Minikino
  • Home
  • SHORT FILMS

    Rona Warna Raga: Tubuh yang Belajar Pulang

    Still Film La Perra (2023) dan Masterpiece Mommy (2024)

    Yang Hilang dan Ditemukan: Relasi Ibu dan Anak Perempuan dalam Film “La Perra” dan ‘Masterpiece Mommy”

    Still Film My Therapist Said, I'm Full of Sadness (2024) oleh Monica Vanesa Tedja

    Problematika SOGIESC dan Gender Dysphoria dalam Narasi Intim Monica tentang Penerimaan Keluarga

    Still Film Tutaha Subang (Indonesia, 2024) disutradarai Wulan Putri

    Mempertanyakan Tutaha Subang : Kami Sudah Berjuang, tapi Kami Hanya Perempuan?

    Still Film WAShhh (2024) directed by Mickey Lai, produced in Malaysia and Ireland

    WAShhh (2024): How Naturality was Forced to Be Masked with Neutrality

    Still Film Dia Pergi Dan Belum Kembali (2024) sutradara Riani Singgih, diproduksi di Indonesia

    Perlawanan dalam Ingatan Melalui Dokumenter Traces of My Brother

    Still Film Yongky's First Heartbeats (2024) sutradara Giovanni Rustanto, diproduksi di Indonesia

    Yongky’s First Heartbeats: Relasi Kuasa, Lapisan-Lapisannya, dan Upaya untuk Merekonstruksi Ingatan

    Still Film Program Minikino 4+, (Baris pertama dari kiri ke kanan): Balconies (2024) karya Xenia Smirnov; Chalisa (2024) karya Swati Agarwal; Filante (2024) karya Marion Jamault. (Baris ke dua dari kiri ke kanan): Kukeleku (2024) karya Jelle Janssen; The Girl With The Occupied Eyes (2024) karya André Carrilho; Hello Summer (2024) karya Martin Smatana, Veronika Zacharová.

    Minikino 4+: Film Pendek Sebagai Taman Bermain Semua Umur

    Still Film Above the Tamarind Tree (2024) sutradara Buthyna Al-Mohammadi

    Temu-Kenali Jalinan Relasi Lintas Spesies

  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • ABOUT
No Result
View All Result
Minikino Articles
  • Home
  • SHORT FILMS

    Rona Warna Raga: Tubuh yang Belajar Pulang

    Still Film La Perra (2023) dan Masterpiece Mommy (2024)

    Yang Hilang dan Ditemukan: Relasi Ibu dan Anak Perempuan dalam Film “La Perra” dan ‘Masterpiece Mommy”

    Still Film My Therapist Said, I'm Full of Sadness (2024) oleh Monica Vanesa Tedja

    Problematika SOGIESC dan Gender Dysphoria dalam Narasi Intim Monica tentang Penerimaan Keluarga

    Still Film Tutaha Subang (Indonesia, 2024) disutradarai Wulan Putri

    Mempertanyakan Tutaha Subang : Kami Sudah Berjuang, tapi Kami Hanya Perempuan?

    Still Film WAShhh (2024) directed by Mickey Lai, produced in Malaysia and Ireland

    WAShhh (2024): How Naturality was Forced to Be Masked with Neutrality

    Still Film Dia Pergi Dan Belum Kembali (2024) sutradara Riani Singgih, diproduksi di Indonesia

    Perlawanan dalam Ingatan Melalui Dokumenter Traces of My Brother

    Still Film Yongky's First Heartbeats (2024) sutradara Giovanni Rustanto, diproduksi di Indonesia

    Yongky’s First Heartbeats: Relasi Kuasa, Lapisan-Lapisannya, dan Upaya untuk Merekonstruksi Ingatan

    Still Film Program Minikino 4+, (Baris pertama dari kiri ke kanan): Balconies (2024) karya Xenia Smirnov; Chalisa (2024) karya Swati Agarwal; Filante (2024) karya Marion Jamault. (Baris ke dua dari kiri ke kanan): Kukeleku (2024) karya Jelle Janssen; The Girl With The Occupied Eyes (2024) karya André Carrilho; Hello Summer (2024) karya Martin Smatana, Veronika Zacharová.

    Minikino 4+: Film Pendek Sebagai Taman Bermain Semua Umur

    Still Film Above the Tamarind Tree (2024) sutradara Buthyna Al-Mohammadi

    Temu-Kenali Jalinan Relasi Lintas Spesies

  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • ABOUT
No Result
View All Result
Minikino
No Result
View All Result
Home SHORT FILMS

Ulasan Pemutaran S-Express 2016 Myanmar di Irama Indah, Denpasar

Film-Film Pendek Myanmar dengan Segala Keterbatasannya

Maria Rosiana Sedjahtera by Maria Rosiana Sedjahtera
February 4, 2017
in SHORT FILMS
Reading Time: 3 mins read

S-Express 2016 Myanmar diputar di Minihall Irama Indah, Denpasar, Bali, pada tanggal 14 Januari 2017. Pemutaran dimulai jam 7 malam sesuai rencana denga beberapa orang yang terlambat datang. Acara screening dibuka secara singkat oleh Edo Wulia dan saya sendiri yang kebetulan malam itu bertugas menjadi moderator.

Setelah film pertama “Chasing Roses” selesai diputar, terjadi kendala sinyal yang disusul kendala teknis, laptop yang digunakan sebagai player tiba-tiba meminta restart dan tidak bisa menyala lagi. Tertuduh utama adalah fitur automatic update Window10 yang membuat semua penggunanya tidak berdaya. Kejadian ini bertepatan ketika sedang mencoba menghubungi sutradara Kriz Chan Nyein via Skype. Gangguan ini menyebabakan pemutaran terhenti selama kurang lebih 15 menit. Sambil menunggu penanganan masalah teknis, saya sebagai moderator berusaha mengulur waktu untuk menjelaskan mengenai latar belakang negara Burma, juga mengenai sensor ketat yang diberlakukan pada media dan khususnya pada film.

Suasana penonton di Irama Indah saat menonton pemutaran S-Express 2016 Myanmar

Syukurlah, para penonton yang sudah datang dari jam 19.00 tetap setia dan sabar menunggu, dan penonton-penonton baru mulai bermunculan, sehingga kurang lebih hadir 30 orang pada malam itu. Walaupun tidak ada yang bisa memprediksi, sampai berapa lama gangguan akan bisa diatasi, ternyata setelah kurang lebih 15 menit, player berhasil berfungsi kembali. Screening dilanjutkan sampai semua film dalam program diputar tanpa ada halangan lagi.

Di akhir screening, tim teknis berusaha untuk menghubungi kembali sutradara film pertama, Kriz Chan Nyein, namun tidak tersambung sehingga dilanjutkan dengan sesi diskusi selama kurang lebih 20 menit.

Kebanyakan penonton menyukai film terakhir, sebuah dokumenter pendek berjudul “The Special One” dari Lamin Oo, mungkin karena film ini memang menjadi film yang paling terasa menghibur dibandingkan 3 film lainnya. Film ini sekilas bercerita mengenai majikan penjual ikan yang sangat terpengaruh oleh club sepak bola Chelsea, ia sampai-sampai meminta seluruh pegawainya di sebuah pasar ikan untuk setiap hari memakai baju Jersey Chelsea.

Ada komentar yang menarik dari salah seorang penonton, menurutnya “The Special One” tidak hanya menceritakan soal bola saja, tetapi bola dan cerita yang ditawarkan dari film dokumenter ini seakan menggambarkan dominasi dan represi yang terjadi di Pemerintahan Myanmar. Timbul kesan bahwa ini adalah kreativitas filmmaker di Myanmar untuk menyikapi keterbatasan yang ada. Negara Burma atau yang dikenal juga sebagai Myanmar ini memang memiliki sensor yang ketat pada media informasi. Memang, pada tahun 2012 pemerintah dibawah Thein Shen sudah lebih membebaskan media informasi cetak. Namun film masih perlu melewati lembaga sensor pemerintah, dan pada Juni 2016 yang lalu, film panjang berjudul “Twilight Over Burma” dilarang tayang pada Human Rights Human Dignity International Film Festival dengan alasan dapat mengancam perdamaian di negara Myanmar sekarang. Berbagai artikel mengenai hal ini dapat dibaca, salah satunya pada http://www.burmalink.org/film-censorship-burma-underlines-existing-limits-freedom-expression/

Seorang penonton menyatakan bahwa melalui program film-film Myanmar ini, memang terasa adanya keterbatasan dalam bertutur cerita. Mungkinkah sensor negara memang akhirnya membuat filmmaker menjadi gagap, namun kita juga bisa merasakan usaha filmmaker-filmmaker yang berusaha menembus keterbatasan sensor menggunakan kreativitasnya. Sehingga tantangan sensor ini justru bisa menjadi sebuah tantangan yang positif yang memacu kreatifitas. Muncul sebuah pertanyaan juga, mengapa film kedua “Missing” dapat lolos diputar di sebuah festival? Memperhatikan bahwa isu film yang diangkat menceritakan soal seorang ayah yang ditangkap karena dianggap melawan kebijaksanaan pemerintah. Ini juga menjadi pertanyaan bagi moderator, yang sulit dijawab. Sayang sekali, sesi diskusi dengan skype dengan Myanmar malam itu tidak bisa terjadi.

Sesi diskusi setelah menonton S-Express 2016 Myanmar di Irama Indah

Saya juga teringat, salah satu penonton mengagumi teknik stop motion yang digunakan oleh film “Chasing Roses” dengan lambatnya pergantian gambar per detiknya. Pengisi teks indonesia film ini, Fransiska Prihadi mengkritik penggunaan bahasa inggris dengan pilihan kata yang sulit dan sangat tidak umum, sehingga tujuan filmmaker dipertanyakan dalam hal ini. Ada juga penonton yang terkesima menonton “Missing”, juga kritikan pada film “Mrauk Oo Story” yang rasanya terlalu mengekspos kemiskinan yang terjadi di Myanmar, ditambah lagi film yang berdurasi 30 menit ini terasa panjang dan membosankan.

Sesi diskusi berhasil mengaktifkan partisipasi para penonton, hampir semua memiliki komentar dan mengemukakan pendapatnya. Sebelum acara ditutup, sutradara Bani Nasution yang kebetulan hadir, dipanggil ke panggung untuk mengumumkan langsung acara pemutaran program-program ‘Focus on Bani Nasution’ yand diadakan di Ubud, Bali pada esok harinya. Terimakasih dan sukses selalu untuk Bani Nasution.

Sesi pemutaran hari itu ditutup dengan ceria seperti biasa, sambil melakukan sesi foto bersama-sama seluruh penonton.

ditulis oleh Maria Rosiana Sedjahtera, Januari 2017

Tags: 2017AnaMariaRosianaSedjahteraMMSDMyanmarulasan
ShareTweetShareSend
Previous Post

Ulasan Program Film Pendek ‘Focus on Bani Nasution’

Next Post

Story about Secret: The Unspoken Talk about Human Body

Maria Rosiana Sedjahtera

Maria Rosiana Sedjahtera

Maria Rosiana Sedjahtera (1998, Tangerang) menyelesaikan S1 jurusan Psikologinya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Terlibat di organisasi Minikino sejak 2013, dimulai sebagai peserta workshop internasional “My Life My Dreams“, dan menjadi volunteer semenjak 2014. Telah menyutradarai 2 film pendek, “Besok Syuting Hari Ini Kakek Meninggal”(2013), dan “BIRU” (2015).

Related Posts

Rona Warna Raga: Tubuh yang Belajar Pulang

November 14, 2025
Still Film La Perra (2023) dan Masterpiece Mommy (2024)

Yang Hilang dan Ditemukan: Relasi Ibu dan Anak Perempuan dalam Film “La Perra” dan ‘Masterpiece Mommy”

October 20, 2025
Still Film My Therapist Said, I'm Full of Sadness (2024) oleh Monica Vanesa Tedja

Problematika SOGIESC dan Gender Dysphoria dalam Narasi Intim Monica tentang Penerimaan Keluarga

October 9, 2025
Still Film Tutaha Subang (Indonesia, 2024) disutradarai Wulan Putri

Mempertanyakan Tutaha Subang : Kami Sudah Berjuang, tapi Kami Hanya Perempuan?

September 9, 2025
Still Film WAShhh (2024) directed by Mickey Lai, produced in Malaysia and Ireland

WAShhh (2024): How Naturality was Forced to Be Masked with Neutrality

September 4, 2025
Still Film Dia Pergi Dan Belum Kembali (2024) sutradara Riani Singgih, diproduksi di Indonesia

Perlawanan dalam Ingatan Melalui Dokumenter Traces of My Brother

September 4, 2025

Discussion about this post

Archives

Kirim Tulisan

Siapapun boleh ikutan meramaikan halaman artikel di minikino.org.

Silahkan kirim artikel anda ke redaksi@minikino.org. Isinya bebas, mau berbagi, curhat, kritik, saran, asalkan masih dalam lingkup kegiatan-kegiatan yang dilakukan Minikino, film pendek dan budaya sinema, baik khusus atau secara umum. Agar halaman ini bisa menjadi catatan bersama untuk kerja yang lebih baik lagi ke depan.

ArticlesTerbaru

Rona Warna Raga: Tubuh yang Belajar Pulang

November 14, 2025
Still Film 12 Moments Before Flag-Raising Ceremony (2025) arahan Zhizheng Qu

Berbagi Sentimen Tentang Jurang Generasi Bersama Owen Effendi dalam Kaitannya dengan 12 Moments Before Flag-Raising Ceremony (2025)

November 5, 2025
Still Film My Paws are Soft, My Bones are Heavy (2024) arahan Garry Christian

Melankolia Masa Muda dalam Percakapan Bersama Garry Christian dan Feisha Permanayadi

October 31, 2025
Southeast Asia Connection MFW11 di Dharma Negara Alaya

Sebelum Praproduksi dan Setelah Pascaproduksi: 7th Short Film Market at Minikino Film Week

October 31, 2025

Estetika Politik dan Kuasa Advokasi Film Pendek: Membahas Trilogi Awyu bersama Wulan Putri dan Harryaldi Kurniawan

October 24, 2025

ABOUT MINIKINO

Minikino is an Indonesia’s short film festival organization with an international networking. We work throughout the year, arranging and organizing various forms of short film festivals and its supporting activities with their own sub-focus.

Recent Posts

  • Rona Warna Raga: Tubuh yang Belajar Pulang
  • Berbagi Sentimen Tentang Jurang Generasi Bersama Owen Effendi dalam Kaitannya dengan 12 Moments Before Flag-Raising Ceremony (2025)
  • Melankolia Masa Muda dalam Percakapan Bersama Garry Christian dan Feisha Permanayadi
  • Sebelum Praproduksi dan Setelah Pascaproduksi: 7th Short Film Market at Minikino Film Week
  • Estetika Politik dan Kuasa Advokasi Film Pendek: Membahas Trilogi Awyu bersama Wulan Putri dan Harryaldi Kurniawan

CATEGORIES

  • ARTICLES
  • INTERVIEWS
  • NOTES
  • OPINION
  • PODCAST
  • SHORT FILMS
  • VIDEO

Minikino Film Week 10

  • MINIKINO.ORG
  • FILM WEEK
  • INDONESIA RAJA
  • BEGADANG

© 2021 Minikino | Yayasan Kino Media

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • SHORT FILMS
  • NOTES
  • INTERVIEWS
  • INTERNATIONAL
  • OPINION
  • ABOUT

© 2021 Minikino | Yayasan Kino Media