• MINIKINO.ORG
  • FILM WEEK
  • INDONESIA RAJA
  • BEGADANG
Minikino
  • Home
  • SHORT FILMS
    Still Film of Eyes and Horns (2021) directed by Chaerin Im (dok: istimewa)

    Eyes And Horns: A Sensual Adventure In Perception

    Still Film of Apostrophe (2018) directed by Paopoom Chiwarak (dok: istimewa)

    Narrating our memory: Understanding The Past Through Short Film

    Still Film of Amelis (2016) directed by Dery Prananda (dok: istimewa)

    Fine Line Between Tragedy and Comedy

    Still film of Annah the Javanese (2020) directed by Fatimah Tobing Rony (dok: istimewa)

    Annah the Javanese, An Animated Ode to Untold Stories

    Still film of The Sound of the Time (2021) directed by Jeissy Trompiz (dok: istimewa)

    Kuasa, Suara, dan Nestapa

    Still Film of Chicken Awaken (Nol Derajat Film) (dok: istimewa)

    Begadang boleh saja, asal ada batasnya

    Still Film of Semua Karena Cinta (2021) directed by Beni Arona (dok: istimewa)

    Ruang dan Prasangka

    Still Film of While My Goatee Gently Bleats (2021) directed by Pahurak Kong (dok: istimewa)

    While My Goatee Gently Bleats (2021): Hukuman Mati Tidak Pernah Masuk Akal

    Still Film of Candlelight (2022) directed by Polen LY (dok: istimewa)

    Candlelight (2022): Lilin dan Hal yang Tidak Habis dari Dirinya

  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • CONTACT
No Result
View All Result
Minikino Articles
  • Home
  • SHORT FILMS
    Still Film of Eyes and Horns (2021) directed by Chaerin Im (dok: istimewa)

    Eyes And Horns: A Sensual Adventure In Perception

    Still Film of Apostrophe (2018) directed by Paopoom Chiwarak (dok: istimewa)

    Narrating our memory: Understanding The Past Through Short Film

    Still Film of Amelis (2016) directed by Dery Prananda (dok: istimewa)

    Fine Line Between Tragedy and Comedy

    Still film of Annah the Javanese (2020) directed by Fatimah Tobing Rony (dok: istimewa)

    Annah the Javanese, An Animated Ode to Untold Stories

    Still film of The Sound of the Time (2021) directed by Jeissy Trompiz (dok: istimewa)

    Kuasa, Suara, dan Nestapa

    Still Film of Chicken Awaken (Nol Derajat Film) (dok: istimewa)

    Begadang boleh saja, asal ada batasnya

    Still Film of Semua Karena Cinta (2021) directed by Beni Arona (dok: istimewa)

    Ruang dan Prasangka

    Still Film of While My Goatee Gently Bleats (2021) directed by Pahurak Kong (dok: istimewa)

    While My Goatee Gently Bleats (2021): Hukuman Mati Tidak Pernah Masuk Akal

    Still Film of Candlelight (2022) directed by Polen LY (dok: istimewa)

    Candlelight (2022): Lilin dan Hal yang Tidak Habis dari Dirinya

  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • CONTACT
No Result
View All Result
Minikino
No Result
View All Result
Home SHORT FILMS

Ruang dan Prasangka

Catatan untuk "Budaya, Agama dan Perempuan", Program Indonesia Raja 2022, Aceh dan Padang Panjang

Eric Sasono by Eric Sasono
September 7, 2022
in SHORT FILMS
Reading Time: 5 mins read
Still Film of Semua Karena Cinta (2021) directed by Beni Arona (dok: istimewa)

Still Film of Semua Karena Cinta (2021) directed by Beni Arona (dok: istimewa)

Programmer film yang baik adalah programmer yang memproduksi ruang pertunjukannya menjadi ruang yang lincir (smooth, glisse), bukan ruang yang penuh penataan, aturan dan kategori. Dengan demikian, film yang dipilihnya bisa merupakan sebuah pertanyaan terbuka tentang film dan program yang sedang disajikan, atau membuka kemungkinan berpikir yang baru bagi penonton. Judul program ini, Budaya, Agama dan Perempuan tak menjanjikan itu karena berpikir lewat kategori-kategori besar. Judul tersebut berpeluang memasukkan berbagai persoalan dan ekspresi estetik ke dalam kotak-kotak istilah besar, dan bisa saja menghilangkan detail persoalan.

Program ini dimulai dengan Tarek Pukat (Muhammad Ammar Roffif, 2021), bercerita tentang nelayan tradisional yang sedang tersingkir akibat kalah bersaing dengan penangkapan ikan secara modern yang menggunakan pukat harimau (trawl). Kapal-kapal modern itu melanggar aturan dengan menangkap ikan di daerah dangkal, yang seharusnya menjadi teritori nelayan tradisional. Sejak semula, film sudah mengarahkan pada situasi yang tak menyenangkan bagi para nelayan. Bahkan terasa ada semacam romantisasi terhadap nelayan dan metode penangkapan ikan tradisional mereka. Melalui komentar para nelayan dan birokrat, tergambar bahwa persaingan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga berpeluang mengikis budaya menarik pukat dari darat.

Pembukaan program ini menggambarkan kelindan penting antara budaya dengan ekonomi politik. Teknik filmmakingnya sendiri masih terasa rudimenter dengan mengandalkan pada wawancara yang sinkron. Maka yang muncul adalah immediacy, pentingnya pokok soal untuk dibicarakan tentang budaya dan hajat hidup yang sedang terancam.

Film selanjutnya, Ibu (Rici Viondra, 2021) merupakan drama yang sangat baik. Set up dilakukan dengan sederhana. Bangunan drama hadir pelan-pelan tanpa banyak cover shot terhadap wajah, membuat kita tak menyaksikan psikologi karakter, dan tetap setia pada peristiwa. Maka ketika sang ibu diajak jalan-jalan, kita tahu akan ada puncak cerita di situ. Momentum peristiwa terbangun baik dengan efek dramatis hadir maknyus tanpa perlu membimbing emosi penonton. 

Yang paling menarik justru gambaran ini: anak-anak adalah pihak yang paling banyak belajar dari keadaan. Lihat bagaimana Anggit mengulang perbuatan orang tuanya di akhir film. Betapa belok logika ini hingga terasa bagai punchline komedi–yang kalau di pikir baik-baik sebetulnya tidak lucu. Sebuah ironi dari humor yang rada gelap.

Namun jika film Ibu jadi semacam sangkutan untuk melekatkan kategori “perempuan” pada program ini, rasanya pembacaan seperti ini harus direntang agak jauh. Judulnya memang Ibu, tetapi persoalannya adalah keluarga, dengan pusat pada anak laki-lakinya yang sangat self-centered (entah apa masalah si Zal, ini. Tak diceritakan–mungkin terlibat utang–dan justru menjadi menarik karena apapun masalahnya, si Zal tetap self-centered). Bagi saya, film ini menggambarkan operasi patriarki, bahkan di tanah yang menganut sistem pewarisan matrilineal. Dan masalah patriarki bukan persoalan perempuan semata, karena Anggit adalah yang paling terdampak dan ia–bagai perempuan dalam film horor–membalas dendam lewat metode non-empiris.

Yang justru berpeluang membuat ruang lebih lincir di program ini adalah Semua Karena Cinta (Beni Arona, 2021). Buat apa ada film yang sangat sentimentil (dan berbau promosi Museum Tsunami Aceh) ada di rangkaian program Indonesia Raja ini? Catatan, program Indonesia Raja adalah program independen, tetapi peredarannya yang utama berada di ruang-ruang festival yang umumnya diimbuhi prasangka-prasangka tertentu. Tentu saja karena prasangka tentang “ruang festival” ada dan nyata, tetapi yang dilakukan programmer Akbar Rafsanjani dan Wahyudha justru menabrak prasangka dan aturan seperti itu. Maka kisah sentimentil yang mengaksentuasi emosi bagai sinetron ini, justru menjadi titik serang terhadap prasangka itu.

Film pendek ini dibagun dengan psikologi cerita berlandas hubungan ayah-anak. Drama banyak terjadi di dalam rumah seperti ruang tamu atau tempat transit anggota keluarga sebelum masuk kamar masing-masing. Ruang bersama keluarga adalah tempat konflik mengalir, sebelum direnungkan di kamar masing-masing. Konflik tokoh utama dan pacarnya adalah perpanjangan dari konflik keluarga itu, sebuah subplot yang mungkin akan menarik perhatian penonton lebih muda.

Terus terang saya kesulitan memasukkan tema film ini ke dalam tiga kategori di atas. Yang paling mungkin adalah agama sebagai sebuah sarana untuk berdamai dengan takdir. Sebuah adagium yang terus direproduksi melalui berbagai medium. Film pendek di sini masih jadi mesin reproduksi struktur sosial yang dominan – meski ketika ia berada di ruang festival seperti Minikino Film Week 8 dan sejenisnya – estetikanya menjadi sebuah cara menabrak prasangka tentang ruang festival dan aturannya.

Still Film of Menyalak (2021) directed by Rere Reza (dok: istimewa)

Kembali soal prasangka, Manyalak (Rere Reza, 2021), sebuah dokumenter yang sangat kuat tentang tradisi memelihara anjing dan berburu babi di Minangkabau, bersandar kuat pada prasangka. Imaji kekerasan dan gambar yang bergerak cepat memenuhi ruangan, dan sebenarnya sudah sangat cukup sebagai daya pukau utama. Namun sutradara sengaja memasukkan prasangka tentang tekanan terhadap praktik tersebut, yang tak dihadirkan di film pendek ini. Kecuali lewat ceramah Ustad Abdus Somad yang tak terlalu jelas apakah ceramah itu terkait langsung atau tidak dengan persatuan olahraga berburu babi yang direkam.

Yang muncul adalah konsep agama yang dibandingkan dengan praktik keseharian guna menghadirkan kontras. Akibatnya praktek keseharian itu teridealisasi jadi konsep “haram”, sekalipun tak ada kata itu di sepanjang film. Dengan mengedepankan dialektika di tingkat ide seperti ini, para pelaku olahraga berburu babi ini jadi harus mengkonseptualisasi praktik mereka, seakan praktik-praktik itu tidak cukup dan perlu justifikasi. 

Demikian pula dengan filmnya sendiri, drama seakan harus berasal dari konflik dengan tradisi, otoritas dan sejenisnya. Seakan-akan konflik anjing dengan babi, manusia dan hewan saja tidak cukup dengan dirinya sendiri. Sebuah film yang sangat menarik dan penuh dengan ekspresi visual mentah, berubah jadi sketsa komentar tentang tradisi vs syariat Islam. 

Film ini akhirnya meluncur mulus ke kategori agama, dan menegaskan kriteria ruang festival sebagai problematisasi keseharian vis-a-vis otoritas mayoritarianis semisal agama. Bagaimanapun ini tak terhindarkan dalam programming film, agar keragaman tetap tercapai dan keterhubungan kategoris tetap ada. Yang terpenting dari Manyalak, film ini sangat menyenangkan untuk ditonton dan cocok menjadi film penutup program karena mengangkat mood secara keseluruhan.

Akhirnya judul program Budaya, Agama dan Perempuan memang jadi semacam teknik sapujagat untuk bisa memasukkan pilihan yang beragam ini. Agak sulit memang menarik benang merah dari tema maupun ekspresi estetik yang ada di kumpulan ini. Setidaknya, upaya untuk menabrak prasangka tentang “ruang festival” sebagai sesuatu yang punya aturan dan kriteria yang identik dengan “art house” sudah terjadi untuk membuka sedikit kemungkinan baru.

Program Indonesia Raja 2022 Aceh dan Padang Panjang dapat dipinjam untuk diputar di layar lebar. Informasi lebih lanjut tersedia di https://minikino.org/indonesiaraja/
Tags: acehIbuIndonesia Raja 2022 Aceh dan Padang PanjangMenyalakPadang PanjangSemua Karena CintaTarek Pukat
ShareTweetPin
Previous Post

While My Goatee Gently Bleats (2021): Hukuman Mati Tidak Pernah Masuk Akal

Next Post

Begadang boleh saja, asal ada batasnya

Eric Sasono

Eric Sasono

Eric Sasono is an Indonesian film critic who obtained his doctoral degree in film studies from King’s College London in 2019. He co-founded the Indonesian Film Society, a London-based community group to screen films regularly in London and to promote Indonesian culture to the UK public and beyond. For ten years (2009-2019), Eric was the executive board’s secretary of YMMFI, the Indonesian Independent Film Society Foundation, that established the Indonesian Documentary Center (In-Docs) and organized the now-defunct Jakarta International Film Festival (JIFFest). Eric has co-written a book about the Indonesian film industry and edited a volume about Southeast Asian cinema. He is now working in a Jakarta-based civil society organization while working on his research about ‘film Islami’. Eric is actively blogging on ericsasono.com

Related Posts

Still Film of Eyes and Horns (2021) directed by Chaerin Im (dok: istimewa)

Eyes And Horns: A Sensual Adventure In Perception

October 18, 2022
Still Film of Apostrophe (2018) directed by Paopoom Chiwarak (dok: istimewa)

Narrating our memory: Understanding The Past Through Short Film

October 2, 2022
Still Film of Amelis (2016) directed by Dery Prananda (dok: istimewa)

Fine Line Between Tragedy and Comedy

October 1, 2022
Still film of Annah the Javanese (2020) directed by Fatimah Tobing Rony (dok: istimewa)

Annah the Javanese, An Animated Ode to Untold Stories

September 22, 2022
Still film of The Sound of the Time (2021) directed by Jeissy Trompiz (dok: istimewa)

Kuasa, Suara, dan Nestapa

September 11, 2022
Still Film of Chicken Awaken (Nol Derajat Film) (dok: istimewa)

Begadang boleh saja, asal ada batasnya

September 8, 2022

Discussion about this post

Kirim Tulisan

Siapapun boleh ikutan meramaikan halaman artikel di minikino.org.

Silahkan kirim artikel anda ke info@minikino.org. Isinya bebas, mau berbagi, curhat, kritik, saran, asalkan masih dalam lingkup kegiatan-kegiatan yang dilakukan Minikino, film pendek dan budaya sinema, baik khusus atau secara umum. Agar halaman ini bisa menjadi catatan bersama untuk kerja yang lebih baik lagi ke depan.

Minikino Head Loop Mask Minikino Head Loop Mask Minikino Head Loop Mask
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Gambar dihasilkan melalui DALL-E 2

Artificial Intelligence: Cerdas Bukan Artinya Kreatif

January 5, 2023
Short Film Distribution Talks & Book Seminar "I (dok: Bintang/Minikino)Made A Short Film Now WTF Do I Do With It?"  (dok: Bintang/Minikino)

Membahas Distribusi dan Festival Film Pendek Bersama Clarissa Jacobson

January 13, 2023
Webinar dari Objectifs "How to Make The Most Of Film Festivals". -  Dok: Objectifs

Formula Jitu Agar Film Pendekmu Masuk ke Banyak Festival Film!

August 13, 2021

Sejarah (Istilah) Film Indie

May 8, 2017
Still Film of A Ride to Nowhere (2022) directed by Khozy Rizal (dok: istimewa)

A Ride To Nowhere (2022): Perempuan dalam Dominasi Maskulinitas Industri Kerja

August 30, 2022
Short Film Distribution Talks & Book Seminar "I (dok: Bintang/Minikino)Made A Short Film Now WTF Do I Do With It?"  (dok: Bintang/Minikino)

Membahas Distribusi dan Festival Film Pendek Bersama Clarissa Jacobson

January 13, 2023
Gambar dihasilkan melalui DALL-E 2

Artificial Intelligence: Cerdas Bukan Artinya Kreatif

January 5, 2023
Post Festival Roadshow Jakarta (dok: Erde/Minikino)

Suasana MFW8 di Jakarta

December 3, 2022
Still Film of Sawankhalai (2017) directed by Abhichon Rattanabhayon (dok: istimewa)

When the Fly on the Wall Got Noticed

November 28, 2022
POST FESTIVAL ROADSHOW 2022: ACEH

Film Pendek Dan Serba-Serbi Dari Serambi Makkah

November 17, 2022

ABOUT US

Minikino is an Indonesia’s short film festival organization with an international networking. We works throughout the year, arranging and organizing various forms of short film festivals and its supporting activities with their own sub-focus.

Follow us

RECENT NEWS

  • Membahas Distribusi dan Festival Film Pendek Bersama Clarissa Jacobson
  • Artificial Intelligence: Cerdas Bukan Artinya Kreatif
  • Suasana MFW8 di Jakarta
  • When the Fly on the Wall Got Noticed

CATEGORIES

  • Articles
  • INTERVIEWS
  • NOTES
  • OPINION
  • PODCAST
  • SHORT FILMS
  • VIDEO

Minikino Film Week 8

  • MINIKINO.ORG
  • FILM WEEK
  • INDONESIA RAJA
  • BEGADANG

© 2021 Minikino | Yayasan Kino Media

No Result
View All Result
  • Home
  • SHORT FILMS
  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • CONTACT

© 2021 Minikino | Yayasan Kino Media

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00