Sebagai salah satu peserta Minikino Hybrid Internship Program for Film Festival Writers 2024, saya berkesempatan untuk menghadiri sesi diskusi dengan sutradara film Soul Boy (2010) secara daring. Sebelum sesi diskusi yang berlangsung pada 19 April 2024, saya diberi akses khusus untuk menonton film Soul Boy. Menonton sebuah film yang diproduksi di Kenya, Afrika ini menjadi pengalaman yang menghibur sekaligus memberikan kesempatan untuk mengintip fragmen kehidupan Kibera, sebuah slum area di Kenya.
Soul Boy ditulis dan disutradarai oleh Hawa Essuman, sutradara asal Nairobi, Kenya, yang telah berkecimpung di dunia perfilman selama hampir 20 tahun. Ia juga aktif membuat pop up masterclass tentang perfilman bagi pembuat film muda di Afrika. Such an inspiring woman indeed! Hal yang juga menginspirasi dari Hawa adalah kesadarannya atas ekosistem perfilman di Afrika Timur, ia membuat film untuk menonton representasi atas diri mereka sendiri di layar sepenuhnya.
Kesadaran tersebut ditegaskan oleh Hawa menjadi landasan cultural confidence, yaitu suatu istilah untuk menggambarkan realitas yang dicerminkan oleh dirinya sendiri, oleh komunitasnya sendiri, untuk dilihat juga oleh mereka sendiri. Adanya kendali atas narasi, memampukan pembuat film untuk memahat film-film yang memantik kebanggaan dari pihak yang direpresentasikan. Lebih jauh ia bisa memberikan perspektif segar akan bagaimana rupa sebuah komunitas beserta kebiasaan maupun ritual-ritualnya.
Cultural Confidence dalam membuat film
Hawa Essuman menyebut nama-nama sutradara tersohor seperti Wim Wenders, Jim Jarmusch yang menurutnya sukses membawakan elemen cultural confidence ini. Sutradara yang hebat pandai mengartikulasikan diri mereka sendiri, di mana mereka dapat berbicara tentang orang lain dalam bahasa mereka sendiri. Perjalanan dalam mengartikulasikan bahasa-bahasa ini perlu ditempuh dengan adanya pemahaman dan gairah yang tak terbatas dalam mengkonstruksikan kampung halaman maupun komunitasnya.
Namun, selama ini kita hanya mengenal sutradara yang mayoritas berasal dari Amerika dan Eropa. Ada aspek penting dalam cultural confidence yang diusung oleh Hawa, yaitu poin di mana ada ketimpangan di industri perfilman bagi kelompok BIPOC (Black, Indigenous, People of Color — atau Orang Kulit Hitam, Berwarna, dan Masyarakat Adat). Ketimpangan ini berupa representasi yang kurang, penggambaran stereotipikal atas identitas, adanya bias sistemik yang mendiskriminasi, dan kurangnya akses ke peluang di industri. Oleh karena itulah, Hawa merespon dengan membuat film untuk dirinya, komunitasnya, oleh dirinya yang dilahirkan di rumahnya. Menyuntikkan elemen-elemen yang mengandung cultural confidence sama saja dengan merayakan budaya dan bahasa kita untuk bisa disimak secara komprehensif.
Tentu saja ini bukanlah tugas yang mudah. Butuh percobaan berulang kali dalam menerjemahkan sekaligus menginterpretasikannya dengan bahasa-bahasa yang kita ketahui. Kegagalan akan terjadi berulang kali. Acap kali, konsistensi menjadi satu-satunya jalan bagi kita untuk bersabar dan meyakini bahwa suatu hari perayaan akan cerita-cerita yang kita pahat ini akan tumbuh di suatu hari nanti. Lantas bagaimana cultural confidence ini bisa relevan dan menjadi dekat denganku yang tinggal di sebuah kota industri yang selalu siap untuk melahap orang-orang di dalamnya?
Refleksi terhadap Kota Surabaya: Metropolitan Serba Nanggung
Tinggal di Surabaya mengizinkan saya untuk merasakan teriknya matahari berkali-kali lipat dari kota lain yang pernah saya tinggali atau singgahi. Tak bisa dipungkiri pula bahwa keramaian selalu ada. Tapi, kota ini tidak pernah bersinar sebagai sesuatu yang lebih dari kota industri yang hanya diperuntukkan untuk mencari nafkah demi menghidupi diri atau keluarga. Lantas di malam hari, pendar kilau cahaya yang timbul dari kendaraan-kendaraan yang berada di lalu lintas yang kian hari kian padat, menyadarkan kita bahwa kita sama saja dengan orang-orang yang ada di sini: melaju untuk bertahan hidup.
Tentu saja yang tak boleh luput ialah realita yang tersembunyi di balik gedung-gedung kokoh yang menjulang: kampung-kampung yang terbalut oleh sejarah dan perjuangan kini telah direbut petak demi petak demi sampul Surabaya yang perkasa. Komodifikasi ruang hidup tidak segan untuk digencarkan. Ada kontras yang begitu kentara acap kali saya melintasi ruas jalan raya yang lebar dan dipenuhi oleh roda-roda kendaraan pribadi, kemudian berbelok masuk ke dalam gang sempit yang dirayakan oleh anak-anak yang menendang bola kesana kemari bersama temannya dengan tawa renyah di tengah jalan.
Surabaya sebagai kota metropolitan, kota terbesar yang kedua setelah Jakarta, punya cerita khasnya sendiri, yang selama ini mungkin disadari atau tidak oleh mereka yang mengamati lamat-lamat setiap sisi kota ini, yakni, serba nanggung. Di sini stabilitas itu jauh lebih penting daripada segalanya. Masa bodoh menjadi the top of it all, mediocrity is something acceptable here. Datang untuk bertahan hidup, menjalani kehidupan dengan hubungan transaksional. Bekerja untuk mendapat uang, uang dicari untuk bertahan hidup. Belum lagi, apa yang sudah eksis di Surabaya memang kurang maksimal. Hal-hal dasar seperti sistem transportasi umum yang integrasinya masih berantakan, akses pejalan kaki yang kurang inklusif dan belum merata menjadi beberapa faktor yang dapat memberi gambaran atas nanggung-nya Surabaya. Tentu saja kenyataan atas fakta tersebut turut mendukung adanya kebiasaan masyarakat Surabaya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kebiasaan-kebiasaan ini dapat diangkat menjadi elemen cultural confidence dengan medium film.
Membingkai Surabaya melalui Film Pendek: Perlawanan yang Tidak Biasa
Di sisi lain, Surabaya punya sejarah sinema yang panjang. Bioskop-bioskop tersohor pernah berdiri di sini pada era Orde Baru. Setelah sinepleks mengambil alih pasar, bioskop lainnya terpaksa gulung tikar. Tetapi arek-arek Suroboyo tidak menyerah dan manut begitu saja pada bergelimangnya emas yang ada dalam industri sinema arus utama. Mereka memahat karyanya dalam zona baru yang menggugah. Film pendek seperti Gundah Gundala (2013) oleh Wimar Herdanto menjadi wadah eksperimental yang menuangkan realitas ke dalam narasi fiktif kisah superhero lokal dengan superhero franchise mancanegara yang terkenal dalam menyikapi peristiwa sosial budaya: film ini bercerita tentang Gundala, seorang superhero lokal yang tidak terlalu signifikan eksistensinya kalah dengan Batman yang notabene merupakan superhero naik daun asal luar negeri berhasil melebarkan sayap bisnisnya dengan berinvestasi di Bali.
Lalu ada film pendek Bayang Bayan (2017) oleh Reno Surya menceritakan tetang resistansi warga Tambak Bayan yang diancam untuk digusur lahannya serta pentingnya solidaritas warga dalam melawan juga mencerminkan bentuk cultural confidence di Surabaya yang masih terjengkang dengan masalah penggusuran di balik hingar bingar gedung pencakar langit yang sering tampil di media audio visual ala company profile. Lain lagi, Hitler Mati di Surabaya (2023) oleh Dhamar Gautama memantik pertanyaan-pertanyaan tentang makna kejujuran dan bertahan. Ketika seorang penjaga kuburan yang ingin mengajak keluarganya berjalan-jalan ke Kenjeran terjebak dalam masalah finansial dan mengharuskannya cosplay jadi Hitler berbekal kostum militer yang ia pinjam dari Pak Lurah. Judul-judul tersebut dengan senang hati saya rekomendasikan kepada para kawula yang berminat pada pergerakan ekosistem film pendek di Surabaya. Mereka menjadi referensi yang tepat untuk menemukan sisi cultural confidence dari Kota Surabaya karena mereka mengupas sisi-sisi Surabaya yang tadinya terkesan serba nanggung itu menjadi lebih berkarakter.
Memahat Kota dalam Cerita: Konsistensi dan Kepekaan Tinggi
Berulang kali saya memikirkan konsep cultural confidence ini setelahnya. Ada keterkaitan dalam diri untuk mengartikulasikan kekhasan dalam kota yang saya tinggali, namun ragu karena ada ketakutan untuk meromantisasinya secara klise.
Cultural confidence dicapai dengan membingkai keseharian, karena sesungguhnya kehidupan sehari-hari dapat mencerminkan konteks sosial, politis, dan kultural. Yakni bagaimana subjek menafsirkan suatu fenomena yang biasa saja menjadi sesuatu yang spesial atau bahkan mempunyai makna di luar batas konvensional. Contohnya usaha untuk menangkap imaji dan narasi dengan sudut yang tidak terpikirkan secara lumrahnya. Kemampuan ini tidak muncul dengan sendirinya. Dalam membingkai rutinitas yang terkesan membosankan menjadi sesuatu yang bermakna, kita sebagai pengarang tentu wajib memiliki kemampuan untuk meresapi sekitar dengan kepekaan tinggi. Harapannya, bingkaian tersebut akan mampu mengajak kita semua untuk mempertanyakan kembali aspek kehidupan yang sebelumnya dianggap sepele, serta menyingkap usaha bertahan dan melawan dalam keseharian.
Konsumsi media yang terlalu nyaman berada di status quo, yaitu ketika audiens mengonsumsi media secara pasif—dalam artian hanya mengonsumsi sesuatu yang sifatnya menghibur dan menghindari media dengan isu politis, menelannya begitu saja tanpa mengkritisinya—dapat menjerumuskan kita untuk sekedar meromantisasi belaka. Meromantisasi tentu dapat menjebak penulis akan masalah sistemik yang sedang melanda alih-alih mendorongnya sebagai medium yang dapat mendorong agensi publik, atau minimal menimbulkan kesadaran untuk dapat menyadari permasalahan. Film sebagai medium komunikasi sangatlah berpotensi untuk menumbuhkan kepedulian dan kesadaran atas apa yang terjadi, apa yang salah, apa yang harus dibenahi. Bisa dikatakan, film sudah tidak hanya berpengaruh ke kehidupan saja, namun ialah kehidupan itu sendiri; cerita-cerita dari mereka yang belum sempat tersampaikan.
Discussion about this post