Film Adalah Orkestra
Film adalah pertemuan berbagai disiplin ilmu, kolaborasi suara dan gambar misalnya, yang kemudian masing-masing memiliki sub-disiplin ilmunya sendiri-sendiri. Memperhitungkan komposisi agar kedua kekuatan ini bekerja sama dalam takaran yang diinginkan. Mulai dari perencanaan awal sampai produksinya karya film merupakan runtutan perencanaan dan tata kelola yang serius dan bahkan lebih dari itu. Keberhasilan sebuah karya film, adalah kekuatan orkestrasi daripada sekedar organisasional yang solid. Sebuah sinergi berbagai estetika disiplin ilmu, daripada sekedar kemampuan teknis.
Setelah selesai, film disuguhkan sebagai karya bernilai pustaka. Sebagai sebuah karya yang terekam, film bisa tersimpan untuk melintasi ruang dan waktu. Lebih daripada sekedar hiburan, film membuka kesempatan lebar untuk menjadi bahan kajian lebih lanjut. Kualitas kerja pada proses produksinya terekam dalam hasilnya. Semuanya sampai ke mata, pikiran dan rasa penonton. Disinilah proses berlanjut lagi dan bisa menjadi semakin menarik.
Diawali Dengan Film Pendek
Film sebagaimana karya kreatif lainnya, adalah sebuah medium untuk menyampaikan ide, informasi, cerita, pemikiran atau renungan, dan bersama perjalanan waktu seni film telah dieksplorasi mengembangkan gaya dan formatnya. Film pendek adalah bentuk penuturan film pertama yang mengawali sejarah film itu sendiri. Ketika kamera pertama ditemukan di akhir abad 19, semua produksi film adalah film pendek, sampai era 1920an muncul sebuah film berdurasi lebih panjang sebagai sebuah gerakan independen yang menggebrak tatanan sebelumnya.
Secara sederhana, untuk memahami format film pendek kita dapat menganalogikannya seperti puisi atau cerpen dan membandingkannya dengan format bercerita yang lebih panjang seperti novel. Ketika kolom yang tersedia hanya untuk beberapa kalimat saja, atau rentang waktu yang terbatas untuk menyampaikan sebuah kisah, ini menjadi tantangan kreatif yang menimbulkan pertimbangan-pertimbangan estetika yang menjadi khas film pendek.
Budaya Film di Bali
Festival film adalah salah satu jalur utama untuk mempertemukan film pendek kepada penontonnya. Saat tulisan ini dibuat, Bali telah memiliki beberapa festival film tahunan yang aktif. Masing-masing memiliki bentuk penyelenggaraan dengan fokus yang berbeda. Kemudian ada juga beberapa festival tahunan lain yang walaupun fokusnya bukan film, tapi memasukkan festival film atau sekedar kegiatan pemutaran film sebagai bagian dari rangkaian acaranya. Selanjutnya ada juga berbagai acara berwajah Festival Film namun tidak dirancang berkesinambungan.
Walaupun telah memiliki berbagai festival film, pemahaman masyarakat Bali tentang festival film maupun terhadap format film yang mereka tonton, secara umum mungkin masih belum mendalam, disikapi sebatas hiburan atau pengisi waktu luang. Kondisi ini wajar saja. Budaya film, dalam hal ini adalah budaya memproduksi, terlibat produksi, budaya menonton, apresiasi dan kritik, di Bali pernah hampir tumbuh, ketika beberapa produksi yang cukup besar terjadi di Bali masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia. Sayangnya tunas ini tidak berlanjut. Aturan sensor negara yang ketat dan berpihak, yang kemudian disusul dengan kematian bisnis gedung bioskop di era 80-90an. Hal-hal yang merupakan serangkaian faktor yang mengakibatkan kondisi budaya film di Bali dapat dikatakan realtif lemah.
Layar yang Menciut
Di awal tahun 2017, Pulau Bali telah memiliki gedung bioskop di 6 lokasi. Namun, harga tiket bioskop di Bali secara umum lebih mahal daripada kota-kota di Indonesia. Sampai awal tahun ini, HTM 40 ribu untuk hari biasa adalah bandrol termurah yang bisa ditemui di Bali, itu pun hanya di 1 bioskop. Membandingkan dengan beberapa kota besar lain yang sudah bisa menawarkan harga 20 ribu rupiah, ditarik kesimpulan bahwa bioskop di Bali hanya milik masyarakat yang punya waktu, biaya dan akses, dan kita belum bisa membahas seberapa besar minat untuk datang dan menonton di Bioskop. Lokasinya yang sebagian besar terpusat di wilayah bagian selatan pulau Bali juga bukan merupakan wilayah yang umum dikunjungi masyarakat lokal. Sangat mudah mendapatkan orang-orang yang sama sekali belum pernah berkunjung ke gedung bioskop seumur hidupnya.
Suasana menonton film bersama di layar lebar sebagai sebuah acara sosial pernah melalui masa-masa keemasannya di Bali. Pada masa sebelum era kehancuran bisnis ini, hampir di semua kabupaten di seluruh pulau Bali memiliki gedung bioskop dan beberapa pengusaha layar tancap yang aktif membawa layar-layar film ini jauh masuk ke pelosok.
Tapi ketika bisnis bioskop Bali menyusut, minat menonton film tidak ikut menyusut. Akses untuk menonton film ini secara berkesinambungan berganti dari layar bioskop dan layar tancap menjadi usaha-usaha penyewaan home video yang muncul seperti jamur di musim hujan dan tidak pernah sepi pengunjung. Teknologi home-video menawarkan kenyamanan dan kemudahan menonton film di rumah sendiri. Teknologi ini silih berganti bersama perkembangan jaman. Mulai dari kaset Betamax dan VHS, kemudian Laser Disk, lalu mucul VCD dan kemudian disusul DVD yang masih populer sampai sekarang. Terakhir yang perlahan mulai digemari belakangan adalah akses on-line dan menonton langsung di layar handphone masing-masing serta berlangganan TV kabel yang semakin murah.
Acara menonton film pindah ke ruang keluarga dan ruang pribadi, ke ukuran layar yang semakin kecil. Ditonton bersama lingkungan yang semakin kecil sampai akhirnya ditonton sendiri-sendiri. Generasi baru penonton film di Bali masih secara aktif memilih, menonton, menilai dan mengomentari film-film yang mereka tonton. Tapi tidak lagi dalam sebuah acara menonton bersama, apalagi kalau harus meluangkan tenaga, waktu dan biaya yang bisa lebih mahal daripada harga sekeping DVD.
Berbeda Ruang
Festival Film pada hakikatnya adalah sebuah acara sosial yang dimotori kegiatan menonton film bersama. Untuk merancang strategi acaranya, mungkin saja ada yang memiliki maksud untuk melengkapi pilihan layar yang sudah tersedia. Atau ada juga festival yang mengusung semangat yang cukup populer khas pejuang, dirancang sebagai usaha perlawanan terhadap penyebaran film-film komersil yang relatif semakin mudah (atau murahan) dijangkau masyarakat.
Namun mempertimbangkan kembali kedua visi di atas, baik dengan niatan untuk melengkapi maupun melawan, seharusnya memposisikan para pihak yang sama-sama menghantar karya-karya film kepada penonton, untuk berada dalam arena yang sama. Setidaknya pada ruang yang sama. Tanpa kondisi ini, kita akan menemui kenyataan bahwa sebenarnya tidak ada yang merasa dilengkapi atau dilawan. Ibarat bertinju sendiri di dalam arena yang kosong, jelas bukan sebuah ajang pihak-pihak ini untuk saling berhadapan, tapi lebih mirip pertunjukan teater monolog.
Festival Film yang dirancang Minikino secara lebih spesifik adalah festival film pendek. Sebuah format film yang akhirnya perlu disadari, adalah bentuk yang berbeda dan tidak bisa berada pada ruang gerak yang sama dengan film-film yang sejak awal perencanaannya sudah bermisi komersil. Baik untuk film-film yang beredar di Bioskop maupun yang di DVD bajakan yang meluas sampai ke pasar-pasar rakyat.
Arena film komersil sendiri akhirnya juga belum terlalu mengenali format film pendek, atau masih dengan pemahaman yang gamang. Umumnya dianggap sekedar film coba-coba, film tugas sekolah atau sekedar karya contoh untuk pelengkap proposal. Atau sekedar film yang tidak dikenal untuk kepentingan yang tidak dipahami. Usaha-usaha film pendek untuk masuk ke arena komersil tentu saja sudah dan akan tetap dilakukan, namun untuk mengukur keberhasilan usaha ini, banyak hal masih perlu dipertanyakan dan didiskusikan.
Film Pendek Sebagai Sebuah Kekuatan.
Salah satu kekuatan khas film pendek adalah merangsang kemampuan penontonnya untuk mengolah informasi yang disodorkan dengan lebih kritis. Kesadaran pada informasi yang singkat, membuka kesempatan untuk memanfaatkan semaksimal mungkin kekuatan analogi dan metafora. Penggunaan kekuatan simbol-simbol yang pas akan mampu menggelitik penonton. Film pendek yang baik, justru memiliki kemampuan berbicara lebih luas dan berdampak lebih dalam daripada film panjang. Sewajarnya, setiap perancangan produksi film pendek menyadari kekuatan ini dan menjadi motif-motif dasar kreatifitasnya.
Dengan berfokus pada film pendek, Minikino berusaha membangun ruang baru tempat pertemuan film pendek dengan para penonton. Organisasi Minikino dibentuk dan mulai menjalankan berbagai kegiatannya pada tahun 2002. Kemudian merancang Festival Minikino Film Week pertama pada tahun 2015. Melalui film pendek, Minikino berusaha merangsang pemikiran yang lebih kritis terhadap tontonan. Visi inilah yang mungkin akan selanjutnya bisa berdampak pada kondisi budaya film di Bali secara lebih umum.
Minikino serta acara festival film pendek Minikino Film Week mengundang penonton yang sebagian besar adalah masyarakat, penduduk lokal kota Denpasar dan Bali pada umumnya, untuk secara serius memikirkan kembali tontonannya dan selanjutnya untuk berani mengemukakan pendapatnya serta memiliki kemampuan mendengarkan dan mengapresiasi perbedaan pendapat dari penonton lain.
Bacaan lebih lanjut:
– Harga tiket bioskop XXI seluruh Indonesia (http://hargaori.com/harga-tiket-bioskop-xxi-seluruh-indonesia)
– Bioskop Denpasar, tulisan sdr. I Nyoman Darma Putra (http://balebengong.net/sosial-budaya/budaya/2007/07/09/bioskop-denpasar.html
– Mengenai Minikino (https://minikino.org/tentang-minikino/ ).
Catatan tambahan:
Penulis berterimakasih kepada Fransiska Prihadi, Putri Harbie & Trianingsih, untuk berbagai masukan dan koreksi dalam proses penulisan artikel ini. Tulisan ini telah mengalami revisi 1 tgl. 18 Maret 2017