Programmer film yang baik adalah programmer yang memproduksi ruang pertunjukannya menjadi ruang yang lincir (smooth, glisse), bukan ruang yang penuh penataan, aturan dan kategori. Dengan demikian, film yang dipilihnya bisa merupakan sebuah pertanyaan terbuka tentang film dan program yang sedang disajikan, atau membuka kemungkinan berpikir yang baru bagi penonton. Judul program ini, Budaya, Agama dan Perempuan tak menjanjikan itu karena berpikir lewat kategori-kategori besar. Judul tersebut berpeluang memasukkan berbagai persoalan dan ekspresi estetik ke dalam kotak-kotak istilah besar, dan bisa saja menghilangkan detail persoalan.
Program ini dimulai dengan Tarek Pukat (Muhammad Ammar Roffif, 2021), bercerita tentang nelayan tradisional yang sedang tersingkir akibat kalah bersaing dengan penangkapan ikan secara modern yang menggunakan pukat harimau (trawl). Kapal-kapal modern itu melanggar aturan dengan menangkap ikan di daerah dangkal, yang seharusnya menjadi teritori nelayan tradisional. Sejak semula, film sudah mengarahkan pada situasi yang tak menyenangkan bagi para nelayan. Bahkan terasa ada semacam romantisasi terhadap nelayan dan metode penangkapan ikan tradisional mereka. Melalui komentar para nelayan dan birokrat, tergambar bahwa persaingan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga berpeluang mengikis budaya menarik pukat dari darat.
Pembukaan program ini menggambarkan kelindan penting antara budaya dengan ekonomi politik. Teknik filmmakingnya sendiri masih terasa rudimenter dengan mengandalkan pada wawancara yang sinkron. Maka yang muncul adalah immediacy, pentingnya pokok soal untuk dibicarakan tentang budaya dan hajat hidup yang sedang terancam.
Film selanjutnya, Ibu (Rici Viondra, 2021) merupakan drama yang sangat baik. Set up dilakukan dengan sederhana. Bangunan drama hadir pelan-pelan tanpa banyak cover shot terhadap wajah, membuat kita tak menyaksikan psikologi karakter, dan tetap setia pada peristiwa. Maka ketika sang ibu diajak jalan-jalan, kita tahu akan ada puncak cerita di situ. Momentum peristiwa terbangun baik dengan efek dramatis hadir maknyus tanpa perlu membimbing emosi penonton.
Yang paling menarik justru gambaran ini: anak-anak adalah pihak yang paling banyak belajar dari keadaan. Lihat bagaimana Anggit mengulang perbuatan orang tuanya di akhir film. Betapa belok logika ini hingga terasa bagai punchline komedi–yang kalau di pikir baik-baik sebetulnya tidak lucu. Sebuah ironi dari humor yang rada gelap.
Namun jika film Ibu jadi semacam sangkutan untuk melekatkan kategori “perempuan” pada program ini, rasanya pembacaan seperti ini harus direntang agak jauh. Judulnya memang Ibu, tetapi persoalannya adalah keluarga, dengan pusat pada anak laki-lakinya yang sangat self-centered (entah apa masalah si Zal, ini. Tak diceritakan–mungkin terlibat utang–dan justru menjadi menarik karena apapun masalahnya, si Zal tetap self-centered). Bagi saya, film ini menggambarkan operasi patriarki, bahkan di tanah yang menganut sistem pewarisan matrilineal. Dan masalah patriarki bukan persoalan perempuan semata, karena Anggit adalah yang paling terdampak dan ia–bagai perempuan dalam film horor–membalas dendam lewat metode non-empiris.
Yang justru berpeluang membuat ruang lebih lincir di program ini adalah Semua Karena Cinta (Beni Arona, 2021). Buat apa ada film yang sangat sentimentil (dan berbau promosi Museum Tsunami Aceh) ada di rangkaian program Indonesia Raja ini? Catatan, program Indonesia Raja adalah program independen, tetapi peredarannya yang utama berada di ruang-ruang festival yang umumnya diimbuhi prasangka-prasangka tertentu. Tentu saja karena prasangka tentang “ruang festival” ada dan nyata, tetapi yang dilakukan programmer Akbar Rafsanjani dan Wahyudha justru menabrak prasangka dan aturan seperti itu. Maka kisah sentimentil yang mengaksentuasi emosi bagai sinetron ini, justru menjadi titik serang terhadap prasangka itu.
Film pendek ini dibagun dengan psikologi cerita berlandas hubungan ayah-anak. Drama banyak terjadi di dalam rumah seperti ruang tamu atau tempat transit anggota keluarga sebelum masuk kamar masing-masing. Ruang bersama keluarga adalah tempat konflik mengalir, sebelum direnungkan di kamar masing-masing. Konflik tokoh utama dan pacarnya adalah perpanjangan dari konflik keluarga itu, sebuah subplot yang mungkin akan menarik perhatian penonton lebih muda.
Terus terang saya kesulitan memasukkan tema film ini ke dalam tiga kategori di atas. Yang paling mungkin adalah agama sebagai sebuah sarana untuk berdamai dengan takdir. Sebuah adagium yang terus direproduksi melalui berbagai medium. Film pendek di sini masih jadi mesin reproduksi struktur sosial yang dominan – meski ketika ia berada di ruang festival seperti Minikino Film Week 8 dan sejenisnya – estetikanya menjadi sebuah cara menabrak prasangka tentang ruang festival dan aturannya.

Kembali soal prasangka, Manyalak (Rere Reza, 2021), sebuah dokumenter yang sangat kuat tentang tradisi memelihara anjing dan berburu babi di Minangkabau, bersandar kuat pada prasangka. Imaji kekerasan dan gambar yang bergerak cepat memenuhi ruangan, dan sebenarnya sudah sangat cukup sebagai daya pukau utama. Namun sutradara sengaja memasukkan prasangka tentang tekanan terhadap praktik tersebut, yang tak dihadirkan di film pendek ini. Kecuali lewat ceramah Ustad Abdus Somad yang tak terlalu jelas apakah ceramah itu terkait langsung atau tidak dengan persatuan olahraga berburu babi yang direkam.
Yang muncul adalah konsep agama yang dibandingkan dengan praktik keseharian guna menghadirkan kontras. Akibatnya praktek keseharian itu teridealisasi jadi konsep “haram”, sekalipun tak ada kata itu di sepanjang film. Dengan mengedepankan dialektika di tingkat ide seperti ini, para pelaku olahraga berburu babi ini jadi harus mengkonseptualisasi praktik mereka, seakan praktik-praktik itu tidak cukup dan perlu justifikasi.
Demikian pula dengan filmnya sendiri, drama seakan harus berasal dari konflik dengan tradisi, otoritas dan sejenisnya. Seakan-akan konflik anjing dengan babi, manusia dan hewan saja tidak cukup dengan dirinya sendiri. Sebuah film yang sangat menarik dan penuh dengan ekspresi visual mentah, berubah jadi sketsa komentar tentang tradisi vs syariat Islam.
Film ini akhirnya meluncur mulus ke kategori agama, dan menegaskan kriteria ruang festival sebagai problematisasi keseharian vis-a-vis otoritas mayoritarianis semisal agama. Bagaimanapun ini tak terhindarkan dalam programming film, agar keragaman tetap tercapai dan keterhubungan kategoris tetap ada. Yang terpenting dari Manyalak, film ini sangat menyenangkan untuk ditonton dan cocok menjadi film penutup program karena mengangkat mood secara keseluruhan.
Akhirnya judul program Budaya, Agama dan Perempuan memang jadi semacam teknik sapujagat untuk bisa memasukkan pilihan yang beragam ini. Agak sulit memang menarik benang merah dari tema maupun ekspresi estetik yang ada di kumpulan ini. Setidaknya, upaya untuk menabrak prasangka tentang “ruang festival” sebagai sesuatu yang punya aturan dan kriteria yang identik dengan “art house” sudah terjadi untuk membuka sedikit kemungkinan baru.
Discussion about this post