Pernahkah kamu mendengar Insya Allah, Astaghfirullah, atau Bismillahirrahmanirrahim terucap dari mulut seorang Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Penghayat, atau kepercayaan apapun selain Islam? Kalau iya, kesan dan perasaan apa yang seketika muncul dalam benakmu? Barangkali ada yang tertawa, ada yang mengernyitkan dahi, ada juga yang biasa saja. Seperti itulah kesan yang muncul ketika menonton film pendek karya Tanzilal Azizie, yang berjudul Berdoa, Mulai (2022). Nah tulisan ini adalah sedikit ceritaku setelah menonton Berdoa, Mulai sembari mencicipi berbagai jenis kopi sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Residensi Minikino X Toko Seniman.
Selama keikutsertaan dalam residensi sejak Selasa, 20 Juni sampai Minggu, 25 Juni 2023, aku menonton serangkaian film pendek dari program Indonesia Raja 2023 (IR 2023). Residensi ini meminta para partisipannya untuk memilih salah satu dari sekitar 30 film IR 2023. Tidak hanya film, partisipan juga diminta untuk memilih satu varian kopi yang dirasa paling tepat untuk dinikmati bersama dengan film tersebut. Baik dalam artian rasa yang serupa atau memberikan kesan yang mirip. Setiap hari di Toko Seniman, setidaknya aku menghabiskan sekitar 5 jam untuk mencatat pengalamanku menonton film dan meminum kopi.
Untuk film, akhirnya aku memilih Berdoa, Mulai dari IR 2023: Jawa Barat dengan programmer Kemala Astika. Berdoa, Mulai bercerita tentang isu agama pada remaja pelajar di kelas menengah perkotaan. Film ini menggambarkan bagaimana menjadi minoritas di tengah berbagai narasi dan aktivitas agama mayoritas yang merasuk pada ruang kelas/publik hingga ruang privat. Kenyataan yang tidak bisa ditolak oleh Ruth, si protagonis utama, sampai akhirnya secara tidak sadar menjalankan laku ala agama mayoritas meski hanya secara fisik, entah secara filosofis.
Kenapa Berdoa, Mulai? Menurutku film ini sangat pas untuk jadi film pendek. Fokus dan cukup elaboratif dalam menyampaikan konflik. Seluruhnya disampaikan dalam bahasa sinematik rapi dan storytelling yang efektif. Sebelum bicara perkara-perkara teknis film lainnya, perkara durational menjadi poin penting dibalik alasanku memilih Berdoa, Mulai. Adakalanya film pendek terlalu pendek, akhirnya penonton gagal menangkap masalah sosial sebagai problem struktural. Atau ada juga yang terlalu panjang. Akibatnya terlalu bertele-tele, membosankan, dan penonton dihajar oleh tumpukan layer konflik yang membingungkan. Sebagai film yang berdurasi 9 menit, Berdoa, Mulai cukup efektif untuk fokus pada satu persoalan dengan layer konflik yang berhasil tersampaikan tanpa kehilangan konteks dan tidak membingungkan.
Poin tersebut sebenarnya berangkat dari hasil obrolanku dengan Edo Wulia, direktur festival Minikino, soal bagaimana film pendek sejatinya menjadi pondasi penting dari keberlangsungan industri film. Singkatnya, jika ruang apresiasi bagi film pendek tidak tergarap dengan serius, industri film sebenarnya berdiri di atas bangunan yang rapuh. Entah karena dihantam pandemi, gempuran film impor, atau pergeseran media menonton. Dari cara Edo bercerita, aku justru menangkap kesan bahwa Minikino memaknai film pendek lebih dari itu. Jika melihat reputasi dan konsistensi Minikino, film pendek bagi mereka adalah sebuah ideologi, sebuah gerakan. Maka dari itu, penting juga bagiku untuk menandai film pendek sebagai film dengan daya ungkap yang khas, bukan sekadar film berdurasi singkat dengan ongkos produksi (yang umumnya) lebih murah. Hal ini pula yang mendasari pilihanku pada Berdoa, Mulai.
Berdoa, Mulai membicarakan tentang agama, sebagai persoalan yang hari ini semakin terang dibicarakan di ruang publik. Cara ungkap film dengan tema minoritas baik dalam artian etnis, ras atau kepercayaan tertentu, biasanya terjebak dalam formulasi yang cenderung klise, apalagi kalau diakhiri dengan ceramah moral soal toleransi. Rasanya problem ini muncul sedikit banyak bersumber dari minimnya representasi minoritas di berbagai media. Persoalan demikian diungkapkan oleh pengamat film Indonesia, Ariel Heriyanto, ketika memberikan ulasan pada film Ca Bau Kan (Nia Dinata, 2005) dan Gie (Riri RIza, 2005). Dalam esai yang berjudul “Kewarganegaraan dan Etnis Cina dalam Dua Film Indonesia Pasca-1998” dalam buku Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca Orde Baru (2012), menyebutkan pasca 98, film dengan tema demikian menunjukkan sulitnya melampaui gambaran stereotip yang dikonstruksi Orde Baru. Sebagai sebuah konstruksi yang oleh Ariel disebutnya sebagai fiksi modern, film seharusnya menawarkan serangkaian pertanyaan dan cara pandang lain pada garis marka identitas.
Nah dalam tantangan semacam ini, Berdoa, Mulai berhasil untuk setidaknya lepas dari jebakan klasik tersebut. Mulai dari kehadiran Ruth sebagai–kalau kata musisi asal Inggris Sting, “Englishman in New York”–di sekolah yg penuh dengan narasi-narasi Islami dari berdoa hingga pelajaran di kelas, hingga suara sholawat yang kehilangan kemerduannya akibat berebut microphone.
Adegan berebut microphone membawaku pada konteks soal bagaimana agama kerap melibatkan kontestasi kuasa soal siapa yang paling memiliki akses pada media yang mampu menyiarkan ‘kebenaran’-nya. Kalau ada waktu, kita bisa googling kasus pengeras suara Masjid. Akan mudah kita temukan bagaimana situasi-situasi yang mengilustrasikan bagaimana agama melibatkan kuasa atas media. Sebuah obsesi pada kekuasaan yang sangat tidak perlu dan justru membuat Islam kehilangan nilai rahmatan lil alamin sebagaimana yang disampaikan ibu guru di Berdoa, Mulai.
Dalam konteks yang lebih jauh, demokrasi hari ini juga sedang digempur oleh serangkaian populisme agama. Melalui buku Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta (2017), Mohammad Iqbal Ahnaf dan Hairus Salim menilai bagaimana intimidasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas menjadi alat mobilisasi kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk mempertahankan basis sosial-politik yang menentukan kendali mereka atas ruang dan sumber daya. Dari risetnya, mereka menunjukkan bahwa angka tertinggi kekerasan terjadi pada kegiataan keagamaan umat Kristen.
Kembali pada pembahasan Berdoa, Mulai, film ini dengan luwes memainkan dialog dan bahasa visual yang menerabas berbagai batas-batas keyakinan. Keluwesan ini membawa penonton pada interpretasi makna dan nilai yang juga ikut luwes tanpa merasa seperti mendengar retorika politisi menjelang hari pemilihan umum. Selain adegan berebut microphone, adegan lain yang memainkan interpretasi penonton adalah ketika ibu guru bicara tentang bagaimana umat Islam yang kerap dicitrakan sebagai pemarah, intoleran dan teroris. Kemudian dilanjutkan dengan shot yang memperlihatkan poster stop merokok karena rokok bagaikan bom waktu yang akan membunuhmu.
Kemudian adegan dialog di kantin soal kenapa Ruth tidak makan babi dan pertanyaan balik dari Ruth kenapa temannya yang seorang muslim minum alkohol tapi menolak makan babi. Serangkaian dialog ini menunjukkan berbagai stereotip dari mayoritas yang melekat pada minoritas. Berdoa, Mulai diakhiri dengan Ruth yang memimpin doa untuk makan bersama keluarga a la Katolik namun diakhiri dengan Bismillahirrahmanirrahim dan disambut dengan tatapan heran anggota keluarga yang lain. Sebagaimana yang aku tulis di awal tulisan, reaksi orang ketika mendengar ucapan seperti itu bisa berbeda-beda. Pengalaman setiap orang bisa berbeda dan punya kekhasannya masing-masing dalam merespon isu semacam ini. Pertemuan dari keberagaman pengalaman ini memanduku memilih cita rasa kopi yang sesuai dengan Berdoa, Mulai.
Pengalaman yang Melampaui Rasa
Ada jenis-jenis perasaan, pengalaman, dan keberpihakan yang memang paling tepat jika diwujudkan dan disampaikan lewat format film pendek. Berdoa, Mulai bagiku adalah contoh terbaik untuk menggambarkan pernyataan yang kumaksud barusan. Berdoa, Mulai adalah film pendek yang pas, tidak tanggung, menunjukkan keberpihakan yang jelas, dan berdiri di atas jalinan lapisan konflik yang tidak menyakiti pikiran. Dengan kata lain, berbagai aspek formal film pendek khususnya pada durasi, menunjukkan nilai esensialnya yang khas. Nilai yang tidak bisa digantikan oleh format film-film lainnya. Apalagi film yang harus bernegosiasi dengan berbagai hal di luar urusan film itu sendiri.
Serupa tapi tak sama, kopi juga bagiku memiliki nilai esensial yang tidak bisa digantikan oleh jenis minuman lainnya. Kopi juga sebagaimana film, dua entitas yang sama-sama dipengaruhi dengan sangat besar oleh intervensi budaya. Tidak jarang bahwa film kadang berhenti pada penemuan cerita/subjek unik. Kopi juga tidak dapat dihidangkan sebagai minuman dengan rasa khas tanpa kemampuan manusia menyampaikan rasa yang ingin dibagi pada penikmatnya. Akhirnya kopi tidak hanya memiliki unsur biologis, tetapi juga kultural dan ekonomi-politik.
Dari sini satu hal yang perlu dicatat, kekhasan dari sebuah kopi bukan dalam rangka menyeragamkan rasa dan cara menikmatinya. Sebagaimana film yang juga memiliki ranah dan ruangnya masing-masing, begitu pula kopi.
Jika Berdoa, Mulai berkisah tentang keberagaman yang merasuk dalam bawah sadar justru membuat kita luwes membolak-balikkan dan melintasi batas-batasnya, kopi juga memiliki ratusan ragam, ratusan peracik kopi, dan juga barangkali ratusan cara menikmatinya. Lantas apa yang terpenting antara keduanya? Kalau menurutku yang terpenting adalah kejujuran untuk menyampaikan rasa pada orang lain, sekaligus keterbukaan pada penerimaan dan ragam apresiasinya.
Sejujurnya, sulit bagiku mencari kopi dengan rasa yang selaras dengan pengalaman menonton Berdoa, Mulai. Ternyata setelah coba kurenungkan lebih dalam, pengalaman paling berkesan selama lima hari residensi di Toko Seniman adalah pengalaman cupping lima jenis kopi bersama Insan pada Jumat, 23 Juni. Adalah Insan, koordinator untuk program residensi dari Toko Seniman, yang menemani selama residensi untuk membantuku mendapat penjelasan lebih lanjut tentang berbagai varian dan olahan kopi. Lima jenis kopi ini adalah Gayo, Toraja, Flores, Bali Tirta, dan Papua. Seluruhnya diseduh tanpa gula dengan air bersuhu 92 derajat celcius.
Cupping atau kegiatan mencicip konsentrat kopi adalah salah satu rangkaian agenda residensi ini. Harapannya, lewat cupping, partisipan dapat menemukan rasa kopi yang sesuai dengan film pilihannya. Tapi tanpa bermaksud membandel dari keinginan Minikino dan Toko Seniman, aku ingin membagi pengalaman lain dengan kopi. Ternyata bukan soal rasa, tapi soal pengalaman yang tercipta dari aktivitas cupping. Ini menjadi pengalaman pertama seumur hidup di mana aku begitu serius dalam menyeruput secangkir kopi. Bukan pada rasa yang sejujurnya sulit aku identifikasi perbedaan satu sama lainnya, melainkan pada cupping menuntut kita melakukan berbagai laku-laku gestural yang khas.
Ingatan ini terpanggil kembali kurang lebih 13 jam setelah cupping, tepatnya pada Jumat jam 23.00, ketika aku ke kamar mandi untuk buang air kecil. Saat itu, ternyata kencingku masih berbau kopi! Aroma yang begitu persis dengan kopi-kopi yang kucoba bersama Insan siang harinya. Ketika isi kepalaku sudah memikirkan hal lain, ternyata tubuhku masih mengingat dengan cukup tajam pengalaman dan perasaan yang terekam ketika cupping.
Nah, pada titik inilah aku menyadari dimensi lain soal bagaimana film bekerja pada pikiran manusia. Sebagaimana pengalaman cupping yang ternyata memorable, menonton Berdoa, Mulai juga memanggil kembali berbagai ingatan dan segudang pertanyaanku tentang spiritualitas dan keyakinan. Pada akhirnya aku menawarkan varian kopi cold brew milky way untuk menemani kawan-kawan menonton dan berbincang soal agama dan keyakinan yang direfleksikan dengan riang gembira. Ada kalanya diskusi perkara ini begitu tegang dan intens. Namun lewat Berdoa, Mulai kamu dapat memanggil kembali kehangatan, keramahan, dan penerimaan pada berbagai perbedaan.
Penutup
Selama ini kita kerap membicarakan kopi pada soal rasa. Pun tidak jarang membicarakan film dari kesan-kesan yang muncul seketika. Dari residensi ini aku belajar hal baru, bahwa rasa tidak pernah hadir dari ruang hampa. Barangkali indrawi kita bisa dikelabui oleh berbagai sugesti soal rasa, tetapi tubuh dan ingatanmu akan merekam hal-hal yang kerap luput dari perhatian. Yaitu bagaimana segala penilaian kita atas rasa bekerja dalam struktur dan konstruksi sosial.
Nonton dan ngopi, dua aktivitas ini bisa membawa kita pada dimensi pengalaman yang lebih dalam. Memeriksa dan memungut kepingan memori yang tercecer, berserak dan diabaikan. Laku ini yang aku ibaratkan sebagai ngasak. Ngasak adalah Bahasa Jawa yang berarti mencari sisa padi hasil panen. Nonton dan ngopi adalah sebuah kerja ngasak berbagai hal yang sering luput dari pembicaraan tentang kebudayaan dan identitas yang selama ini melulu ditafsirkan oleh kepentingan pasar.
Discussion about this post