Menjadi seorang kreator (pencetus gagasan, pencipta) merupakan sebuah tugas mulia nan berat. Mulia karena merupakan fase penterjemahan ide yang ada di kepala menjadi sesuatu yang ada. Berat karena hasil dari penciptaan tersebut kemudian bersua dengan masyarakat banyak dan mengundang berbagai wacana baru yang tercipta. Bung Hatta pernah berkata, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.” Ujaran ini kini ramai digunakan dalam kaitannya melihat kejujuran sebagai landasan utama untuk membuat bangsa menjadi lebih baik. Namun yang penulis ingin tekankan adalah poin pertama dan kedua. Belajar dan pengalaman. Korelasinya dengan kreator tentu adalah waktu dan energi yang dikorbankan untuk menjadikan ide menjadi ada. Sebuah pola pembelajaran sehingga nantinya kreator bisa menjadi cerdas dan cakap dalam sumbangsihnya memberi karya kepada kehidupan.
Sebuah ide akan dapat di apresiasi ketika mampu direalisasikan. Terlepas dari penilaian subjektif karya tersebut apakah menarik atau mampu menyajikan sesuatu yang baru (walau disini beberapa orang yang berucap belum mampu mendefinisikan secara konkret, baru yang seperti apa yang di inginkan nya), tapi kembali, penilaian ide yang direalisasikan itu yang utama. Itulah produknya. Tidak masalah dalam beberapa penilaian masyarakat akan ada yang setuju terhadap kehadiran produk tersebut atau tidak. Produk / karya inilah yang akan menjadi bukti pencapaian para kreator. Sungguh sangat tidak elok ketika seseorang hanya beretorika manis tanpa menghasilkan sesuatu dalam hidupnya. Atau memberikan pendapat pedas nan ganas tanpa pernah meng-upgrade hasil karyanya. Omi Komaria Madjid, istri dari Nurcholih Madjid (Cak Nur) pernah mengatakan bahwa dalam agamanya, apresiasi dan penghargaan itu berbasis karya atau amal. Karenanya setiap orang mesti berkeringat dan berpuluh kinerja dengan karya dulu.
Kembali pada penilaian. Memang tidak ada suatu aturan yang mengharuskan seseorang menilai dan mengkritik dengan cara yang khusus. Biasa mengkritik destruktif atau bisa mengkritik sekaligus mengkonstruksi (membangun). Masih terngiang dalam ingatan saya ketika beberapa orang yang memberikan pendapat mengadakan tidak setuju pada suatu ujaran, “Kenapa sih kalau mau mengkritik selalu ditanya sama pembuat nya, setidaknya saya sudah buat sesuatu. Kamu sudah? Kalau belum, ya ga usah kritik karya saya”. Sebuah ujaran anti kritik tingkat tinggi dari para kreator yang hanya setuju bahwa karya mereka yang terbaik dan tidak pantas untuk dipertanyakan apalagi di kritik.
Mendengar itu, saya (sebagai salah satu kreator) merasa bahwa itu adalah ungkapan manja layaknya seseorang yang ingin dipuji puji tanpa mau membangun diri lewat cara yang lebih baik. Di kritik itu baik. Kritikan adalah suatu cara bagaimana kita bisa melihat kekurangan kita dari pandangan orang lain dan mampu menjadi lebih baik kedepannya.
Bagi para kawan yang melabeli dirinya (atau dilabeli oleh orang banyak) sebagai kritikus, bagai mendapat angin segar setelah menemukan pembelaan masalah kritik mengkritik seperti, “memangnya komentator bola yang hebat harus bisa main bola?” atau “memangnya pelatih bola yang hebat harus pintar meliak liuk di lapangan bola?” sehingga sahih lah bahwasanya dalam mengkritisi sesuatu, penilaian dalam proses kritik tersebut sang kritikus tidak harus mampu menguasai bidang yang dikritiknya. Minimal mampu memberikan gambaran dari sudut pandangnya. Seperti komentator bola yang tidak harus jago bermain bola, penikmat musik yang tidak harus bisa menciptakan musik atau kritikus film yang jarang membuat film. Sampai fase ini, tidak ada masalah menurut saya. Ini sah sah saja.
Jaman berganti, pola komunikasi meningkat dengan bantuan teknologi yang juga bertumbuh, membuat kita, para manusia kreatif (siapapun yang merasa) mampu membuat panggung dan lewat panggung tersebut, beliau yang bersangkutan dapat menyebarkan ide – ide mereka secara lebih leluasa. Baik dari para kreator atau dari kritikus. Keleluasaan ini juga menuntut tanggung jawab yang, tentunya, lebih besar. Bagi para kreator, mulai membuat karya yang mampu menyajikan ide yang bersangkutan pada khalayak ramai dengan lebih baik (iya, lebih baik, seperti kata harapan yang selalu kita kumandangkan setiap saat. Menjadi lebih baik). Untuk para kritikus, silakan melanjutkan pembelajaran lewat kritiknya.
Namun kembali, ketika membawa makna pembelajaran, apakah masyarakat atau sang kritikus mampu melakukannya? Membuat sebuah pola kritik yang bertujuan membangun kualitas dari karya yang bersangkutan. “Apakah ini penting? Fungsi kritikus kan hanya mengkritik? Ini urusannya mereka kalau mereka mau sadar atau tidak. Kalau sadar, itu bagus. Kalau tidak, ya, karya mereka jelek”. Sampai tahap ini, mungkin dapat saya katakan bahwa kritikus terkait memiliki pola pikir mundur yang dimiliki oleh kreator yang terdapat di awal tulisan saya ini. Sebuah pola pikir anti kritik terhadap kritikan yang mereka utarakan sendiri. Sehingga dapatlah dibedakanlah bahwa karakter kritikus terbagi menjadi dua. Ahli kritik destruktif (membeberkan kekurangan tanpa memberikan apa yang sebaiknya dilakukan bagi para kreator) dan bisa mengkritik secara konstruktif (mengkritik dan mampu membangun dan memberikan arahan yang jelas terhadap pengembangan kualitas dari karya yang dinilai). Melihat dari pertanggungjawaban dari para kritikus terhadap suatu karya, mungkin wajib (disini penulis meletakkan kata mungkin, bukan berarti harus setuju dengan apa yang penulis pikirkan) bagi para kritikus untuk menguak penilaian tidak hanya dari produk yang mereka saksikan. Namun memiliki kapasitas untuk menggali cerita di belakang proses kreatif penciptaan. Selalu dan pasti akan ada pembelajaran yang dipetik dari proses yang ada selain dari sejelek dan sekurang kurang nya dari karya yang diciptakan. Proses ini juga akan menjadi cermin bagi masyarakat untuk tahu lika – liku pembuatan karya yang bersangkutan. Apalagi jika kita membicarakan karya kreatif seperti film, salah satunya. Disinilah konsep profesionalisme sekaligus tanggung jawab moral para kritikus menyampaikan pendapatnya dari karya para kreator kepada masyarakat luas. Jika tidak mampu melakukan itu, tidak ada bedanya kita dengan mereka, pihak yang selalu mengkritik destruktif tanpa mampu menunjukkan kredibilitasnya dalam turut berkontribusi membangun kualitas dari sang kreator. Bedanya orang – orang itu hanya pintar merangkai kata agar terlihat intelek. Menjadi kritikus bukan hanya sebuah fase onani berpendapat berbungkus bahasa canggih. Namun kepada sebuah melaksanakan tanggung jawab kepada para kreator dan masyarakat luas.
Dalam pembicaraan enam mata (ditambah kacamata dari penulis) antara penulis dengan Slamet Rahardjo di suatu malam di Denpasar, beliau mengungkapkan penting nya bagi kita (yang disini saya terjemahkan untuk para kreator, kritikus dan masyarakat awam yang menyaksikan) untuk turut sadar dan membangun atmosfir baik bersama. Jika membuat karya, buatlah karya yang mampu di pertanggungjawaban. Jika menjadi kritikus, jadilah kritikus yang membangun tanpa hanya mengumbar kekurangan dengan bahasa pintar. Jika menjadi penonton, jadilah penonton cerdas yang juga mampu turut menyumbangkan pemikirannya untuk membangun kualitas dari karya yang mereka saksikan. Intinya, ketika semua bersinergi membangun nuansa positif bersama, hal positif pasti akan terjadi. Jika kita berusaha membangun namun yang lain hanya mengharapkannya saja dengan aksi yang ternyata tidak mendekati dari apa yang diinginkannya, hal itu akan menjadi berseberangan.
Jika anda ternyata memiliki background sebagai kritikus dan sekaligus pengemban tugas penting yang berbasis pada karya kreatif, mulailah untuk merekonstruksi ide dalam kepala untuk memajukan iklim terkait dengan melakukan penilaian berimbang pada karya sang kreator. Karya tersebut patut diapresiasi karena kita semua tahu, karya – karya tersebut telah melewati ribuan menit hingga ratusan hari dalam penciptaannya. Sebaiknya tidak melulu bangga hanya ketika mampu memberikan reaksi panas nan pedas namun berbuntut pada keengganan sang kreator muda untuk berkarya. Motivasi, Semangat dan apresiasi itu utama. Kita juga yang turut memberikan ruang dan kesempatan bagi para kreator muda untuk membawa kualitas diri, daerah dan bangsa dalam 10 tahun dan 20 tahun kedepan. Seperti yang Made Taro, seorang pelestari Tradisi Lisan Bali pernah utarakan, apa yang kita lakukan sebenarnya bukan untuk kita. Tapi untuk mereka 20 tahun lagi yang membawa semangat dan pesan dari kita kepada dunia. Pendapat dari anda memiliki kualifikasi untuk meningkatkan kualitas diri. Bukan hanya sekedar onani.
Bagi para kreator, apakah kita tetap menjadi kreator manja anti kritik atau kreator yang memiliki visi untuk membuat sesuatu yang lebih baik?
Bagi para kritikus, ingin seperti komentator atau mulai melaju dengan kesadaran bahwa pendapat yang diutarakan mampu membangun kualitas?
Bagi para penikmat karya, lebih pilih bumi datar atau bumi bulat? Ah, lebih baik saya memilih tahu bulat di goreng dadakan.
ditulis oleh Agung Yudha, Denpasar, 25 Maret 2017
Tulisan dibuat sebelum melaksanakan upacara melasti