Lebih sulit membayangkan akhir dunia ketimbang akhir kapitalisme, ceunah. Sebenarnya, yah, banyak cenayang dan nujumania berusaha memprediksi akhir kapitalisme. Bagaimana tidak? Kita terus berhadapan krisis dan gejolak tiap beberapa tahun sekali. Tapi, ketimbang berakhir, kita malah berada di entah jenis atau tahapan kapitalisme yang kesekian, dan jika saya tak salah kira (kalau tidak salah harusnya benar, sih), semua orang sekarang bergumam-gumam di ujung lidah mereka, inilah kapitalisme lanjut (late-stage capitalism) ― sistem ekonomi yang menjadikan semua hal yang bahkan non-material menjadi komoditas untuk dikonsumsi.
Pembangunan yang menjadi tentakel kapitalisme paling raksasa terus menjalar tak terkendali. Ia tak malu-malu merampas tanah dan lahan untuk berbagai macam jualannya—termasuk gaya hidup yang dijajakan melalui turisme a la-a la: skema healing dengan berbagai macam pemandangan alam dari teras-teras hotel dan layanan ba bi bu bi-ntang lima. Jualan ini dibungkus dengan eksotis dan dipasarkan melalui layar-layar yang mengaburkan dunia maya dan nyata. The Sunset Special (2021) karya sutradara dan penulis Nicolas Gebbe dari Jerman, bermain-main dalam kaburnya batas dunia maya dan nyata ini―animasi yang, dengan booming-nya AI hari-hari belakangan, terasa dibuat oleh AI, tapi dengan seluruh kejituan yang tak mungkin bisa diproduksi oleh AI untuk menyentil elemen-elemen kapitalisme lanjut.
Visual yang Nakal Mengusik
Di awal film, kita disuguhkan interface layaknya sebuah gim: menu pilihan karakter dan latar belakang situs permainan. Lalu karakter terpilih― seorang bapak-bapak―terlihat naik motorboat menuju sebuah pulau untuk berlibur. Di latar belakang, kita melihat (dalam kualitas yang tak seberapa) kumpulan foto-foto liburan eksotis dalam sebuah feed Instagram, kumpulan foto-foto yang sering kita temui dari liburan orang-orang biasa, influenser, hingga marketing-marketing liburan yang terkurasi untuk membuat suatu citra gaya hidup aspirasi (#goals) kelas menengah ke atas. Semuanya terasa palsu, jika animasi ini―yang terinspirasi dari realita―adalah palsu, apakah realita kita juga palsu? Sesekali, animasi ini menghadirkan glitch yang seharusnya mengganggu, tapi glitch dalam film hanya terasa layaknya bagian dari fenomena layar saja yang sering kita temui. Glitch adalah bagian dari realita yang tak nyata. Kombinasi antara animasi yang jelas-jelas tak nyata dan bahkan berkualitas rendah dengan feed Instagram yang mengkurasi citra-citra nyata tak nyata di menit-menit awal sudah cukup membuat saya terkekeh geli, dan bahkan karakter bapak itu pun belum sampai di pulau.
Sesampainya di pulau, kita diperlihatkan pulau berisikan kumpulan gedung-gedung dengan bentuk paling generik di dunia modern ini: kotak-kotak tinggi berwarna abu-abu. Tak ada yang spesial dari pulau itu, kecuali karena kita sudah “diberi tahu” di awal bahwa pulau tersebut adalah pulau yang “spesial” dan “mahal” sebagai destinasi liburan. Hanya hamparan kotak-kotak tinggi yang dihubungan dengan hamparan aspal yang sama abu-abunya, didekorasi dengan secercah hijau-hijau palsu di antaranya. Begitulah kapitalisme bekerja: ia sesungguhnya hanyalah ekspansi hal-hal generik yang paling mudah dijual di pasar. Berbekal teknologi, ia mengaburkan yang nyata dan maya, dan membungkus jualannya di dunia maya sebagai sesuatu yang diidam-idamkan (desirable) di dunia nyata.
Bertemu dengan seorang ibu yang juga sedang liburan tapi tak bisa menemukan anaknya, si bapak ini menelusuri pulau bersama si ibu sekaligus membantu mencari anaknya. Telusuran di pulau pun hanya menyuguhkan kotak-kotak abu-abu yang lebih banyak, aspal yang lebih luas, dan blok-blok hijau yang lebih palsu, masih dengan suguhan glitch yang mengganggu. Anaknya kemudian ditemui di sebuah taman hiburan: sang anak memiliki desain karakter seperti boneka yang, sejujurnya, agak menyeramkan. Sang anak tidak dihadirkan kembali di ruang manapun; di pulau liburan yang (seharusnya) cukup luas untuk berlibur itu, ruang yang hanya bisa diakses oleh seorang anak―yang bahkan tak punya cukup agensi dalam animasi ini untuk berkata atau bertindak apapun―hanyalah sebuah taman hiburan yang sama seram dan mengganggu (eerie)-nya seperti desain karakter anak itu.
Setelah si bapak dan si ibu check-in di hotel, kita disuguhkan visual glitching keras dengan audio yang melambat dan glitching pula. Lalu, animasi berpindah ke video tur promosional hotel dengan segala beach area, city view, pool area, dan tetek bengek lainnya. Pengalaman (yang seharusnya) pribadi liburan si bapak dan ibu digantikan dengan iklan turisme yang sangat generik, dan kita tak tahu persis apa saja yang dilakukan para turis selama berlibur di hotel. Tidak ada cerita liburan yang bisa kita ikuti (secara naratif) selama mereka di hotel, hanya suguhan pemandangan eksotis yang (tak) menarik.
Glitching dan kualitas gambar absurd menjadi elemen konstan dalam film yang terus mengusik pengalaman berlibur, bahkan ketika berpindah ke visual tur promosional hotel. Promosi spot liburan eksotis yang harusnya cukup menggoda selalu ditebas oleh gangguan-gangguan visual tersebut, menyisipkan perasaan tak nyaman selama menonton dan menghambat perasaan penonton untuk jatuh terlena atas tempat liburan yang sedang “diiklankan”. Iklan liburan yang biasa menjual eskapisme dari kepusingan duniawi justru dibuat memusingkan dalam animasi ini. Hal ini kemudian membuat penonton―mungkin saya, khususnya―harus berhadapan dengan ke(tidak)nyataan industri turisme yang berkelindan dengan teknologi pemasaran dalam strategi kapitalisme lanjut. Karena belakangan ini, citra yang dibuat(-buat) dan dikurasi oleh turisme kapitalis hanyalah imaji semu, namun tetap terjadi di sekitar kita, seiring kaburnya batas-batas realita masa kini.
Cakap yang Jahil Mencibir
Tak hanya mengusik mata, animasi ini juga janggal di telinga, menegaskan kejituan cibiran animasi atas kapitalisme. Semua dialog disuarakan oleh suara layaknya suara monoton mesin text-to-speech penerjemahan Google yang tentu menimbulkan kesan tak natural. Meski isi dialog menyatakan bahwa para karakter menikmati liburan mereka, motivasi emotif yang biasa menyelubungi cerita pengalaman liburan―senang, gembira, bersemangat, terkesima―habis ludes tergantikan dengan datarnya nada bicara mesin text-to-speech, dan justru menyisakan perasaan janggal dan tak nyaman. Disjungsi antara isi dialog yang sangat berlebihan menyatakan kesenangan mereka menikmati liburan dan datarnya nada suara mereka juga jadi elemen konstan yang mengganggu sepanjang film.
Isi dialognya pun cukup menyentil. Saat si bapak dan si ibu berjalan-jalan di antara gedung-gedung, si bapak dan si ibu memuji luar biasa bagaimana unik dan historisnya arsitektur hamparan kotak-kotak abu-abu generik itu, membuat saya kembali terkekeh geli. “I can feel the history here.” Sejarah macam apa yang mungkin tergambar di sudut-sudut balok-balok itu?―balok-balok biasa layaknya tumpukan lego yang disusun serampangan. Belum lagi, saya harus mendengar antusiasme bombastis mereka soal (non-)eksistensi sejarah arsitektural dengan nada datar dan monoton. “Everything feels so alive.” Sementara, hamparan pemandangan kota lego ini yang tersaji dalam animasi adalah pemandangan yang sangat tak bernyawa, dan mereka yang mengatakannya pun terdengar tak bernyawa. Lifeless.
Dialog lainnya ada yang menaikkan bulu-bulu halus di tangan saya. Setelah ditampilkan visual desain karakter anaknya yang serupa boneka, tak bicara sepatah kata pun dan tak melakukan apapun, si ibu memuji-muji anaknya dengan jargon-jargon produktivitas: “she pushes herself every day. She likes to be ahead, growing up in a world like this.” Di dunia seperti ini―realita yang dipenuhi kepalsuan hasil kurasi citra a la kapitalisme―apakah nilai seorang anak kecil hanya berharga jika ia menunjukkan tendensi produktif toksik a la hustle culture, tunduk tanpa memperlihatkan agensi dan kapabilitasnya yang lain selain bekerja keras di bawah tekanan pasar? Si bapak mengiyakan pujian si ibu, “discovering and solving problems is an attribute that comes in handy later in life … fundament of a successful and happy life.” Pujian semacam ini terus diulang-ulang dalam percakapan si ibu dan si bapak yang bergantian mengamini―lagi, dengan nada yang monoton dan robotik.
Dialog menyentil tak hanya datang dari si ibu dan si bapak, tapi juga sang resepsionis hotel. Ia menawarkan fasilitas hotel dengan racauan tanpa henti, hingga ia terdengar tak masuk akal: “the ocean sweet comfort lounge sun area unique experience special visit elegant interior deluxe edition the boutique and the reception area vintage furniture premium visitor discount customized events weddings receptions incentives or seminars fitness center included twenty four hours room service true delight and relaxation in the garden and spa elegant décor and spacious luxury suites feature living and bathroom and restaurant on site continental breakfast beautiful scenery panoramic views”―jargon-jargon generik yang sering kita temui pada promosi hotel turisme, yang ketika terpisah mereka adalah kata-kata deskriptif yang menawarkan segala kemewahan dan keindahan pengalaman liburan, tapi ketika digabungkan dan diulang-ulang ia hanya menjadi kumpulan kata-kata tak masuk akal yang luar biasa konyol di telinga. Industri turisme jadi terdengar sangat konyol dalam racauan ini, tapi nyatanya, kekonyolan itulah yang dijual di pasaran.
Sekonyol apapun marketing liburan The Sunset Special, si bapak dan si ibu tetap terkesan puas setelah menikmati liburan. Ah, yang ada, mereka juga jadi meracau konyol: sekeluarnya mereka dari hotel, mereka secara bergantian makin bombastis memuji-muji layanan yang disuguhkan, “Very special. Inspiring. Delightful. Excellent. Incredible. Wonderful. Glamorous. Exceptional. Fantastic. Amazing. Touching. Impressive. Beautiful. Lovely. Mind-blowing.” Tentu, masih dengan nada robotik yang sama, memberikan kesan tak berarti meski mereka sedang menyatakan betapa berartinya pengalaman liburan mereka.
Dengan kombinasi visual dan dialog semacam itu, The Sunset Special jadi karya animasi yang jitu dalam kenakalan dan kejahilannya mengolok-olok industri turisme di tengah-tengah moda kapitalisme lanjut ini. Visual yang mengganggu tersebut memang tak nyaman di mata, tapi kita tak bisa memalingkan mata karena dialog yang robotik dan juga menggelitik untuk didengar itu, yang sesekali memberi penghiburan dan membuat terkekeh. Paduan keduanya jadi memaksa kita untuk terus menancapkan perhatian pada animasi yang mengganggu itu, dan secara langsung-tak-langsung, memaksa kita juga untuk menghadapi ke(tidak)nyataan industri turisme di bawah kapitalisme lanjut.
Namun, saya jadi membayangkan, jika pemasaran industri turisme dibuat semengganggu dan sekonyol ini, apakah masih akan ada yang mau berlibur ke hotel-hotel dan resor-resor bintang lima itu? Sejujurnya, saya rasa jawabannya masih. Karena segetol apapun kritik terhadap moda ekonomi berorientasi profit ini, late stage capitalism belakangan ini mampu menjadikan apapun menjadi menguntungkan buat para pendukungnya di pasar―menghisap segalanya bagai lubang hitam untuk konsumsinya sendiri. Lihat saja tayangan di beberapa platform streaming yang sekarang mendominasi pasar; sudah banyak tayangan yang mengkritik kapitalisme itu sendiri, tapi tetap ditayangkan dengan mekanisme pasar yang meraup untung sebanyak-banyaknya bagi mereka yang duduk di kaki-kaki langit. Lagi-lagi, kata mereka, lebih mudah membayangkan akhir dunia ketimbang akhir kapitalisme. Begitulah, mungkin, kapitalisme lanjut yang terus melanjutkan kapitalisme sampai akhir jaman.
Discussion about this post