“Land is becoming a very scarce and costly commodity in Singapore. Therefore, it is imperative that all available land is put to the most advantageous use for the benefit of the people of Singapore. Swamps and wastelands, therefore, have to be reclaimed.”
– Perdana Menteri Pertama Singapura, Lee Kuan Yew di hadapan Majelis Legislatif, 10 Juni 1964
Sebagai negara terkecil di Asia Tenggara, dan negara kedua terkecil di Asia (setelah Maladewa), luas wilayah Singapura tidaklah sebanding dengan ambisi pembangunannya. Inilah mengapa wilayah Singapura terus menerus meluas. Sejak tahun 1960, wilayah Singapura meluas sekitar 25%, sebagian besar melalui proyek reklamasi, atau alih fungsi rawa, sungai, dan lahan pantai menjadi daratan (salah satu yang paling terkenal adalah Pulau Sentosa, yang sekarang menjadi pusat pariwisata dan hiburan).
Ambisi modernisasi tidak sekadar ambisi milik Singapura, melainkan merupakan paradigma yang berlaku secara global. Lalu, apa alasan sebuah negara berlomba menjadi yang paling modern? Modernisasi seringkali dilihat sebagai praktik paling jitu untuk membawa kemajuan bagi masyarakat, untuk merubah yang miskin menjadi kaya, dan yang terbelakang jadi beradab.
Tetapi, di balik setiap praktik modernisasi, selalu ada konsekuensi tentang, apa yang ditindih dan dikorbankan. Dalam konteks Singapura, film dokumenter pendek One Day in Lim Chu Kang (Michael Kam, 2022) berhasil menangkap praktik modernisasi dengan pendekatan yang menarik.
Film ini merekam Lim Chu Kang, sebuah distrik di Singapura yang pada pandangan pertama, tidak sesuai dengan pesona yang muncul saat kita membayangkan Singapura. Pemandangan Lim Chu Kang didominasi oleh lahan hijau yang dimanfaatkan untuk peternakan, pertanian, dan juga lahan kuburan. Di Lim Chu Kang, gedung-gedung pencakar langit ikonik Singapura hanya terlihat mungil di kejauhan. Namun, keunikan ini tidak membuatnya imun dari dampak upaya modernisasi, yang tengah mengubah Lim Chu Kang menjadi pemukiman urban.
One Day in Lim Chu Kang membawa penonton ke dalam situasi spesifik yang dialami oleh pembuat film, Michael Kam, dan kedua orang tuanya. Berlokasi di tengah lanskap hijau distrik Lim Chu Kang, mereka tengah melakukan penggalian kubur seorang kerabat yang terancam tertindih oleh sebuah proyek pembangunan besar. Ekshumasi ini dilakukan pada siang bolong, di hadapan traktor-traktor ekskavasi yang seakan-akan menunggu di kejauhan. Bersama-sama, mereka menyaksikan seorang pekerja penggali kubur menggali kembali jasad leluhur mereka dan meletakkan sisa-sisa tulang yang sudah rapuh dan menghitam ke dalam sebuah ember plastik.
Secara langsung dan nyata, film ini mendokumentasikan ketercabutan yang hinggap akibat modernisasi. Kultur, seperti halnya pemakaman tradisional, penghormatan terhadap leluhur yang kuat dalam kultur Hokkien menjadi kabur karena adanya praktik modernisasi yang tumpang tindih. Sejarah atas wilayah akan perlahan-lahan menghilang. Hilangnya jejak ini membuat banyak identitas tak lagi terepresentasi dalam tanah mereka sendiri. Membuat mereka merasa asing, serta kehilangan akar di tempat yang selama ini mereka sebut sebagai rumah.
Hal ini sejalan dengan apa yang coba disorot oleh One Day in Lim Chu Kang. Film ini tak berusaha untuk mengkritik keberadaan modernitas itu sendiri, melainkan memfokuskan kamera terhadap aspek yang sangat pribadi, yakni keluarga, dan bagaimana kehidupan pribadi sang sutradara, dan mungkin banyak orang Singapura lainnya, terpengaruh secara langsung oleh modernitas.
Keputusan Michael Kam untuk merekamnya menggunakan kamera seluloid Super 8 juga memperkuat pengalaman menonton. Hasilnya, imaji film memberikan kesan nostalgia yang kuat, menyajikan komentarnya soal modernisasi melalui sudut pandang dan kualitas gambar yang khas dengan masa lalu. Selain itu, stok film Super 8 pada akhir tahun 60-an terutama dipasarkan sebagai pilihan bagi keluarga untuk membuat film-film rumahan. Hal ini secara tak langsung memperkuat gagasan bahwa tindakan ini sangat pribadi dan berkaitan erat dengan keluarga.
One Day in Lim Chu Kang berkomentar soal modernisasi Singapura dengan cara seefisien mungkin. Dalam durasi hanya 4 menit, setiap potongan shot dan kontribusinya terhadap gagasan sang pembuat film dirancang untuk menciptakan kesatuan yang puitis. Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah bagaimana film ini menjukstaposisi gambar penggalian makam seorang leluhur, suatu hal yang sangat personal dan emosional, dengan eskavator-eskavator industrial yang juga sedang menggali. Di mana melalui penggaliannya masing-masing, Kam dan keluarganya menggali dari masa lalu, sementara eskavator menggali untuk masa depan. Hal ini menghadirkan dua pandangan berlawanan tentang cara manusia melihat dan memanfaatkan tanah, pada tanah yang sama.
Meskipun modernitas dan tradisi muncul di arena yang sama, yaitu pemakaman Lim Chu Kang, film ini mengakui bahwa pertarungan ini bukanlah sebuah persaingan yang adil. One Day in Lim Chu Kang tak ragu untuk menegaskan sisi mana yang terpaksa kalah dan menyerah. Bahwa pada dasarnya, gejala dari modernisme adalah tergesernya tradisi, dan lewat pengalaman Michael Kam dan keluarganya, sebuah makam, sebagai tempat di mana mereka mengenang masa lalu, kesannya tidak lagi memiliki tempat di dunia yang terus memandang ke depan.
Discussion about this post