Manusia menggunakan arsip sebagai bukti bahwa suatu kegiatan atau peristiwa pernah terjadi. Kesadaran akan peranan arsip baru aku rasakan ketika ikut andil dalam publikasi media sosial Minikino Film Week 8, hampir keseluruhan dari rancangan publikasi konten bergantung pada arsip yang dimiliki. Apabila dapat memberikan persentase asal-asalan, mungkin 60% membutuhkan arsip dari penyelenggaraan festival tahun lalu, 40% berhubungan dengan informasi baru mengenai penyelenggaraan film festival pada tahun ini. Setidaknya ini yang aku rasakan.
Kesulitan yang ditemukan adalah mencari cara untuk mengolah arsip-arsip tersebut menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat orang. Bagaimana menjadikan foto cemilan khas Bali, orang yang sedang menatap layar proyektor, atau sekedar dokumentasi foto sekumpulan orang yang berbincang di dalam festival menjadi sebuah cerita. Setidaknya cerita yang membuat para pengikut di media sosial tidak langsung scroll atau skip konten yang dirancang. Ketika bercerita pun tidak dapat dilakukan asal, perlu mengingat bahwa media sosial yang digunakan bukanlah media sosial pribadi, perlu menakar mana yang menarik dan tidak menarik untuk dibaca, perlu tahu foto atau video apa yang menarik untuk dilihat. Setidaknya itu yang aku rasakan.
Sepertinya permasalahan ini dialami dengan publikasi konten di media sosial festival film lainnya. Banyak yang memiliki arsip, namun sedikit tenaga untuk mengolahnya. Tidak dapat dipungkiri, aku cukup bingung melihat publikasi konten yang dilakukan oleh Yamagata International Documentary Film Festival (YIDFF), salah satu festival film dokumenter tertua di dunia yang berbasis di Jepang. Aku pertama kali mengenal YIDFF ketika anggota dewannya, Asako Fujioka, menjadi guest speaker dalam sesi Minikino Hybrid Internship Film Festival Writers.
Aku bertahan tidak begitu lama melihat publikasi yang ada pada Instagram YIDFF, dikarenakan akunnya lebih terlihat seperti Instagram pribadi ketimbang sebuah penyelenggara festival film. Dengan pengolahan arsip dokumentasi yang sepertinya tidak melalui proses kurasi, serta hampir semua keterangan fotonya ditulis dalam Bahasa Jepang. Begitu juga dengan laman web YIDFF, banyak tulisan dan sedikit visual, rasanya seperti nostalgia membuka situs jaman dulu, dan terlihat acuh dalam mengikuti perkembangan UI (user interface) dan UX (user experience) terkini.
YIDFF memiliki banyak arsip-arsip yang menarik dalam situsnya, beberapa adalah: (1) Documentary Box, jurnal yang terdiri dari berita atau tren baru terkini mengenai dokumenter, di dalamnya terdapat wawancara dan essay berbagai filmmaker, dengan periode edaran dari tahun 1992 hingga 2007. (2) Sputnik, jurnal yang berisikan wawancara dengan filmmaker dan tulisan singkat mengenai kesan filmmaker atau staf yang bekerja untuk YIDFF selama berada di Yamagata. Salah satunya terdapat tulisan Edwin (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas & Aruna dan Lidahnya) yang menuliskan pengalamannya selama menggelar instalasi seni untuk YIDFF. Namun, aku butuh waktu dan usaha lebih untuk mencari arsip ini, terlebih lagi Sputnik terletak di situs YIDFF yang berbeda (situs itupun terakhir diperbaharui pada 2021).
Sikap manja dan snobbish soal pengelolaan arsip dan publikasi di media sosial yang aku miliki ini berkurang setelah mendengar Asako, yang juga menyadari bahwa tampilan situs YIDFF kurang menarik dan terlalu akademis, cenderung kaku. Selain mengiyakan permasalahan kekurangan energi untuk mengurusi tampilan situs web (dari sini aku berasumsi bahwa permasalahan ini dimiliki media sosialnya juga) dan menceritakan soal webmaster yang cukup kolot. Asako menyatakan bahwa di sisi lain, laman web yang tidak memiliki beban visual berat akan memudahkan berbagai daerah atau orang yang tidak memiliki akses internet yang mumpuni.
Alasan tersebut membuka perspektif baru sekaligus memantik diskusi dalam diri sendiri. Di zaman yang menjadikan konten visual sebagai alat konsumsi media utama, apa masih ada kesempatan untuk mengupayakan akses di daerah dengan koneksi internet yang terbatas? atau orang yang tidak memiliki akses internet yang baik, namun pada saat yang sama dapat memenuhi kebutuhan perkembangan zaman yang ada? Sebenarnya, YIDFF sudah berupaya mencari jalan tengah dari permasalahan ini, yaitu dengan memiliki beberapa situs, YIDFF Online (https://online.yidff.jp/en/), Docu-Yama Live (http://www.yidff-live.info/en/4045/), dan situs utama YIDFF (https://www.yidff.jp/). Biasanya, informasi yang ada pada situs utama diintegrasikan dengan dua situs tersebut tapi cenderung membingungkan dan dirasa informasinya menjadi tercecer di sini dan di sana. Perasaan yang sama juga aku miliki terhadap Instagram YIDFF. Aku kurang paham informasi terkini yang ada dikarenakan semuanya ditulis dalam bahasa Jepang.
Terkadang, aku dilema ketika merasa resah melihat tampilan situs dan media sosial film festival yang cukup berantakan. Apa karena aku yang terlalu kaku? Terlalu manja dan malas mencari informasi? Di satu sisi, apakah yang aku rasakan ini juga dirasakan oleh para filmmaker baru atau orang-orang yang baru mengenal sebuah festival film tertentu? Pada akhirnya, aku tetap merasa treatment tampilan situs dan media sosial yang outdated akan mempersempit akses informasi kepada generasi-generasi selanjutnya.
Tidak hanya dimiliki YIDFF, aku rasa masalah pengolahan arsip dan publikasi ini ada di berbagai film festival, Minikino pun. Mungkin masing-masing film festival memiliki alasannya masing-masing, entah itu kekurangan energi, atau pihak yang mengurus dibaliknya cukup kolot terhadap perkembangan zaman, dan lain-lainnya. Dengan berbagai alasan yang ada, aku rasa yang diperlukan hanyalah kesadaran akan betapa pentingnya kehadiran sebuah film festival yang baik di internet. “Yang baik” bukan hanya yang sekedar hadir, namun juga merawat kehadiran tersebut dengan membuat rancangan ide konten dan strategi publikasi. Dengan arsip yang dimiliki sebuah festival film selama bertahun-tahun, banyak sekali hal yang dapat dipelajari oleh filmmaker atau penikmat film yang baru.
Discussion about this post