Pada akhir tahun 2021 lalu, saya dipercaya untuk menjadi sutradara dalam sebuah pementasan teater. Ini kali pertama saya menjadi sutradara, jadi peran tersebut bukan saja sulit secara praktik namun juga secara mental. Satu-satunya pengalaman terlibat dalam produksi teater hanyalah menjadi bagian dari penata kostum ketika magang di UKM teater kampus. Oh! Tentu saja ditambah bekal teori mata kuliah Kajian Drama I. Itu saja dan sisanya menjadi penonton tanpa pernah terlibat produksi sebuah pertunjukan teater. Namun, tentu saja semua ketakutan tidak saya biarkan hinggap dan terus meracau di kepala sampai hari pementasan tiba. Saya takut.
Meskipun saya berhasil menaklukkan rasa takut tersebut, pergolakan batin terus berlanjut. Kelompok teater saya beranggotakan 15 orang. Bagaimana mengolah naskah yang hanya berisi empat tokoh anggota keluarga hingga semua aktor memiliki peran? Saya sangat bingung waktu itu. Proses bedah naskah dilakukan berhari-hari didampingi pembimbing, sampai akhirnya kami memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Berangkat dari kesadaran bahwa setiap keluarga memiliki persoalan umum yang hampir sama, kami tidak hanya menyajikan satu keluarga melainkan tiga.
Upaya yang kami lakukan agar penonton bisa mengenali perbedaan keluarga-keluarga tersebut adalah menyajikannya dengan beragam suku. Ada suku Betawi, Jawa, dan Minang yang sempat menjadi pilihan. Namun, setelah saya berpikir ulang, kami memang memiliki anggota kelompok dari Betawi dan Jawa. Tapi bagaimana dengan Minang? Kami tidak memiliki anggota dari suku tersebut, apakah kami bisa dan mampu membawakan dialog dalam naskah dengan dialek Minang tanpa memahami bahkan bukan bagian dari suku tersebut? Saya juga berpikir tentang bagaimana jika ada masyarakat Suku Minang yang menonton pementasan kami dan mempertanyakan hal tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah saya bagikan kepada siapapun, hanya tertanam dalam batin dan pikiran saja. Namun yang jelas saya meminta teman-teman untuk mencari suku lain yang dekat dan mampu kami bawakan. Setelah proses berpikir dan pencarian panjang, kami memilih suku Ambon sebagai suku dari keluarga yang akan kami pentaskan. Pemilihan suku Ambon didasari oleh salah satu teman yang memiliki garis keturunan dari suku tersebut. Proses belajar dan membiasakan dialek maupun adat istiadat pun berdasarkan pengetahuan yang teman kami miliki.
Ada sedikit perasaan lega ketika mengetahui bahwa ketiga suku yang kami tampilkan di pentas diperankan oleh orang-orang dari suku tersebut. Pengalaman menyutradari teater pementasan tersebut muncul kembali saat saya bertemu virtual dengan Liisa Holmberg yang berada di Norwegia. Liisa adalah Film Commissioner di International Sámi Film Institute (ISFI) salah satu pembicara tamu di Minikino Hybrid Internship for Film Festival Writers tahun ini. Saya merupakan salah satu peserta terpilih pada program tersebut. Saat bertemu Liisa Holmberg, muncul perasaan selepas membaca The Pathfinder, sebuah panduan untuk bertanggung jawab pada pembuatan film yang melibatkan orang-orang Sámi dan budayanya. The Pathfinder sendiri berfungsi sebagai panduan praktis bagi pembuat film yang ingin melibatkan topik dan orang-orang Sámi dengan cara yang beradab. Di sisi lain, The Pathfinder berupaya menunjukkan nilai-nilai yang dihargai orang-orang Sámi dan memberikan panduan untuk menghindari penggambaran yang keliru terhadap mereka. Mereka beranggapan bahwa produksi film yang melibatkan orang-orang Sámi harus dilaksanakan dengan sensitivitas serta pemahaman terhadap sejarah dan realitas mereka hari ini.
Industri film Sámi mulai dikenal secara global dengan film Ofelaš (Pathfinder) yang menjadi nominasi Oscar pada tahun 1987. Pathfinder merupakan kali pertama orang-orang Sámi menyaksikan film yang menceritakan tentang mereka dengan bahasa yang juga milik mereka. Sebagai industri yang masih terus berkembang, pada tahun 2009 dibentuk International Sámi Film Institute untuk mendukung film berbahasa Sámi. The Pathfinder sebagai berupaya memberikan informasi bahwa orang-orang Sámi belum memiliki kesempatan untuk mengembangkan seluruh potensi yang mereka miliki dalam film. Maka mereka mengharapkan para pembuat film dari kalangan masyarakat mayoritas untuk menyadari posisi privilege mereka.
Terdapat salah satu bagian yang menohok perasaan saya dalam panduan tersebut, bahwasanya kita (atau saya lebih tepatnya) kerap lupa bahwa semua hal yang dapat saya lakukan dan katakan merupakan sudut pandang dari seseorang yang memiliki privilege. Sementara kelompok minoritas termasuk masyarakat adat, tidak berada dalam posisi yang sama dengan saya. Menghargai orang lain adalah hal yang sangat penting.
Saya rasa tidak hanya orang-orang yang berkecimpung dalam industri film, melainkan seluruh kalangan dapat membaca panduan yang diberikan Liisa untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sadar atau tidak sadar, frasa ‘menghargai orang lain’ kerap kita dengar di mana pun. Misalnya sesederhana mendengar dan menyimak orang lain yang sedang berbicara. Terdengar sangat mudah namun seringkali luput dari kita, atau barangkali justru karena mudah maka kita cenderung mengabaikannya? Apapun itu menurut saya “menghargai orang lain” adalah sesuatu yang fundamental dan perlu dibangun juga diresapi dalam konstruksi berpikir kita.
The pathfinder telah banyak memberikan wawasan baru untuk tidak hanya menghargai orang lain, sekaligus menyadarkan saya bahwa posisi di mana kita berbicara juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Sebab terdapat banyak faktor yang mempengaruhi alasan di balik cara kita melihat, berbicara, dan berpikir terhadap sesuatu hal yang tidak dapat disamaratakan antara individu satu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, The Pathfinder berupaya mengajak orang-orang dalam industri film untuk membangun kesadaran kolektif terhadap darimana mereka berasal.
Pertemuan dengan Liisa tidak hanya menambah keinginan saya untuk mengunjungi Norwegia saja, melainkan menambah pengetahuan pada bagaimana industri film di wilayah Sápmi bekerja. Tidak hanya itu, kesempatan untuk bisa mengakses bacaan yang luar biasa inspiratif dan brilian juga merupakan salah satu hal yang saya syukuri. Terima kasih Liisa. Terima kasih Minikino.
Discussion about this post