Juni ini cukup berbeda, mengawali bulan yang baru, saya terpilih sebagai salah satu artist dari total 4 peserta terpilih dalam program residensi selama 6 hari, mulai dari Selasa, 6 Juni sampai Minggu, 11 Juni 2023 bersama Toko Seniman dan Minikino. Bagi saya, ini juga merupakan sebuah privilege dapat mengakses 6 program film pendek dari Indonesia Raja 2023. Untuk kemudian memilih satu film, mengapresiasi, dan menuangkannya dalam cita rasa kopi.
Memilih dan menonton Sepenggal Kisah Bunga (2021) karya I Gede Wahyu Widiatmika seperti menjadi Wahyu dalam 25 menit yang campur aduk. Wahyu, adalah sutradara film ini sekaligus menjadi tokoh sutradara amatir yang memproduksi film sebagai “konten amatir” dalam sebuah channel YouTube dalam cerita film ini. Namun setelah menyelesaikan 25 menit menonton, film Sepenggal Kisah Bunga bukan sekedar konten untuk sebuah channel YouTube. Ia menimbulkan berbagai harapan, seperti bunga yang layu, dapat tumbuh kembali jika belum saatnya pergi. Selama menonton film pendek ini, saya sudah dibantu ekspektasi dari catatan programnya Kardian Narayana yang menggabungkan film Sepenggal Kisah Bunga dengan 5 film lainnya dalam program Indonesia Raja 2023: Bali.
Setelah menonton keseluruhan program Indonesia Raja 2023, film ini akhirnya yang saya pilih untuk diapresiasi dan dituangkan ke dalam cita rasa kopi sebagai program bersama Toko Seniman Coffee. Pemilihan film ini juga pertama-tama karena topik, isu, dan permasalahan yang bagi saya jarang sekali terlintas, mengenai urgensi nya di Bali. Karena setelah saya sedikit riset, pada 2022 kepolisian daerah (Polda) Bali mengungkapkan, sepanjang tahun itu telah tercatat ada 260 kasus kekerasan seksual di Bali. Ditambah tentu banyak korban-korban lain yang enggan melapor. Jika dicatat rata-ratanya, maka setiap bulan dan minggu ada kasus kekerasan seksual yang terjadi di Bali. Untuk saya yang sebatas berwisata ke Bali, tentu hingar bingar wisata dan keberhasilan terbentuknya wisata Bali jujur saja membutakan mata saya dalam melihat permasalahan terkhusus kekerasan seksual di Bali.
Bagaimana kisah Putu, karakter anak perempuan dalam film ini, yang mengalami kekerasan seksual dari orang terdekatnya, malah membuat perasaan saya campur aduk. Saya yang tadinya menjadi seorang Wahyu (perekam film, spektator), lalu menjadi Nyoman (Bapak, ayah dari Putu) dan kembali lagi menjadi Wahyu (spektator menjadi teman, pendukung, pejuang) dengan kameranya lagi.
Rasa campur aduk ini bagi saya menjadi pengalaman menonton yang penting untuk dialami dan dirasakan. Terutama sebagai penonton dalam program residensi bersama Toko Seniman dan Minikino. Mengapresiasi tontonan dan memproyeksikannya tidak hanya dalam layar/ proyektor. Pun menuangkan proyeksinya dalam kopi sebagai medium yang menggunakan indra berbeda.
Sepenggal Kisah Bunga telah membawakan saya keyakinan dan rasa yang baru. Seperti apa film pendek dapat dibentuk dengan sedemikian rupa, membawa sebuah topik dan permasalahan, dan membiarkan penonton mengalaminya. Dengan pendekatan yang terlihat sederhana dan “amatir” dengan format mockumenter layaknya seorang konten kreator yang baru merintis sebuah channel YouTube, Wahyu mencoba mengajak penonton untuk bisa menyuarakan kekerasan seksual seperti yang dialami Putu kepada penonton lainnya.
Memproyeksikan “rasa” lewat Kopi
Saat kredit film berjalan, saya mencoba “mengecap-ngecap” rasa yang terjadi selama 25 menit film berjalan. Bahagia, excited, penuh ekspektasi, namun bertanya-tanya, sempat merasa bingung, tapi dalam beberapa saat kembali merasa ada harapan. Harapan berupa imajinasi akan sesuatu yang baik dan baru. Yang berbunga seperti Sepenggal Kisah Bunga.
Bila ditanya bagaimana proyeksi rasa yang ingin disampaikan kalau Sepenggal Kisah Bunga ada dalam kopi, tentu rasa-rasa di atas adalah perasaan yang harus sama. Selain itu, layaknya harapan yang tumbuh setelah proses merasakan Sepenggal Kisah Bunga, kopi yang ditemukan rasanya ini juga harus melalui perasaan dan imajinasi akan maksud dan tujuan Sepenggal Kisah Bunga.
Di hari terakhir residensi di Toko Seniman, saya mengajak barista bernama Janice, menonton film Sepenggal Kisah Bunga. Seusai menonton, saya mendengarkan impresinya mengenai film ini lalu mempersilahkannya juga membaca draft awal tulisan yang sekarang sedang kalian baca ini. Janice merasakan kompleksitas, bahagia pada awal film berjalan, merasakan pahit pada konflik, lalu dilema dan berusaha menginginkan Wahyu sebagai YouTuber amatir untuk menyelesaikan film. Meski pada awalnya kisah pak Nyoman yang hangat sebagai ayah tunggal harus diganti menjadi kisah Putu yang menjadi korban kekerasan seksual.
Janice awalnya merekomendasikan kopi bernama Bali Kintamanis. Kopi yang saya coba saat tahapan coffee cupping experience sebagai rangkaian program residensi juga. Kopi ini memiliki body dalam kopi yang tipis, lalu rasa manis seperti teh di akhir. Namun, setelah meneliti lebih jauh proyeksi saya di atas mengenai rasa personal saat menyelesaikan film ini. Janice dan saya sepakat memilih Sumatra Natural (Gayo Natural).
Selain senang dengan kompleksitasnya, saya juga merasa tasting notes hingga pengalaman meminum Sumatra Natural seperti berjalannya 25 menit Sepenggal Kisah Bunga. Saya membayangkan para penonton nanti memesan kopi ini sebelum pemutaran berlangsung. Membiarkan suhunya turun perlahan sambil mencoba menyeruputnya pada awal film. Lalu menenggaknya lagi saat Wahyu mencoba merubah cerita pada film untuk konten YouTubenya. Menyisakannya hingga film berakhir lalu merasakan Sumatra Natural saat film benar berakhir (suhu kopi pun benar-benar sudah turun). Disaat itu, penonton akan menemukan rasa asam, dan manis setelah mengimajinasikan dan mengecap-ngecap dengan lidah setelah meminumnya.
Kendati demikian, penonton tidak akan dapat merasakannya jika tidak bisa berempati dan enggan melepas ego sendiri. Ia harus mencoba menjadi Wahyu, Nyoman, dan Putu untuk bisa menemukan rasa, dan jika lebih jauh lagi, ada harapan. Akan sesuatu yang baik dan lebih baru. Hidup keseharian dan jauh dari kekerasan seksual.
Discussion about this post