Pernahkah terbayang, bagaimana cara memberikan akses bagi orang Tuli untuk menonton film? Jika jawabannya adalah melalui subtitle, tentu benar. Namun subtitle yang seperti apa? Apakah subtitle adalah istilah yang tepat? Di saat yang sama, upaya memberikan akses yang lebih inklusif, juga hadir dalam kegiatan yang barangkali dianggap mustahil bagi orang Tuli, yakni bernyanyi. Hal inilah yang berusaha ditampilkan dalam film dokumenter pendek Senandung Senyap (A Sonorous Melody) (Riani Singgih, 2022). Sebuah film yang tidak hanya berhenti pada upaya representasi, namun juga aksesibilitas menonton bagi orang Tuli.
Berlatar di Jakarta, film dokumenter pendek Senandung Senyap menyusuri kisah Hasna Mufidah atau yang akrab dipanggil Mufi, seorang perempuan Tuli, dalam perjalanannya membentuk karir di bidang musik. Sejak awal film, kita melihat Mufi berlatih untuk penampilannya bersama Pamungkas, dalam pagelaran musik We The Fest 2019. Mufi tampak berdiskusi dengan interpreternya untuk menggali lebih dalam makna dari lagu yang akan dia nyanyikan – Intro I dalam album Walk The Talk oleh Pamungkas. Di paruh akhir film pun, Mufi juga ditunjukkan dengan bangga menyanyikan lagu yang dia tulis, yang berjudul Power, tentang kesetaraan untuk Tuli.
Menarik untuk menyaksikan bagaimana istilah “menyanyi” tetap digunakan dalam film ini. Prihal istilah ini, mengingatkan saya pada film dokumenter pendek End of The Tunnel (Garry Christian, 2021) yang mengisahkan 3 orang pengkarya disabilitas netra. Dalam pengalaman menonton film, mereka menolak untuk mengubah terminologi “menonton”, meski tidak melihat film secara langsung. Menurut mereka, film dan menonton adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Begitulah juga Mufi memaknai usahanya. Menurutnya, orang Tuli tetap bisa menyanyi, namun bukan lewat suara, melainkan dengan bahasa isyarat.
Film Senandung Senyap pada dasarnya mampu memberikan ruang yang cukup leluasa untuk Mufi berbahasa isyarat. Riani sebagai filmmaker menunjukan kedekatannya dengan Mufi sebagai subjek filmnya. Kedekatan ini terlihat dari bagaimana Mufi yang begitu luwes dalam menuturkan kisah hidupnya. Melalui selera humornya, Mufi bahkan sempat memparodikan suatu situasi, ketika bel rumahnya ditekan, dan dirinya berjoget.
Keluwesan ini tidak hanya muncul dalam interaksi, namun juga pengambilan gambar yang dinamis dan cekatan dalam menangkap momen. Misalnya, saat Mufi berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang ingin belajar bahasa isyarat. Gambar diambil di atas pundak orang-orang ini (over the shoulder), menjadikan Mufi sebagai centre of frame – menunjukkan betapa telaten dan ramahnya dia dalam memberikan penjelasan.
Akan tetapi, dampak lain dari pengambilan gambar yang dinamis ini, adalah tidak seluruh penggunaan bahasa isyarat mampu ditangkap kamera. Dari 2 orang yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat, mungkin hanya salah satunya yang dapat diidentifikasi. Tidak tercapainya sisi yang ideal ini, tidak bisa dianggap sebagai kesalahan. Barangkali, memang ada tujuan yang lebih besar dari film berbahasa isyarat, yakni film yang inklusif – film yang dapat ditonton oleh orang dengar (yang tidak berbahasa isyarat) dan komunitas Tuli. Disinilah, open caption dihadirkan.
Hadirnya Open Caption
Istilah open caption sendiri, mempunyai sedikit perbedaan makna dengan subtitle serta closed caption. Caption, baik open maupun closed merupakan teks yang mengacu pada dialog beserta audio lainnya dalam bahasa yang sama. Jika open caption merupakan teks yang telah menyatu (burned-in) dengan video, maka closed caption memberikan opsi pada penonton video mengaktifkan atau menonaktifkan teks audio sesuai kebutuhan. Sementara itu, subtitle merupakan teks yang digunakan dalam kebutuhan alih bahasa.
Dalam upaya menuju inklusivitas menonton (baik film, maupun audio visual lainnya), dihadirkan juga subtitle untuk komunitas Tuli dan mereka yang kesulitan mengakses informasi melalui suara. Subtitle jenis ini dikenal dengan istilah SDH (Subtitles for Deaf or Hard of Hearing) – yang difungsikan sebagai alih bahasa sekaligus penjelasan suara. Aktivisme sinema inklusif, hadir di Inclusive Program Minikino Film Week 9, termasuk film Senandung Senyap dikemas dalam program khusus yang dilengkapi dengan Closed Caption (CC) dan Audio Description (AD) – bahkan ada yang menampilkan keduanya sekaligus.
Open caption dalam film Senandung Senyap, tidak hanya menjadi sesuatu yang esensial, ia juga sesuatu yang spesial. Hal yang seketika menoreh perhatian tentang open caption dalam film ini, adalah penggunaan gaya huruf (font). Tidak dapat diidentifikasi secara pasti, nama font yang digunakan, namun dalam film ini, ada 2 jenis font dengan kesan formal dan informal. Sebagian besar teks disajikan dengan font formal. Sementara, font jenis informal biasanya digunakan dalam memberikan penekanan kalimat dan sewaktu Mufi bernyanyi. Beberapa bahkan ada yang ditampilkan dalam ukuran yang lebih besar. Jenis font ini, kemudian disokong juga dengan penggunaan grafis bergerak berupa notasi musik, yang mengiringi permainan musik tiap kali dimainkan.
Penempatan, adalah hal yang selanjutnya dapat diperhatikan terkait penggunaan open caption dalam film ini. Seperti yang sempat disinggung sebelumnya, karena pengambilan gambar yang dinamis, beberapa percakapan, baik dengan, maupun tanpa suara tidak ditampilkan secara utuh. Hal tersebut, kemudian diakali secara cerdik, melalui penempatan open caption sesuai dengan sumber suara. Apabila sang pembicara berada di luar kiri frame, maka open caption akan ditempatkan di sebelah kiri frame. Begitu pula sebaliknya.
Awalnya, saya pikir ragam kreasi open caption barangkali hanya menjadi inovasi dalam pendekatan artistik, sebelum kemudian dicoba pendekatan lain dalam menonton film ini. Sebagai Festival Writers tahun ini, saya mendapat kesempatan menonton screener yang ditonton secara privat. Sebagai orang dengar, saya kemudian mencoba untuk menontonnya tanpa suara. Hal utama yang dapat diperhatikan adalah, penggunaan open caption dan grafis notasi musik, menimbulkan dampak lebih signifikan – karena melalui inilah dapat diketahui apa yang dibincangkan para tokoh dalam film ini dan kapan musik dimainkan.
Pembacaan tentang fungsi penempatan open caption pada paragraf sebelumnya pun, baru disadari saat menonton film ini tanpa suara. Di samping itu, pemaknaan “menyanyi” oleh komunitas Tuli, lebih mampu dimengerti, melalui bahasa isyarat dan ekspresi Mufi sebagai wadahnya untuk bernyanyi. Hal tersebut, tentu akan jauh lebih bermakna jika memahami bahasa isyarat.
Dengan menghadirkan orang Tuli sebagai subjek dokumenter, Senandung Senyap, mengajak kita untuk mawas terkait isu aksesibilitas. Mendorong kebutuhan untuk menampilkan caption dalam film untuk akses yang lebih luas. Terlebih, Senandung Senyap menggunakan Open caption dengan begitu kreatif dan mampu mengupayakan kebutuhan komunitas Tuli, melalui penekanan jenis font dan ukuran, penempatan, serta grafis notasi musik. Alangkah menariknya, apabila bisa menonton tidak hanya versi dengan suara, namun juga versi tanpa suara. Sebab baru disanalah, si open caption berlenggang, mendampingi senandung yang senyap.
Discussion about this post