“Because although I was a mom, I was still a woman, and I wanted to be loved.”
–Oh Hyun-Jin- Birthcare Center, 2020
Sebuah kesepakatan tak tertulis: menjadi Ibu adalah pengalaman nyata seorang perempuan tentang berubah. Berganti identitas, status sosial, peran, bahkan keseharian, dan mungkin termasuk mengubah mimpi para perempuan muda.
Rangkaian film pendek pilihan Minikino Film Week 9 dalam program Mother! menyentak penonton dengan frasa pembuka “Glass splinters are worth a lot.” Kalimat kunci Naomi dan Karina dalam film Sweet Summer (2021), untuk memperoleh yang mereka inginkan di tengah terik musim panas. Semangkuk es krim.
Sweet Summer, film pendek berbahasa Jerman, karya Sabrina Mertens, menjadi opening dengan isu yang sangat relate dengan pengasuhan keseharian. Berbohong! Bagaimana akhirnya sikap yang tidak baik ini malah banyak membantu keluarga mereka bertahan hidup. Merekayasa tindakan lalu menjadi mantra sehari-hari keluarga ini.
Beranjak ke film kedua, saya akui pemilihan film oleh programmer, bukan tanpa alasan. Tampilan File (Parvandeh) karya Sonia K. Hadad, produksi Iran tahun 2022 lalu selaras dengan ucapan Karina di Sweet Summer, “Mama, kamu bilang tidak apa bila berbohong untuk kebaikan…”
Lagi-lagi tentang kebohongan, dengan level berbeda. Isu yang menguliti bagaimana seorang Ibu memiliki pekerjaan rumah besar, memegang tampuk pengajar utama nilai kejujuran.
“Apa saya bisa bilang sesuatu?” Ucapan Koosha Yari, dalam File yang memerankan bocah bisu selektif terutama kepada sosok lelaki dewasa, sesungguhnya gamblang menjelaskan keengganan untuk berinteraksi dengan sesama lelaki dibanding perempuan. Kondisi bisu yang tak punya alasan kekurangan fisik, Koosha hanya memilih untuk tak bicara.
Kekerasan domestik menjadi alasan selective mutism itu. Sikap Koosha yang menunjukkan kepanikan pada situasi under pressure dan keengganan membuka mulut pada jenis kelamin tertentu sesungguhnya bisa menjadi celah untuk menyelidiki lebih lanjut. Sayangnya bahkan para pekerja lelaki di biro konsultasi yang bersangkutan meragukan temuan tersebut. Mereka malah mengira sang psikolog perempuan merekayasa kemampuan Koosha berbicara. Padahal yang berbohong tentang kondisi anak dan keluarga mereka adalah Ibu Koosha sendiri.
Bila penonton cukup cermat, Ibunda Koosha tak menggambarkan orang tua anak disabilitas yang mengusahakan progress untuk anaknya. Dalam film, dia hanya ingin anaknya bisa masuk sekolah, dengan sengaja menarasikan anaknya “cacat”. Bisa mendengar, tapi tak bisa berbicara. Padahal problem intinya, terjadi kekerasan domestik pada keluarga itu.
Ibu Koosha tampak melindungi anaknya–padahal sebetulnya melindungi suaminya, agar apa yang terjadi dalam keluarga tidak terungkap.
Dari dua film pembuka, penonton diajak berefleksi tentang bagaimana sosok Ibu piawai menjadi sutradara lakon hidup keluarga, tanpa perlu kehadiran lelaki yang disebut Bapak.

Kondisi itu lalu ditepis A Day, That Year (2022). Film pendek produksi Singapura-Taiwan, karya sineas Stanley Xu, berhasil merekam harapan besar Ibu akan sosok “lelaki baru”, untuk kelak menjadi Bapak.
Yang, bocah kecil yang tadinya merasa didengarkan dan diapresiasi sang Ibu, memilih menutup mulut di penghujung film. Anak itu hilang percaya. Ketakutan kelak akan diabaikan ketika sang Ibu memiliki pasangan baru, dalam hitungan menit memosisikan dia “benar-benar” ditinggalkan di pelosok gang. Runtuh sudah kepercayaannya kepada Ibu ketika perempuan itu tak bisa mentolerir sikap tantrumnya.
Yang ingin pulang dan berharap terpenuhinya keinginan yang tadi dijanjikan Ibu karena berprestasi di sekolah, bukan malah diminta MENUNGGU! Sebuah kata yang justru paling sulit dilakukan anak-anak. “Secara perkembangan dan neurologis, menunggu itu sulit karena anak-anak dalam kondisi ‘bertahan’ sampai keinginan mereka diketahui secepatnya.” kata Michael Osit, penulis buku Generation Text: Raising Well-Adjusted Kids in the Age of Instant Everything (2008).
Kondisi menunggu lalu menjadi benang merah film ketiga garapan Gillie Cinneri dan Anouk Ferreira da Silva. Stella, seorang ibu yang juga pecandu narkoba tak bisa melunasi hutang pembeliannya kepada seorang drug dealer dalam film asal Belgia, Aimé (2022). Tanpa berpikir panjang, dia memutuskan pergi meninggalkan putrinya sendirian bersama sang drug dealer untuk mencoba mencari pinjaman uang.
Sungguh sikap ini menampar saya yang tak akan meninggalkan rumah dan tentu anak perempuan saya bersama orang asing yang bukan dari kalangan baik-baik. Narkoba telah menjadi penyebab hilangnya akal sehat Ibu.
Namun, asumsi penonton bahwa film dengan isu pengedar narkoba, mungkin dihiasi tembak-tembakan dan penangkapan, tak muncul sama sekali. Film bersetting rumah berantakan ini malah mengulik sisi kemanusiaan sang drug dealer yang berupaya membantu Aimé, putri Stella mengerjakan tugas Matematika. Interaksi keduanya tak berkesan menakutkan, sangat alamiah; interaksi antar manusia.
Ucapan Aimé, “Kau yang menjual narkoba pada Ibuku” di menit-menit terakhir, seperti pukulan di kepala sang drug dealer, tentang hidup yang harus dilalui bocah perempuan itu. Tiada uang untuk membeli tiket bus memaksanya berjalan kaki ke sekolah. Tanggung jawab sebagai orang tua kalah dengan keinginan Ibu membeli narkoba.
Hidup yang tak baik-baik saja, yang harus diterima Aimé sebab perilaku Ibunya, berangsur menjadi lebih gelap dalam film penutup, produksi Mexico.
Your Way, My Way (Asi Mismo) (2022) awalnya mengelabui saya pada konflik klasik domestik. Menantu perempuan dengan mertua perempuan, dibumbui dengan PTSD. Percakapan Rosalba dan Donã Margarita pada Opening yang menjadi alasannya.
“Sebagai seorang Ibu, kamu pasti mengerti … Anak-anak butuh Ayah mereka, dan aku butuh suamiku.“ Yang bila tidak ditonton selanjutnya, bisa memicu dugaan cerita akan berkembang ke arah konflik rumah tangga.

Faktanya, film karya Sharon Kleinberg ini seolah membongkar ekses dari keberadaan kartel di Mexico, di mana istri dan anak-anak, atau bahkan Ibu tak tahu apa yang dikerjakan para lelaki mereka.
Tulisan Linda Pressly di BBC News, Culiacan yang berjudul Trading sex for cosmetic surgery in Mexico’s narco capital, menguatkan hal tersebut. “Budaya narco telah membentuk gagasan bahwa perempuan adalah properti yang “dimiliki” laki-laki dan meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan, baik oleh kekasih mereka, atau musuh pacar mereka”, kutip Linda dari apa yang dikatakan Maria Teresa Guerra, seorang pengacara yang telah menghabiskan puluhan tahun mengadvokasi perempuan di Sinaloa, Mexico.
Rosalba hendak melawan hal kronik yang telah berakar tersebut dengan memberikan tantangan kepada penculik suaminya. Akibatnya malah hal yang di luar prediksi. Lupe, putri sulungnya menegaskan tindakan yang dijadikan ancaman Rosalba kepada Danã. “Aku perempuan yang memegang kata-kata.”
Menyaksikan seluruh film pendek ini membuat saya menyimpulkan. Ibu dalam berbagai budaya dan latar sosial menghadapi tantangan yang tak mudah. Apalagi, bila mereka harus menghadapi sendiri, tanpa dukungan pasangan.
Sweet Summer tak berujar sedikit pun tentang sosok Bapak. Ibu dan kedua anak harus berjuang sendiri, bertahan hidup termasuk untuk memperoleh apa yang diinginkan.
Koosha Yari, bocah lelaki dalam File yang memerankan tokoh bisu selektif menunjukkan bagaimana rapuhnya psikologis anak yang mengalami kekerasan domestik, apalagi ‘ditutupi’ Ibunya sendiri.
Dalam A Day, That Year, sosok “lelaki baru” malah mengubah atmosfer film dari penuh cinta menjadi kecemasan. Cinta yang dirasakan berubah menjadi kekhawatiran akan diabaikan karena kehadiran “lelaki baru” kelak dalam hidup mereka.
Bila orang awam akan mengulik, bukankah peran Ibu dalam konteks pengasuhan di dunia patriarki, memang demikian? Saya tak sepakat. Karena semua tokoh Ibu yang digambarkan dalam kelima film pendek ini malah tampak mengambil role patriarki. Melindungi, memimpin, memerintah. Dibanding role matriarki: mengasuh, membimbing, dan menyediakan rasa aman. Ini krusial sebagai catatan, meski pembuat film tidak mengotak-ngotakkan perihal patriarki berdasarkan peran maskulin dan feminin.
Jika ada kesempatan, tontonlah beberapa kali dan amati lebih seksama.
Ibu yang melindungi anak-anaknya yang berbohong, dengan “berbohong” menurut caranya sendiri. Ucapan Karina dalam Sweet Summer, ”Mama, kamu perlu lebih improvisasi…” ibarat pisau bermata dua bagi Ibu ketika mengajarkan kejujuran.
Ibu yang melindungi Koosha agar tak berkata jujur di hadapan psikolog (mungkin memerintahkan sebelumnya, bahkan ikut mengatur-ngatur kantor psikologi itu untuk melakukan diagnosa pada anaknya). Hal tersebut dilakukan agar apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga tidak terungkap.
Ibu yang memerintahkan Yang untuk menunggu, termasuk mengkondisikan bagaimana bila ditinggalkan. Sebuah situasi yang sesungguhnya tak mau dihadapi anak-anak.
Ibu yang “tidak” memimpin karena dalam kondisi kecanduan narkoba, malah “meninggalkan” -membiarkan-anaknya seorang diri di rumah, bersama drug dealer tanpa berpikir jernih kemungkinan berbagai tindakan kurang baik kepada Aimé, putrinya yang baru berusia 9 tahun.
Ibu yang memutuskan memimpin penyelesaian masalah penculikan suaminya dengan caranya sendiri, alih-alih menyelesaikan masalah: malah menimbulkan kecemasan dan situasi chaos pada anak-anaknya
Kesemuanya jelas bertolak belakang dengan citra Ibu selama ini. Seperti tulisan seorang psikiater asal Kanada, Marcia Sirota yang juga menulis untuk Huffington Post dalam artikelnya What Makes a Mother?.
“Seorang Ibu menghendaki anaknya tumbuh menjadi pribadi yang bahagia, sehat dan sukses. Ibu menaruh perhatian pada tumbuh kembang anaknya secara alamiah, dan merespon pada kebutuhan spesifik mereka. Ibu menerima anak-anaknya sebagaimana diri mereka, memaafkan kesalahan -kesalahan yang diperbuat. Ibu selalu hadir untuk anaknya, kapan dia dibutuhkan.”
Naomi, Karina, Koora, Yang, Aimé dan Lupe dalam program Mother! adalah anak-anak yang tidak punya pilihan untuk lahir dari rahim perempuan yang mana. Mereka hanya butuh perempuan itu sejatinya adalah Ibu, tak harus sempurna. Tanpa embel-embel apapun. Ibu yang mencintai, memberi rasa aman dan menjadi rumah tempat mereka kembali, bagaimana pun keadaannya.
Discussion about this post