Ketika kecil dulu, aku kerap mendengar ucapan bahwa ide adalah sesuatu yang mahal. Semakin dewasa, aku merasa bahwa ide tidak se-eksklusif itu, yang mahal adalah ide yang dapat diwujudkan. Buah pemikiran tersebut aku miliki sejak mulai belajar membuat film. Ide memiliki sifat yang bebas dan abstrak, seseorang bisa memiliki ide mengenai pembalasan dendam semut kepada manusia yang pernah mencoba membunuhnya. Namun, banyak hal yang dapat menjadi penghalang untuk mengeksekusi ide tersebut menjadi sebuah film.
Berbagai penghalang dalam pembuatan film tersebut dibahas pada sesi pertemuan Minikino Hybrid Internship Festival Writers bersama Clarissa Jacobson. Clarissa dikenal sebagai penulis dan produser dari Lunch Ladies (2017), film pendek horor komedi yang sudah berkeliling ke lebih dari 100 festival film. Clarissa juga menulis buku I Made A Short Film Now WTF Do I Do With It (2019) yang berisi kita-kiat promosi dan distribusi film pendek untuk para filmmaker pemula. (Kabar baik, Minikino sudah menerjemahkan bukunya dalam Bahasa Indonesia dan direncanakan akan meluncur pada Minikino Film Week 8, lho).
Sempat mendapatkan kesempatan untuk menjadi salah satu tim penerjemah buku I Made A Short Film Now WTF Do I Do With It, aku melihat bagaimana cara Clarissa bertutur mirip seperti caranya menulis. Meskipun hanya bertemu lewat layar, rasanya aku seperti sudah mengenal Clarissa sejak lama. Dalam sesi satu jam tersebut, Clarissa berkisah mengenai perjuangannya mewujudkan sebuah ide film hingga mempromosikan film pendek. Lunch Ladies yang dipenuhi dengan lika-liku perjalanan membawa Clarissa mempelajari hal-hal baru, sembari mempraktikkannya secara langsung. Aku merasa bahwa lika-liku perjalanan yang dilalui Clarissa memiliki banyak kemiripan dengan kesulitan yang dialami filmmaker Indonesia.
Tentu saja yang utama adalah sumber masalah hidup kebanyakan orang, yaitu pendanaan (hanya 1% populasi manusia yang tidak perlu khawatir akan ini). Di Indonesia sendiri, sudah ada upaya pemberian dana dari berbagai pihak, seperti Dana PEN untuk Industri FIlm, Jakarta Film Fund, dan lainnya. Namun, jumlah funding yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah kelompok produksi yang hendak membuat film pendek. Belum lagi terdapat beberapa lembaga pemberian dana yang memiliki ketentuan aspek cerita tertentu (contoh: ide film dengan tema kebudayaan). Bagaimana kalau tidak mendapatkan dukungan dana untuk mewudukan ide ini?
“Art lives, creativity lives, you find a way to make money.” ujar Clarissa. Pada saat Ia selesai menulis Lunch Ladies, Clarissa menabung untuk waktu yang lama agar film ini bisa terwujud. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan crowdfunding (urun dana), Anda dapat menggunakan platform crowdfunding dan menawarkannya kepada orang-orang yang berpotensi, agar tertarik dengan ide film Anda. Meskipun sebenarnya, perlu diakui dan diingat bahwa ini adalah permasalahan yang berakar dari sistem pemerintahan yang masih kurang baik dalam memfasilitasi ekosistem produksi film pendek.
Sudah uang untuk mengeksekusi ide film pas-pasan, ditambah lagi ketika ada elemen teknis yang sulit untuk dieksekusi. Rasanya susah sekali mewujudkan suatu ide. Seperti yang dikisahkan Clarissa, Lunch Ladies adalah cerita tentang dua ibu kantin yang berambisi menjadi juru masak pribadi Johnny Depp. Namun, (Spoiler alert) kedua ibu kantin tersebut menggunakan tubuh seorang siswa untuk diolah menjadi makanan. Dengan ide tersebut, Clarissa kesulitan dalam mencari sekolah untuk dijadikan sebagai lokasi shooting, sekolah mana yang bersedia dipakai untuk dijadikan lokasi sebuah film pembunuhan?

Setelah berusaha mencari sekolah dengan hasil nihil, Clarissa bertanya kepada followers-nya di sosial media dan disarankan untuk menghubungi dua sekolah katolik. Awalnya Ia ragu, apa iya sekolah katolik bersedia untuk dijadikan lokasi sebuah film pembunuhan? Kebalikannya, Ia terkejut ketika mengetahui kedua sekolah katolik tersebut justru bersedia untuk dijadikan lokasi shooting Lunch Ladies. Alasannya, mendukung terwujudnya kebebasan berkarya.
Mewujudkan sebuah ide perlu tekad dan keberanian, terlebih lagi ketika harus menghadapi orang-orang sotoy (sok tahu), yang suka asal omong dan tidak memikirkan dampak yang diberikan kepada lawan bicaranya. Clarissa mengalami kejadian serupa, yaitu ketika mantan calon sutradara Lunch Ladies mengatakan bahwa ide filmnya sulit untuk dieksekusi, bahwa tidak akan ada aktor yang mau akting dalam film ini, bahwa Ia tidak akan menemukan properti yang bagus untuk film ini. Ucapan tersebut sempat menjatuhkan kepercayaan dirinya, hingga akhirnya Ia menyadari bahwa hal tersebut tidak perlu dilebih-lebihkan. Yang penting kita hanya perlu berada di dalam lingkungan yang suportif dan tidak menjatuhkan proses kreatif kita, “Surround yourself with people that don’t let barriers be put up.” ujar Clarissa.
Pada akhirnya, halangan terbesar dari mewujudkan ide film adalah melawan keraguan diri sendiri. Mewujudkan sebuah ide film memaksa kita untuk ditampar realita atas hambatan-hambatan yang ada, dimulai dari hambatan uang sampai bertemu orang sotoy. Namun, kita memiliki pilihan untuk tidak berlarut-larut dalam hambatan. Yang terpenting adalah untuk memulainya terlebih dahulu, meskipun hal tersebut dilakukan secara pelan-pelan. Sepertinya sekarang aku bisa mulai menulis naskah dari ide film pembalasan dendam semut itu.
Discussion about this post