Kamera film mulai digunakan di akhir abad ke 19. Muncullah karya-karya film yang pada masa itu dikenal dengan sebutan ‘Motion Picture’ atau ‘Gambar Bergerak’. Gambar-gambar yang diproyeksikan ke layar terlihat bergerak dan hidup. Pada awalnya hanya potongan-potongan adegan yang berlangsung beberapa detik. Kemudian mulai mencoba membuat dengan adegan yang panjangnya sampai beberapa menit. Dalam waktu singkat teknologi baru ini menjadi perhatian seluruh dunia.
Awalnya, karya-karya film ini dipahami dan digunakan secara terbatas sebagai teknologi baru yang membuka kemungkinan baru untuk menyaksikan dan mempelajari budaya-budaya dunia, yang sebelumnya hanya bisa dikenal melalui tulisan dan fotografi yang tidak bergerak. Perancis adalah negara pertama yang memiliki perusahan film yang merekam gambar-gambar diluar ruangan. Mereka jugalah yang pertama kali berinisiatif mengirim para pembuat filmnya sampai ke Asia dan Timur Tengah, sehingga teknologi ini segera tersebar dan dikenal hampir serentak di seluruh dunia.
Film Indie adalah film Independen, awalnya di Amerika.
Walaupun Auguste and Louis Lumière (Lumière Brother) dari Prancis diakui sebagai simbol kelahiran sinema modern, namun Amerika yang lebih cepat bereaksi dan mendominasi industri film. Amerika membawa fungsi film keluar dari visi sosial dan budaya, masuk ke ranah hiburan dan komersil.
Agar industri dapat berkembang dengan teratur dan terarah, pada tahun 1908 Amerika membentuk sebuah badan kesepakatan yang disebut The Motion Picture Patents Company (MPPC). Kalau di bahasa Indonesiakan, kira-kira Badan Paten untuk Gambar Bergerak. Amerika menjadi garda depan sejarah perkembangan sinema dunia.
MPPC membuat sebuah perjanjian legal yang melibatkan berbagai pihak penting dalam industri film, perusahan-perusahan yang bergerak di bidang distribusi film dan semua perusahan film utama di Amerika masa itu. Termasuk juga juga Eastman Kodak yang berpusat di New York dan merupakan pemegang utama hak suplai bahan pita film.
Dengan langkah ini, MPPC memusatkan semua kegiatannya dan mengukuhkan suatu standard bagaimana seharusnya sebuah produksi Motion Picture dijalankan. Selanjutnya, juga mengatur distribusi dan strategi pemasarannya. Semua ini dilakukan untuk menghindari kompetisi yang dianggap tidak perlu terjadi. Semua perusahan-perusahan yang masih terlalu kecil dan tidak bergabung dalam kelompok utama ini dianggap ‘Independen’.
Motion Picture adalah Film Pendek.
Pada masa itu semua ‘Motion Picture’ yang diproduksi adalah film pendek, baik dalam durasi maupun format naratif yang disampaikan pada penonton. Hal ini tentu berhubungan langsung dengan keterbatasan teknisnya, yaitu pita film memiliki panjang yang terbatas. Gulungan pita film yang disebut Reel ini memiliki standard panjang 305 meter, dan hanya mampu merekam film berdurasi kurang lebih 11 menit. Karena tidak ada film dengan durasi yang panjang, tentu saja masa itu belum dikenal istilah ‘Short Film’ atau film pendek seperti yang kita kenal sekarang.
Acara pemutaran ‘Motion Picture‘ merupakan sebuah wahana hiburan yang menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Penonton dapat melihat pertunjukan sirkus di layar yang hanya berlangsung beberapa menit. Semua penonton terpana melihat rekaman gambar orang-orang yang pulang kerja dari sebuah pabrik atau sekedar tayangan kesibukan sebuah kota. Penonton dibuat berlarian ketakutan dan menghindar ketika sebuah kereta api di layar terlihat melaju ke arah kamera. Durasi setiap tayangan, pada umumnya tidak lebih dari 11 menit.
Biasanya sebuah acara pemutaran ‘Motion Picture’ ini melibatkan programmer yang menyusun beberapa film yang diputar secara berurutan. Beberapa film pada perkembangannya mulai dibuat lebih panjang dengan menggunakan 2 reel. Pada masa itu populer disebut sebagai 2 (two) –reelers, memberikan kemungkinan sebuah film bisa berdurasi lebih panjang, namun tetap tidak melebihi durasi 22 menit.
Gerakan Independen adalah gerakan pemberontakan
Perusahan-perusahan produksi kecil yang tidak diakui dalam perjanjian MPPC tahun 1908 semakin tersisih dan akhirnya banyak yang memutuskan pindah ke daerah barat Amerika, menghindar dari wilayah hukum perjanjian MPPC. Mereka menyingkir ke sebuah desa bernama Hollywood.
Di wilayah baru ini mereka diterima dengan baik dan lebih bebas melakukan berbagai eksperimen yang inovatif. Tak lama kemudian kelompok-kelompok produksi film di Hollywood inipun menjadi semakin kompak dan menyusun sebuah tuntutan pengadilan yang dikenal dengan nama “The Ninth Circuit Court of Appeals”. Tuntutan ini berhasil dikabulkan oleh pengadilan tinggi Amerika, memberi ruang gerak dan hak pada kelompok independen ini untuk diijinkan mengembangkan peralatan dan teknologi mereka sendiri. Dan selanjutnya untuk memproduksi karya-karya film mereka sendiri juga, tanpa harus merasa terancam oleh MPPC. Pengakuan ini juga memberi kesempatan untuk menyusun strategi pemasaran yang baru.
Pada tahun 1913, gerakan independen ini semakin dikenal di kalangan penggemar film. Mereka dianggap lebih inovatif dan kreatif. Gerakan independen ini juga mulai membuat karya-karya yang berdurasi jauh lebih panjang, dengan menggunakan beberapa reel sekaligus. Pada era inilah muncul istilah ‘feature film’ atau film panjang yang kita kenal sampai sekarang. Sementara itu MPPC masih tetap bertahan dengan format film pendeknya.
Namun, dengan pesatnya perkembangan kelompok independen ini, hanya dalam beberapa tahun perjanjian MPPC secara resmi dianggap berakhir dan tidak diberlakukan lagi.
Kebangkitan Hollywood.
MPPC perlahan dilupakan dan kelompok independen di Hollywood semakin berkembang. Mereka menyusun aturan-aturan dan sistem kerja yang baru. Mulai dari sistem produksi sampai eksibisi dan distribusi.
Perusahan-perusahan film ini berkembang pesat menjadi sebuah bisnis besar yang mengarah ke konglomerasi. Mereka memiliki studio film sendiri, membentuk divisi yang mengurus distribusi bahkan memiliki gedung bioskopnya sendiri. Pada masa ini, lahirlah yang dikenal dalam sejarah film Amerika sebagai “The Studio System”, dengan jaringan distribusinya yang semakin meluas ke seluruh dunia.
Perusahan-perusahan film raksasa, 20th Century Fox, Metro-Goldwyn-Mayer, Paramount Pictures, RKO Pictures, dan Warner Brother memimpin industri. Kemudian pada peringkat di bawah lima nama utama ini ada studio-studio yang lebih kecil; Columbia Pictures, United Artists dan Universal Pictures.
Kemudian selebihnya adalah perusahan-perusahan produksi yang lebih kecil lagi dan miskin, yang masih terus berjuang mengembangkan usahanya. Mereka memproduksi film-film yang biasanya disebut B-Movie. Film-film kelas 2 yang dibuat dengan biaya relatif rendah dan ditayangkan di teater-teater dengan harga tiket yang lebih murah.
Secara sederhana, dalam kinerja “Studio System” ini, tim kreatif adalah pekerja tetap di dalam perusahan dan menerima gaji secara rutin sebagaimana bekerja dalam perusahan. Bekerja di sebuah studio film adalah posisi yang sangat bergengsi dan sangat sulit untuk ditembus pendatang baru. Tenaga kerja freelance tidak populer. Beberapa pengecualian pernah terjadi, namun sangat jarang.
Masa ini dikenal sebagai The Golden Era of Hollywood, atau masa keemasan Hollywood, berlangsung dari tahun 1920an sampai awal 1960. Seperti sebuah kudeta yang sukses, yang tadinya adalah ‘pemberontak’ sekarang justru menjadi ‘penguasa’
Gerakan Independen Melawan Gerakan (yang sebelumnya) Independen.
United Artists (UA) adalah sebuah perusahan film and televisi, yang telah berdiri sejak tahun 1919. Ketika ‘Studio System’ yang terus semakin mengukuhkan diri, sebaliknya United Artists justru berjuang melawan arus industri. Mereka mempertahankan idealis mereka, terutama dalam sistem pembayaran kerja para seniman dan kerja-kerja kreatif lainnya dalam sebuah distribusi fillm. Perjuangan mereka sangat berat.
Melanjutkan perjuangan yang dilakukan United Artists, akhirnya pada tahun 1941 sebuah asosiasi dikukuhkan, bernama The Society of Independent Motion Picture Producers (SIMPP). Kurang lebih artinya, Asosiasi Produser Motion Picture Independen. Ini adalah sebuah kelompok yang berkomitmen untuk melindungi dan memberi ruang gerak bagi para pekerja film dari sistem yang mendominasi pada masa itu.
Pada tahun 1942, SIMPP mengajukan tuntutannya. Salah satunya adalah untuk melepaskan perusahan-perusahan besar di Hollywood dari monopoli gedung bioskop. Hal ini bertujuan agar biaya produksi film bisa lebih terjangkau dan selanjutnya lebih mudah dipasarkan. Tuntutan ini dikabulkan oleh pengadilan tinggi Amerika pada tahun 1948, yang akhirnya secara efektif mulai melemahkan dan menghancurkan Studio System yang berlaku.
Runtuhnya Hollywood, Melemahnya Industri Film di Amerika.
Keberhasilan tuntutan United Artists yang bertujuan agar produksi film dapat lebih leluasa berkembang, ternyata tidak terjadi. Sebaliknya, kehancuran Studio System ini justru disusul dengan menurunnya jumlah produksi film. Banyak gedung-gedung bisokop kecil gulung tikar. Beberapa yang berusaha bertahan-pun tidak mendapatkan profit yang diharapkan. Masa kebangkitan acara-acara televisi yang semakin menarik perhatian masyarakat juga memberi tantangan berat untuk bertahannya industri film Amerika yang sudah semakin lemah.
Perlu diingat bahwa masa transisi ini juga terjadi, masih dalam masa pasca perang dunia ke 2, di mana semua perhatian beralih ke isu-isu politik dunia yang sangat mengerikan, menelan banyak korban. Termasuk berbagai gejolak politik yang juga terjadi di Indonesia. Pada masa ini jugalah, muncul teknologi kamera baru, lebih murah dengan ukuran yang lebih mudah untuk dibawa. Ini membuka sebuah kesempatan baru bagi masyarakat yang lebih luas, yang tertarik untuk mengenal dan mempelajari pembuatan sebuah film.
Berbagai kelompok produksi bermunculan di luar Studio System. Kelompok-kelompok independen ini lebih berani mengambil resiko membuat film dengan budget produksi yang rendah, mengusung semangat gerakan French New Wave’s Art Cinema di era 1950 sampai 1960an. Gerakan mendobrak gaya-gaya film yang dianggap konservatif. Mereka bereksperimen habis-habisan melalui gaya editing dan gaya naratif sebuah film, keluar dari yang dianggap sudah standard.
Munculnya film-film independen Amerika yang berani dan bebas ini, mendorong semua nilai sampai batas-batas terjauhnya, termasuk batas-batasan etika konten yang belum pernah disentuh sebelumnya. Kondisi ini menyadarkan kelompok industri, produser dan distributor film Amerika untuk diperlukannya membuat sebuah standard rating, yang fungsinya untuk memberikan panduan batas kelompok usia penonton kepada masyarakat dan calon penonton. Panduan ini dikenal sebagai MPAA Film Rating System, pada tahun 1968.
Daripada bereksperimen dengan konten filmnya, studio-studio besar di Hollywood berusaha bertahan dengan mengalihkan perhatiannya pada pengembangan tampilan film-filmnya. Misalnya dengan mulai membuat film 3D, gambar-gambar dengan resolusi ‘Widescreen’ dan salah satu yang unik pada masa itu; pemutaran film berteknologi “Smell-o-Vision”, di mana penonton dapat mencium bau-bauan yang disesuaikan dengan gambar yang tampil di layar bioskop.
Persaingan ketat industri film di Amerika pada masa ini menghadapkan kelompok dari studio-studio film besar dan kelompok independen ini dalam satu arena. Sebuah arena di mana para pihak bersama-sama tertuntut untuk melakukan berbagai terobosan kreatif dan inovatif untuk menarik perhatian penonton.
Di akhir era 1960an, studio-studio besar ini akhirnya ikut membuka pintu mereka untuk sutradara-sutradara muda, aktor-aktor dan penulis pendatang baru yang belum dikenal. Kondisi ini terus berkembang dinamis sampai awal era 70an. Gelombang baru ini melahirkan film-film yang diproduksi oleh studio besar, namun dengan konten-konten yang tadinya hanya khas milik film-film independen.
Pada masa inilah, istilah dan batasan-batasan ‘film Independen’ menjadi semakin kabur dan tidak relevan. Muncul berbagai kerancuan yang tidak bisa dijawab. Apakah sebuah film independen masih layak disebut independen kalau ada dana studio besar yang ikut mendukung? Ataukah, independen ini mengacu pada spirit yang lebih abstrak, yang artinya lebih tidak jelas lagi ukurannya.
Kriteria Film Independen yang Ber-evolusi
Martin Scorsese, seorang sutradara Amerika dan tokoh penting dalam sejarah industri film di Hollywood, membuat sebuah pernyataan publik dalam pidato pembukaannya di Film Independent Spirits Festival tahun 1990. Martin Scorsese mengatakan “being independent doesn’t mean making low-budget films without studio backing… it is a way for being innovative out of inspiration as well as necessity.” Bahwa, menjadi independen tidak lagi berarti membuat film dengan dana kecil, tanpa dukungan dana studio (besar)… melainkan adalah menciptakan sebuah karya yang inovatif yang sekaligus juga merupakan karya yang penting untuk dibuat.
Film Independent Spirits Festival lahir tahun 1984, sebagai salah satu festival film internasional di Amerika yang dianggap seringkali mempengaruhi keputusan penjurian dalam ajang bergengsi Academy Award. Sepanjang sejarahnya, komite festival menerima banyak pertanyaan dan kritik serius dari media dan berbagai pihak pelaku industri, terutama mengenai batasan yang dipakai untuk menilai sebuah film untuk bisa dimasukkan dalam kriteria film independen.
Dalam sebuah wawancara tahun 2015, Josh Welsh yang duduk sebagai presiden festival tahun itu mengakui bahwa kriteria film independen memang terus berubah dari tahun ke tahun. Satu hal yang terus dipegang adalah spirit independensi itu sendiri, di mana festival akan selalu mencari film-film yang inovatif dan unik, yang belum pernah dibuat sebelumnya.
Walaupun peraturannya juga mematok sebuah nilai maksimal biaya produksi sebagai kriterianya, yaitu untuk semua film dibawah biaya produksi 20 Juta U$ (atau 260 Milliar Rupiah, kalau 1 U$ dinilai 13 ribu rupiah). Tetap saja nilai ini dinyatakan bukan syarat mutlak, karena banyak pengecualian yang sudah pernah terjadi dan akan terjadi di masa mendatang.
Yang perlu ditekankan, festival ini tidak menerima film pendek. Salah satu syaratnya yang lain adalah, hanya film-film telah dikeluarkan secara komersil ke bioskop-bioskop di Amerika yang layak untuk didaftarkan ke festival independen ini.
Sebagai informasi untuk bahan perbandingan untuk kita di Indonesia, pada tahun 2014, festival ini menganugerahkan penghargaan tertinggi (Best Feature, Film Independent Spirit Award) untuk film “12 Years A Slave” yang disutradarai Steve McQueen. Film ini dibuat dengan biaya 22 juta dolar Amerika (286 Millyar Rupiah, dalam kurs yang sama di atas). Film ini juga meraih piala Oscar pada ajang Academy Award tahun yang sama.
Dengan perspektif ini, dibandingakan dengan biaya produksi film termahal di Indonesia. Sampai saat tulisan ini dibuat konon adalah 64 Milyar Rupiah, yaitu film “Trilogi Merdeka” yang disutradari Yadi Sugandi, terdiri dari 3 film yang diproduksi antara tahun 2009 – 2011
Film Independen versi Indonesia, Film Indie
Istilah film independen mulai populer di Indonesia pasca reformasi, ketika rezim orde baru tergeser dari pemerintahan pada tahun 1998. Pergantian kekuasaan ini disusul dengan masa transisi kebijakan-kebijakan pemerintah di berbagai bidang, termasuk kebijakan yang tentang media, termasuk produksi dan distribusi film Indonesia.
Masa transisi ini melemahkan kontrol pemerintah terhadap produksi film. Sedangkan kesadaran masyarakat terhadap kebijaksanaan pemerintah di bidang perfilman-pun sudah cukup lemah setelah mengalami berbagai gejolak politik selama lebih dari satu dekade di akhir masa orde baru. Selain juga kebijakan sensor yang berpihak serta monopoli distribusi film di Indonesia. Kondisi ini juga berlangsung bersamaan dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, termasuk kamera-kamera digital dan komputerisasi dalam proses pembuatan film, sehingga semakin mudah dijangkau masyarakat di Indonesia.
Istilah film indie yang populer di kalangan remaja Indonesia bukan muncul dari kesadaran atas sejarah film, baik sejarah film Indonesia maupun sejarah film dunia. Tapi secara dangkal mengadaptasi dari gerakan independen lain yang sudah beberapa tahun lebih awal. Sebuah gerakan indie yang dimulai di awal 1990an, yaitu dalam dunia rekaman dan distribusi musik.
Band Indie, adalah grup-grup musik yang merekam karya-karya musik mereka dengan biaya sendiri, dikumpulkan bersama-sama teman-teman dan para penggemar mereka, dan dijual melalui toko-toko kecil yang populer dengan istilah distro. Selain karena teknologi sudah memungkinkan, dengan cara ini mereka juga tidak lagi tergantung pada studio-studio rekaman besar yang memiliki jalur distribusi utama di Indonesia.
Berbagai kondisi yang saling terkait di Indonesia membuat istilah film indie sangat gampang diucapkan tapi tanpa definisi yang kritis. Minimnya referensi dan lemahnya kesadaran akan perbedaan format dan struktur bercerita, mengakibatkan film-film yang disematkan label indie di Indonesia ini, ternyata hampir semuanya adalah film-film yang berdurasi pendek.
Indonesia belum pernah memiliki sejarah gerakan perlawanan studio film ini, karena belum ada sebuah sistem yang cukup besar yang pernah secara resmi tercatat dan diakui, baik untuk produksi maupun distribusi. Semua kebijakan-kebijakan dalam ekosistem perfilman di Indonesia sepanjang sejarahnya hanya bersifat aksi dan reaksi atas situasi yang temporer, merespon situasi yang terjadi saat itu. Ini semua kembali lagi karena belum pernah memiliki standard yang jelas untuk dimengerti atau sebuah kepentingan bersama, yang bisa diterima oleh pihak-pihak pelaku produksi. Sebuah regulasi yang produktif yang selalu dirindukan dan di-mimpi-mimpi-kan ini tidak pernah berhasil terwujud untuk produksi dan distribusi di dalam negeri, apalagi untuk jalur ke luar negeri.
Yang terjadi adalah gerakan-gerakan sporadis yang tidak terhubung satu sama lain, baik antar pemerintah maupun penggiat produksi. Juga antar kelompok-kelompok produksi di Indonesia. Selanjutnya juga antara kelompok-kelompok produksi nasional ketika berhadapan dengan standard distribusi Internasional.
Kalau memang benar semangat independensi seperti ini yang ingin diusung, mungkin ini kurang strategis untuk pengembangan industri film nasional. Atau pertanyaan lainnya adalah, seberapa penting istilah ini untuk terus digunakan untuk menjelaskan sejenis produksi film Indonesia?
(sumber foto: internet, digunakan tanpa tujuan komersil)
Pustaka on-line untuk referensi selanjutnya:
https://www.filmindependent.org/spirit-awards/
https://en.wikipedia.org/wiki/Independent_film
https://en.wikipedia.org/wiki/Movie_camera
https://en.wikipedia.org/wiki/Studio_system
https://en.wikipedia.org/wiki/Kodak
https://en.wikipedia.org/wiki/United_Artists
http://sumpiuhmp3.blogspot.co.id/2012/06/sejarah-musik-indie-di-indonesia.html
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/24/nio7n7-kebijakan-pemerintah-terhadap-industri-film-dipertanyakan
https://id.wikipedia.org/wiki/Perfilman_Indonesia
https://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_and_Louis_Lumi%C3%A8re
https://en.wikipedia.org/wiki/Cinema_of_the_United_States
http://www.filmsite.org/pre20sintro4.html
http://www.encyclopedia.com/arts/culture-magazines/american-film-industry-early-1950s
https://www.lightsfilmschool.com/blog/whatisanindependentfilm
http://www.telegraph.co.uk/culture/film/film-life/7593291/The-long-history-of-short-films.html
http://www.documentary.org/magazine/world-cinema-film-cultural-history
https://www.cypruscinema.com/article_world-cinema-history
https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_film
http://www.documentary.org/magazine/world-cinema-film-cultural-history