Kekuatan sebuah film ada pada visual dan ceritanya. Rasanya itulah esensi utama sebuah karya film, setidaknya yang ada di benak setiap filmmaker dan penonton film pada umumnya. Cara menikmati film yaitu dengan cara menonton dan menikmati suguhan jalan cerita lewat visual yang memanjakan mata dan imajinasi.
Film secara umum dibuat dan dinikmati dengan cara seperti itu. Namun, ketika ada tawaran film radio untuk dinikmati kelompok marjinal tertentu, karya film didorong melewati pemahaman umum. Walaupun berusaha tetap menyampaikan cerita yang sama, namun konteksnya jadi berbeda.
Menghadirkan karya film kepada penonton dengan gangguan penglihatan dan penyandang disabilitas netra mungkin tak terpikirkan oleh orang awam dan pelaku sinema sekali pun. Penonton kategori ini adalah kelompok yang kehilangan akses pada informasi visual dalam film. Orang-orang dengan gangguan penglihatan bergantung sepenuhnya pada fitur deskripsi audio, untuk menerima informasi visual yang dibutuhkan agar mendapatkan detail yang tampil di layar. Meskipun dalam bentuk yang tak utuh, tapi setidaknya sebuah film yang merupakan karya audio visual jadi bisa menjangkau kelompok penonton berkebutuhan khusus ini. Karya yang sama, namun dalam versi non-visual.
Pada tanggal 3 Desember 2023 lalu, bertepatan dengan hari disabilitas internasional, film radio pertama mengudara di Indonesia. Film tersebut adalah film pendek “Jemari yang Menari Di Atas Luka-luka” karya sutradara Putri Sarah Amelia yang meraih penghargaan kompetisi nasional di Minikino Film Week 6 dan film cerita pendek terbaik FFI tahun 2020. Inisiasi luar biasa ini terlaksana berkat kerjasama antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Radio Republik Indonesia (RRI) Pro1 dan Yayasan Kino Media yang menaungi berbagai kegiatan Minikino. Ide penyiaran film di radio yang dicetuskan Edo Wulia (Direktur Minikino) disambut baik oleh Amin Shabana, anggota Komisi Penyiaran Indonesia yang dikenal menaruh perhatian khusus pada aksesibilitas penyiaran kepada kelompok disabilitas. Bagai bola salju yang menggelinding membesar, berlanjut pada dukungan KPI, dan akhirnya Radio Republik Indonesia.
Edo Wulia, dalam sebuah wawancara terpisah, menekankan bahwa “Kami sekadar belajar dari wawasan sejarah film dunia. Film radio ini bukanlah ide baru. Pada pertengahan 1920an di Amerika Serikat, penyiaran film di radio merupakan salah satu strategi promosi. Ketika sebuah film diputar di bioskop, secara bersamaan suaranya disiarkan di radio dan menjadi bagian dari acara radio. Ini terjadi di masa transisi film bisu ke film yang bersuara.” Edo menegaskan bahwa ia hanya menghidupkan kembali ide yang mungkin sempat dilupakan beberapa dekade lalu.
Tak butuh waktu lama sampai ketiga organisasi ini sepakat mewujudkan program film radio untuk menjadi program siaran nasional yang berlanjut. Dan pada Senin, 1 April 2024, pada pukul 11 WITA yang lalu, saya, beserta dua pengisi audio description dengan disabilitas netra lainnya yaitu Surya Manuaba dan Iwan Cahyadi, juga bersama Edo Wulia, kami berempat hadir daring dalam acara talk show di RRI Pro 1 91,2 FM. Film yang diputar dan dibahas dalam kesempatan ini adalah film pendek Bising, Chorus of The Wounded Birds besutan sutradara Amar Haikal.
Saya memberikan apresiasi yang teramat besar kepada semua pihak yang mencetuskan dan menjalankan program film radio ini, baik dari Minikino, KPI, RRI, dan juga kepada semua filmmaker yang telah menyediakan film mereka untuk diisi deskripsi audio, sampai akhirnya disiarkan di RRI. Selain membuka pintu baru menuju industri sinema Indonesia yang lebih inklusif, program ini juga mengedukasi banyak pihak untuk meninjau berbagai kemungkinan cara untuk menikmati sebuah karya film.
Saya adalah seorang penggemar film dengan disabilitas netra yang selalu berusaha mengakses film-film sebanyak mungkin. Dengan atau tanpa deskripsi audio. Bagi penonton non visual seperti saya, karya film tetap memiliki banyak aspek yang dapat saya apresiasi. Film selalu menjadi pengalaman unik yang tak akan pernah saya dapatkan melalui wahana lain. Bagi saya, karya film sendiri sudah berangkat dengan “sesuatu” yang ingin disampaikan oleh para sineasnya dalam seni bercerita, seni peran, rancangan suara, dan berbagai aspek lain yang tak bisa disamakan dengan wahana lain.
Walaupun mengakses karya film hanya melalui audio description, saya tetap menikmatinya dengan sepenuh hati dan akan selalu ingin berkomentar pada hal-hal yang memang valid untuk saya suarakan. Hal ini tidak berarti mengecilkan karya sinematik itu sendiri, sebab saya percaya bahwa setiap penonton pun berhak mengambil porsi dan menikmatinya sesuai dengan kemampuan mereka.
Kesadaran untuk mendorong aksesibilitas film Indonesia bagi penyandang disabilitas netra masih minim, baik dalam regulasi pemerintah mau pun wawasan pelaku sinemanya. Sejauh pengamatan saya, film dengan fasilitas audio description (AD) sebetulnya sudah mulai disadari keberadaannya di salah satu layanan streaming digital yang cukup populer di Indonesia. Walaupun terbatas hanya untuk serial atau film Indonesia produksi resmi mereka, jumlahnya sangat sedikit bahkan tidak ada pilihan AD untuk film Indonesia setelah distribusi layar lebarnya berakhir dan di tayangkan di layanan OTT ini. Saya menduga keberadaan kelompok disabilitas netra yang berlangganan mungkin hanyalah setitik kecil dari pasar mereka, namun bila ada aturan pemerintah tentang layanan siaran publik pasar Indonesia, mungkin saja sinema bisa didorong agar dapat dinikmati semua orang tanpa terkecuali.
Membuat karya menjadi inklusif adalah sebuah pilihan. Para sineas selalu punya pilihan ini untuk menghadirkan karya mereka untuk kelompok termarginalkan dan menjadi semakin bermakna. Harapan saya adalah agar lebih banyak lagi karya film bisa dikondisikan untuk dinikmati oleh penonton dengan gangguan penglihatan dan disabilitas netra, mungkinkah?
Saya berharap tulisan ini bisa menarik perhatian lebih banyak lagi para pemegang keputusan dan pelaku industri sinema Indonesia. Semoga mereka bersedia mempertimbangkan kelompok disabilitas netra sebagai sekelompok konsumen tambahan lagi, di mana mereka bisa menghidangkan karya-karya film ini lebih jauh, dengan menambahkan fitur deskripsi audio. Dan menyadari bahwa inilah gerak distribusi film yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan.
Discussion about this post