Enam film pendek dalam Omnibus 15 dengan tema ‘Kearifan Lokal’ diputar dalam acara khusus di Denpasar Cineplex pada hari Minggu, 19 Februari 2017, pukul 9 WITA. Tim penyelenggara menyewa salah satu dari lima studio yang tersedia dan tiket dijual separuh harga. Penonton yang hadir kebanyakan adalah kalangan sendiri, teman-teman atau sanak saudara para pembuat film. Penjualan tiket separuh harga menyisakan beban biaya lainnya, yang ditanggung dalam bentuk subsidi dari sebuah kelompok bernama BALE INSPIRASI.
Keputusan menyewa gedung biokop ini dilakukan sepenuhnya atas swadaya, dan merupakan inisiatif mahasiswa. Hal ini baru pertama kalinya diadakan oleh mahasiswa jurusan film dan televisi ISI Denpasar angkatan 2015, untuk menampilkan karya tugas kuliah penyutradaraan mereka.
Pada sore yang sama seusai pemutaran, penulis mendapat kesempatan untuk duduk dan berbincang-bincang bersama dengan para panitia sekaligus tim produksi. Melalui Dhita Helvinda Resty (Ketua panitia), Ni Putu Cempaka Ary Suandayani (Fundraising) dan I Gusti Made Sentana Putra (Seksi keamanan) terbaca refleksi pengalaman mereka atas acara apresiasi karya film pendek mahasiswa pada hari itu.
Motivasi penayangan karya film tugas kuliah di gedung bioskop merupakan sebuah usaha pencarian jawaban atas kegelisahan mereka terhadap lapangan pekerjaan profesional seusai kuliah, serta identitas profesi yang masih samar. Penayangan film pendek ini juga disebut sebagai upaya untuk memberi apresiasi pada diri sendiri dan diharapkan untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri.
Film pendek yang mereka pilih ditayangkan di bioskop dianggap sebagai suatu pencapaian, dengan melihat tiket dijual dan habis. Karena sebagian besar untuk kalangan sendiri (teman, keluarga, guru, beberapa kenalan) maka sifat pemutaran film pendek ini bisa dikategorikan apresiasi internal dari tim produksi.
Inisiatif dan kerja mahasiswa mengorganisir acara pemutaran pada tempat pemutaran yang layak dan baik tentunya sudah tercapai. Namun akan jauh lebih baik dan memberi dampak yang positif bila isolasi akses terhadap karya-karya mahasiswa ini dapat dibuka dengan berbagai cara yang lain juga. Misalnya dengan mengadakan pemutaran dan diskusi yang melibatkan dan lebih mendekat kepada masyarakat umum. Tentu saja dengan tujuan agar para calon pembuat film dan program televisi ini semakin terbiasa bertukar pikiran, mendengar masukan, dan berkesempatan mencerna kritik yang lebih nyata dan tidak berpihak atau sekedar protokoler.
Kualitas teknis karya film pendek para mahasiswa ini menjadi lebih disadari ketika ditayangkan di layar lebar dengan sistem audio yang memang dirancang untuk studio bioskop. Hal-hal teknis dalam produksinya, artistik, busana dan warna serta audio menjadi lebih detail, lebih jelas dan cepat dikenali kasat mata. Hal ini pasti berdampak positif untuk pengalaman para mahasiswa. Namun kesadaran akan kualitas dari karya film pendek fiksi pada sisi ide, konsep cerita, ritme, akting dan konsep editing ini nampaknya memang tetap merupakan sebuah pekerjaan rumah tersendiri yang selayaknya merupakan tantangan dari institusi tempat mereka menuntut ilmu.
Tema ‘Kearifan Lokal’ adalah tema besar yang diwajibkan oleh pengajar mata kuliah penyutradaraan film mereka. Namun sayangnya, secara hampir seragam semuanya menafsirkan tema tersebut dengan vulgar dan dangkal, dengan menampilkan isu retribusi dan hukuman, semuanya dari sisi pandang tradisi adat. Seluruh karya mereka menampilkan kekhawatiran, kutukan adat dan mistis dan dengan aturan-aturan yang dogmatis, hukum-hukum tradisi yang tidak untuk dipertanyakan. Kenyataan bahwa kisah ini lahir dari para mahasiswa seni, mungkin bisa dijadikan sebuah peringatan, semacam lampu kuning untuk mengenali kebutuhan yang sudah sangat mendesak untuk penyediaan referensi literatur dan karya-karya film yang berkualitas, dan lebih jauh adalah ruang diskusi yang jujur dan terbuka untuk mengupas suatu permasalahan.
Omnibus dibuka dengan sebuah kisah tentang seorang pemuda mencari kebenaran tentang seorang nenek yang digosipkan menguasai ilmu hitam oleh masyarakat (‘AMPURA’, sutradara: I Kadek Yuliana Putra). Film pembuka ini mengalir cukup menghibur dan rasanya bisa berhenti dengan manis pada saat rolling end-credit title, sayangnya tetap ada keusilan untuk mengakhirinya dengan adegan tambahan bumbu gaib dan kutuk, khas gaya film horror.
Dari enam film yang ditayangkan, semua kisah berfokus pada tema hubungan manusia dengan alam gaib, dan hanya 1 film (‘NYAME’, sutradara: I.B Kade Dwi Widyautama) yang menampilkan hubungan horisontal persaudaraan antar sesama manusia.
Kisah lainnya di film ‘IWANG’ (sutradara: Kadek Mahendra) tentang pemuda yang tidak peduli dengan makna banten yang dihaturkan di Padmasana dan akibat dari kelakuannya tersebut. Ketakutannya menjadi alasan untuk bersikap patuh. Teguran gaib dalam bentuk mimpi menjadi solusi yang gampang, jalan keluar yang pintas di narasi ini.
Di film lain, ‘SAIBAN’ (sutradara: Gusti Rai Tisno Astawan) mengambil setting rumah dan suasana desa. Seorang remaja pria hampir lupa dengan tradisi mebanten (menghaturkan)
saiban atau nasi yang baru matang, disisihkan sedikit untuk dihaturkan. Akibatnya, hal aneh dan gaibpun terjadi. Walaupun tata artistik film ini cukup baik namun sekali lagi fenomena yang tak dapat dijelaskan akal dan tidak dijelaskan kepada penonton, disodorkan menjadi satu-satunya jawaban dan panduan untuk mencapai kedamaian hidup. Pesan kearifan lokal yang tersampaikan dengan cara kanak-kanak, bahwa kalau lalai melakukan ritual kita akan diganggu kejadian gaib yang tidak menyenangkan. Titik.
Di film yang lain, seorang gadis gagap menaruh gerabah di pelinggih (tempat bersembahyang Hindu Bali) berharap akan ada embun, yang nantinya akan di minum untuk menghilangkan gagap. (‘TOYA DAMUH’, sutaradara: I. B. Giri Semaraputra). Film berakhir dengan sederhana dan bahagia, sang gadis diberkati Yang Maha Kuasa dan sembuh secara gaib.
Dalam film penutup ‘TAKSU’ (sutradara: I Wayan Adhitya Pratama) mengangkat kisah seorang seniman tabuh tradisional di era globalisasi masa kini, yang di pandang rendah oleh temannya yang memilih bekerja di industri pariwisata. Sayangnya kearifan lokal sekali lagi diterjemahkan sebagai sesuatu yang hitam putih. Seniman yang setia pada seni tradisinya namun tidak memiliki penghasilan pantas, akhirnya mendapat ‘hadiah’, dan sebaliknya bagi yang tidak melestarikan tradisi budaya akan ‘kurang beruntung’. Kemudian, digambarkan tokoh yang memberi hadiah adalah seorang karakter ‘bule’ asal Kanada yang ternyata mengagumi budaya Bali. Dengan kualitas pemeranan dan produksi yang pas-pasan, karya ini disuguhkan dengan penuh harapan, baik oleh pembuatnya, maupun programmer yang mempersembahkan film ini sebagai penutup program pemutaran hari ini.
Dari keenam film tersebut, kearifan lokal ditampilkan dengan menonjolkan lokalitas secara vulgar, dengan menggunakan bahasa daerah, ritual kebudayaan, mitos yang semuanya direduksi menjadi dongeng anak-anak yang dipenuhi ancaman dan ketakutan akan hukuman, dan hadiah bila bersikap patuh tanpa bertanya. Solusi sederhana dan tidak usah dipertanyakan. Benarkah kearifan lokal seperti ini yang dihayati para mahasiswa? Atau lebih jauh, apakah film seperti ini yang lebih diminati dan dicari oleh masyarakat penggemar film?
Dalam kearifan lokal selayaknya terdapat filosofi hidup dan nilai-nilai moral yang dapat direnungkan dan didiskusikan. Sikap menghargai, tanggung jawab, kerjasama, saling menolong, keteguhan hati, kepedulian, empati, kejujuran, inovasi, kebanggaan, toleransi, kedewasaan sosial, termasuk pergesekan yang terjadi ketika berhadapan dengan globalisasi. Memasukkan nilai-nilai tersebut ke dalam ide cerita yang ada di keenam film tersebut bukanlah hal yang sulit dilakukan, namun tentu saja membutuhkan proses perenungan, pendalaman dan pengembangan ide yang kreatif.
Ketika semua yang ditampilkan melalui kisah-kisah retribusi dan hukuman yang sifatnya dogmatis, maka patut dipertanyakan alasannya. Apakah ini bisa dibaca sebagai sebuah keterbatasan akses terhadap referensi karya-karya Nasional lainnya yang belakangan mulai menggeliat dan mengumpulkan prestasi yang diakui dunia, dan juga akses pada film-film pendek Internasional lainnya yang lebih luas dan berkualitas? ataukah ada kondisi lain yang jauh lebih memprihatinkan daripada sekedar itu.
Kalau lulusan seperti ini masuk ke industri televisi, apakah yang mungkin terjadi? Indonesia dengan jumlah penonton sinetron yang dianggap paling banyak, selain acara komedi, kuis, games, talk show dan musik, maka muncul rasa penasaran yang besar, bagaimanakah para calon pencipta program televisi ini bisa ikut berpartisipasi untuk menciptakan masyarakat yang lebih kreatif dan kritis? Sebuah usaha yang tidak mudah dan perlu dibangun sedini mungkin.
Omnibus 15, Kearifan Lokal Melalui Karya Film Pendek Mahasiswa Film Dan Televisi ISI Denpasar.
ditulis oleh Fransiska Prihadi, April 2017
(sumber foto: omnibus-15)