Lebih dari medium seni lain, film adalah medium yang paling mencerminkan sifat manusia dalam berkomunikasi. Sebagai karya audio visual, film menggunakan tutur kata dan gerak tubuh dalam menyampaikan sesuatu. Oleh karena itu, saat menonton film, kita menyaksikan aksi berkomunikasi yang sangat dikenal. Menyerupai cara berkomunikasi kita dalam dunia keseharian. Namun perbedaan utama film dengan dunia nyata adalah luputnya kekuatan penonton untuk menanggapi ataupun memotong pembicaraan. Penonton dituntut untuk hanya mendengar dan menyaksikan. Membiarkan karakter mengutarakan segala pikiran dan perasaan, tanpa interupsi spektator. Keakraban dan keterbatasan ini rasanya adalah kekuatan terbesar film dalam berkomunikasi. Tercipta pengalaman yang memungkinkan penonton untuk sepenuhnya terserap dalam lika-liku komunikasi antar karakter film.
Setelah menyaksikan program Indonesia Raja 2022: Jawa Barat, saya menjadi yakin bahwa ide ini jauh lebih kuat dalam medium film pendek. Dengan rata-rata durasi kurang dari 25 menit, lima film pendek dalam program ini menyajikan aksi komunikasi yang lebih efisien daripada kebanyakan film panjang. Lika-liku komunikasi manusia tampil dengan cara yang fokus, efektif, dan beragam.
DI ATAS MEJA MAKAN
Saya tumbuh di keluarga yang diwarnai perbedaan pendapat. Meskipun tumbuh besar dalam lingkungan dan didikan orang tua yang sama, saya dan kedua kakak perempuan tumbuh menjadi pribadi yang berbeda. Menjalani kehidupan dewasa, kami mengumpulkan bagasi hidup yang beragam dan kadang bertentangan. Setiap kesempatan bertemu, cara pandang kami yang berbeda kerap menyulut perdebatan di atas meja makan.
Entah mengapa, bagi saya perselisihan dengan anggota keluarga seringnya lebih melelahkan dan berujung menyakitkan. Namun, fakta bahwa kami adalah saudara kandung dapat menjadi dorongan yang kembali menyatukan kita. Film Hari Sebelum Puasa (2021) garapan Aditia Santosa mengingatkan saya pada dinamika ini.
Dibuka dengan pertemuan kakak adik yang sudah lama terpisah baik secara geografis maupun ideologis. Bahkan sebelum berdialog, atmosfer di antara mereka sudah terasa genting. Perdebatan tentang mendiang ibu mereka, yang dilakukan secara simbolis di atas meja makan, tidak mengarah pada rekonsiliasi, melainkan semakin memecah belah keluarga. Di luar topik perdebatan yang spesifik, dinamika ini sangat akrab bagi saya. Saya dan banyak di antara kita yang memiliki dinamika keluarga yang serupa. Kesan akrab ini terbantu dengan sosok mendiang Ibu yang sama sekali tidak terlihat secara fisik dalam film. Eksistensinya disajikan melalui dialog, menciptakan sosok “Ibu” yang universal. Penonton diajak menaruh sosok ibu mereka masing-masing ke dalam celah ini. Tercipta pengalaman menonton yang familiar dan di saat yang sama, universal.
MENYENANGKAN BUKAN BERARTI MEMAHAMI
Film kedua dalam program ini tidak bisa lebih berbeda dari film sebelumnya. Fusion (2022), karya Irvan Achmad, Rizaldy Bagas, Calista Aradea dan Ice-Land, menggunakan empat segmen dan dua karakter dalam menyajikan komunikasi yang unik, abstrak, dan kadang konyol. Gaya ini cukup kuat muncul dalam karya Roufy Nasution sebelumnya, seorang sutradara yang berperan sebagai produser kreatif dalam Fusion.
Dalam empat segmen yang tidak berkesinambungan secara naratif, tiap bagian menunjukkan dialog dua aktor. Menonton mereka berbincang, membuat mereka seakan-akan memiliki pemahaman sendiri yang sepenuhnya terpisah dari logika penonton. Inilah keunikan dan daya tarik utama film ini; penonton tidak dimaksudkan untuk memahami pembicaraan mereka sama sekali. Kesan yang diterima penonton dapat membangun interpretasi individual yang sah.
Kadang film yang menggunakan pendekatan ini mudah membuat penonton merasa terasing. Tercipta sebuah impresi film “seni” yang terkesan eksklusif dan sulit dijangkau. Namun film ini sama sekali tidak masuk ke dalam prakonsepsi itu. Bungkusan komedi absurd yang menggelikan, memancing senyum dan tawa sepanjang menonton. Akibatnya, rasa bingung yang muncul justru saya rasakan sebagai apresiasi keasyikan pengalaman menonton. Saya rasa konsep “memahami” itu sendiri menjadi poin utama dalam mengapresiasi film ini. Mencoba mencari makna film Fusion, seperti mencoba memahami orang lain, adalah hal yang absurd untuk dilakukan. Jadi, daripada berusaha keras untuk memahami, lebih baik menari dan nikmati segala absurditas itu, seperti yang dilakukan gadis dalam bagian pertama film.
WHAT IT TAKES TO GET A SHOT
Dengan segala sesuatu yang dapat terjadi dalam lokasi syuting, set film dapat menjadi tempat terdekat bagi filmmaker dalam mencari inspirasi. Apalagi dalam lokasi syuting film komunitas, segala pertikaian, drama, bahkan cinlok sudah tidak asing lagi. Selain itu, seperti novel tentang seorang novelis, film tentang filmmaker dapat menciptakan sudut pandang yang menarik dan jujur. Menciptakan semacam jendela bagi penonton mengenai hal-hal di balik layar.
What it Takes to Get a Shot (2021) menceritakan momen di balik layar sutradara film yang frustasi akibat aktornya yang kurang kompeten. Namun, meskipun menggambarkan suasana yang penuh stres, film ini dibungkus dengan komedi menggelikan. Sesuai judul, sebagai seorang penonton yang kebetulan pernah berada dalam lingkungan syuting, segala kekonyolan dan eksentrisitas kru dalam film ini mengingatkan saya terhadap cerita-cerita lucu upaya filmmaker untuk menciptakan sebuah shot. Dito Prasetyo, sang sutradara menciptakan situasi komedi menggunakan perspektif kameramen dalam film. Saya merasa seakan menjadi bagian dari kru film, terlibat dalam situasi set yang jenaka. Film ini membuktikan bahwa cerita dalam lokasi syuting pun tidak kalah sinematis dari karya film yang dibuat.
SAAT KOMUNIKASI LUPUT
Bila berbicara tentang komunikasi, kita perlu juga membicarakan konsekuensi dari tidak adanya komunikasi. Maybe Someday, Another Day, But Not Today (2021) karya sutradara Bihar Jafarian mengeksplorasi ide ini melalui rutinitas monoton seorang istri rumah tangga.
Tiara, sang istri terpenjara kehidupan rumah tangga yang mengekang. Ia terpaksa menghadapi suami yang emosional dan mengintimidasi. Kita menyaksikan bagaimana suami mengendalikan segala aspek kehidupan istri, namun di saat yang sama mengabaikan pasangannya secara emosional. Keberadaan Tiara seakan-akan hanya ada untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan suaminya. Sepanjang film Tiara tampak seperti perempuan yang kesepian dalam pernikahannya. Pada beberapa momen, ia muncul sebagai seorang perempuan permisif yang telah menyerah.
Ketika Tiara secara tidak sengaja merusak baju suaminya di pertengahan film, situasi menjadi kacau balau. Mulai dari momen sederhana itu, montase rutinitas keseharian Tiara yang monoton, berubah menjadi film yang menegangkan. Dari sini, gambaran berpindah dari derita seorang istri yang tertindas menjadi sosok yang menunjukkan ketangguhan dan kreativitas seorang perempuan dalam mencari solusi. Penempatan konflik utama di tengah film adalah pilihan yang bijak. Pada momen ini penonton sudah mengenal situasi Tiara dan rumah tangganya. Sehingga kecemasan dan ketegangan yang dirasakan karakter dapat lebih dirasakan penonton.
Meskipun sang protagonis terkekang dan seakan-akan terpenjara kehidupannya sendiri, sesuai judulnya, Maybe Someday, Another Day, But Not Today adalah film yang berakhir sendu namun penuh harapan. Iya, Tiara memang terkekang dalam rumah tangganya. Tetapi melalui perjalanannya sepanjang film, terdapat segelintir harapan bahwa dirinya masih dapat mengambil kendali itu. Bagi saya, film ini adalah film pendek paling menyentuh dalam program ini. Sebuah antidot dari dua film sebelumnya yang sangat ringan dan penuh jenaka.
CHERRY-ON-TOP
Bagi saya, Selamat Datang di Indonesia (2021), film kelima dan terakhir dalam program ini adalah cherry on top yang sangat-sangat pas. Film animasi ini mengeksplorasi kekuatan dari komunikasi itu sendiri. Bagaimana bila disajikan dan diucapkan dengan baik, segala kebohongan dapat terkesan seperti fakta.
Berstruktur seperti video training atau edukasi, seorang perempuan masa depan menjelaskan sejarah Indonesia kepada warga bumi yang telah berpindah ke Mars. Pemaparan “materi” yang disampaikan sangat problematis dan penuh dengan kekeliruan. Bertujuan untuk menciptakan citra terbaik dalam dunia memandang indonesia. Secara satir, film garapan Azalia Muchransyah ini mengomentari bagaimana sejarah kerap dipoles dan didistorsi demi kepentingan sang penulis sejarah.
Kelima film dalam program ini memanfaatkan kekuatan komunikasi film dalam menghadirkan kisah-kisah tentang komunikasi itu sendiri. Dari perdebatan kakak-beradik yang sudah jauh terpisah, perbincangan abstrak antar dua karakter, suasana jenaka lokasi syuting, hubungan suami-istri yang menyedihkan, hingga komunikasi massal berisi kebohongan, program ini menunjukkan bahwa dunia pada dasarnya dipenuhi dengan segala jenis komunikasi, dan peran sinema adalah untuk memproyeksikannya ke pada layar. Memungkinkan kita untuk terserap ke dalam suatu sudut pandang yang berbeda, tanpa adanya keinginan untuk menginterupsi.
Discussion about this post