bagian dari perjalanan keduanya selama tinggal di kota itu sebagai imigran.
Latar belakang keduanya memberi kedalaman pada pemilihan film dalam program ini. Ladya dengan pengetahuan dan pengalamannya di Film-Makers’ Cooperative, sebuah organisasi non-profit yang fokus dalam pengarsipan film-film independen terbesar di dunia, memahami pentingnya arsip dan pemrograman film independen. Sementara Zeke, sebagai seorang musisi yang terlibat dalam skoring musik, membawa perspektif yang berbeda ke dalam proses seleksi film. Keduanya saling bekerja sama sebagai kolaborator dan teman diskusi dalam memilih film-film yang akan ditampilkan.
Program ini terdiri dari sepuluh film pendek, yaitu 626 (Yudho Aditya, USA, 2022), Jack Smith’s Apartment (MM Serra, USA, 1990), A Victory in Connect Four (Nadia Mendieta, USA, 2017), Max (Nadia Mendieta, USA, 2017), First Draft (Erica Sheu, USA, 2017), Afternoon (Erica Sheu, USA, 2017), The Way Home (Erica Sheu, USA, 2018), Ghost Stories (Kaila Chambers, USA, 2016), The Sound of Coins Hitting Brass (Andrew Stephen Lee, USA, 2017), Asi en La Tierra (Joel Vázquez Cárdenas, Mexico, 2020).
Film dan Sense of Community di NYC
Di Sekitar Pojokan memang terasa seperti memorabilia yang sepenuhnya dimiliki oleh Ladya dan Zeke. Esensi program ini bukan terletak pada filmnya, namun hubungan dan pengalaman yang Ladya dan Zeke dapat dalam komunitas film di luar Indonesia. Dalam sesi tanya jawab yang diadakan pada saat pemutaran 20 Mei 2023 di MASH Denpasar, Ladya dan Zeke menceritakan hubungan keduanya dengan para pembuat film yang terlibat dalam program tersebut.
Film-film pendek dalam program ini menawarkan pengalaman sinematik yang beragam, ada beberapa film yang meninggalkan kesan kuat untuk saya. Misalnya, Jack Smith’s Apartment memperkenalkan saya kepada Jack Smith, sosok yang berpengaruh dalam perkembangan film eksperimental, seni pertunjukan, dan underground queer cinema melalui apartemen Jack semasa hidupnya. Layaknya berada dalam sebuah perjalanan dengan seorang pemandu, penonton mendapatkan informasi mengenai Jack Smith melalui narasi suara oleh Penny Arcade yang menceritakan sejarah Jack Smith, sambil sesekali mendeskripsikan perasaan berada di apartemen Jack.
Melalui sesi tanya jawab, penonton memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai latar belakang Jack Smith’s Apartment. Film pendek ini mengungkapkan pentingnya barang personal di apartemen Jack Smith, seperti koleksi film, catatan, lukisan, dan buku-bukunya, yang dianggap berharga dan patut dilestarikan. Meski tidak dijelaskan secara rinci dalam sesi tersebut, upaya untuk mengubah apartemen tersebut menjadi museum tidak berhasil. Sehingga Penny Arcade, seorang artis dan playwright di NYC, berkolaborasi dengan MM Serra untuk melestarikan peninggalan Jack Smith melalui medium film. Kolaborasi ini menjadi bentuk kekuatan komunitas dalam mendukung pelestarian nilai-nilai dan kontribusi penting dari tokoh seperti Jack Smith, serta menjaga peninggalan tersebut agar tetap hidup dan dapat diakses oleh generasi mendatang.
Sementara itu, pengemasan artistik film A Victory in Connect Four dan Max juga berkesan bagi saya. Keduanya mengeksplorasi emosi melalui ekspresi artistik, perasaan kecewa seorang mantan dalam A Victory in Connect Four yang digabung dengan video sosok perempuan sedang bersenang-senang memantik sebuah rasa rindu dan nostalgia. Max menggunakan pendekatan dokumenter untuk menggambarkan pengalaman kencan pertama, memantik sebuah perasaan kasmaran yang biasa dimiliki saat mulai menyukai seseorang.
Ladya sendiri mengenal Nadia Mendieta dan Erica Hsu saat dirinya mengambil kelas eksperimental di New York University (NYU). Saat itu, mereka mendapatkan kesempatan dari profesornya untuk memutar film pada sebuah acara di New York. Kesempatan tersebut membawa semangat bagi ketiganya untuk tetap membuat film, bahkan mereka masih kerap berkomunikasi usai lulus. Menonton film First Draft membawa nostalgia tersendiri untuk Ladya, ketika keduanya saling memberikan dukungan dalam proses kreatif film satu sama lain. Kini Erica sudah pindah ke Los Angeles, namun Ladya dan Zeke selalu berusaha untuk menghadiri pemutaran film Erica di NY.
Pentingnya Berkomunitas
Hubungan Ladya dan Zeke dengan komunitas film di New York memberikan perspektif berharga dalam menciptakan program yang menggambarkan pengalaman dan memori pribadi mereka di New York. Seperti yang Ladya alami, berkomunitas menyediakan wadah bagi satu sama lain untuk memberikan dukungan terhadap karya masing-masing, memperoleh wawasan yang lebih dalam melalui berbagai macam perspektif yang dimiliki masing-masing orang, hingga menjadi jembatan untuk memperluas koneksi dan peluang dalam industri film.
Ada kisah yang menarik dari Ladya, usai menyelesaikan masa pendidikannya di NYU. Saat Ladya melaksanakan magang di Film-Makers’ Cooperative. MM Serra, yang merupakan Executive Director dari organisasi tersebut berhubungan baik dengan Ladya. Ketika Ladya dan Zeke hendak menyewa sebuah apartemen, keduanya membutuhkan support letter sebagai jaminan kelakuan baik dan disiplin bayar sewa. Salah satu sosok yang memberikan keduanya support letter adalah MM Serra. Film-Makers’ Cooperative juga mempertemukan Ladya dengan Kaila Chambers, yang pada saat itu juga sedang melaksanakan magang.
Apabila Ladya bersinggungan dengan komunitas film melalui pendidikan, Zeke bersinggungan melalui pekerjaannya di music scoring. Andrew Stephen Lee, dan Joel Vázquez Cárdenas pada saat itu merupakan mahasiswa Columbia University. Pada awalnya, Ia dihubungi oleh Valerie Castillo-Martinez selaku produser Yudho Aditya untuk bekerja sama dalam film Pria (2017). Kerja sama tersebut membuat Zeke berteman dengan Yudho, yang kemudian membawa dirinya kepada teman Yudho lainnya, Andrew dan Joel. Zeke menjadi saling berteman dekat dengan ketiganya, juga menjalin berbagai kerja sama. Salah satunya dalam Asi en La Tierra, nama Zeke dapat terlihat pada bagian credits.
Zeke menyatakan bahwa keduanya memang dengan sengaja membangun program tersebut bukan berdasarkan film, namun dari pengalamannya bersinggungan dengan teman-teman seniman yang memberi keduanya dukungan serta kekuatan selama menetap di NY. Secara tidak langsung, Ladya dan Zeke tidak hanya berbagi pengalaman dan cerita mereka, tetapi juga menyuarakan kebutuhan akan pengarsipan film dan pentingnya menjaga warisan nilai-nilai dalam bentuk film, dengan memberikan kesempatan bagi para pembuat film untuk memperkenalkan karya-karya mereka dan mendapatkan apresiasi dari komunitas film lainnya.
Sesi tanya jawab ditutup Zeke dengan ucapan, “Di atasnya pengertian, pemahaman, ilmu pengetahuan, A.I, dan lain-lainnya, terdapat pengalaman. Kita merasakan pengalaman tersebut sebagai manusia, dan itulah hal yang terjadi sekarang. Kita bisa menayangkan program, bertemu di sini, inilah yang membuat hidup ada dan bergerak”. Program Di Sekitar Pojokan mengingatkan saya kembali bahwa film bukan sekedar medium, namun juga alat untuk menghubungkan komunitas, membangun jaringan sosial, dan memperluas pemahaman kita tentang manusia dan dunia di sekitar kita.
Discussion about this post