S-Express 2016 Myanmar diputar di Minihall Irama Indah, Denpasar, Bali, pada tanggal 14 Januari 2017. Pemutaran dimulai jam 7 malam sesuai rencana denga beberapa orang yang terlambat datang. Acara screening dibuka secara singkat oleh Edo Wulia dan saya sendiri yang kebetulan malam itu bertugas menjadi moderator.
Setelah film pertama “Chasing Roses” selesai diputar, terjadi kendala sinyal yang disusul kendala teknis, laptop yang digunakan sebagai player tiba-tiba meminta restart dan tidak bisa menyala lagi. Tertuduh utama adalah fitur automatic update Window10 yang membuat semua penggunanya tidak berdaya. Kejadian ini bertepatan ketika sedang mencoba menghubungi sutradara Kriz Chan Nyein via Skype. Gangguan ini menyebabakan pemutaran terhenti selama kurang lebih 15 menit. Sambil menunggu penanganan masalah teknis, saya sebagai moderator berusaha mengulur waktu untuk menjelaskan mengenai latar belakang negara Burma, juga mengenai sensor ketat yang diberlakukan pada media dan khususnya pada film.
Syukurlah, para penonton yang sudah datang dari jam 19.00 tetap setia dan sabar menunggu, dan penonton-penonton baru mulai bermunculan, sehingga kurang lebih hadir 30 orang pada malam itu. Walaupun tidak ada yang bisa memprediksi, sampai berapa lama gangguan akan bisa diatasi, ternyata setelah kurang lebih 15 menit, player berhasil berfungsi kembali. Screening dilanjutkan sampai semua film dalam program diputar tanpa ada halangan lagi.
Di akhir screening, tim teknis berusaha untuk menghubungi kembali sutradara film pertama, Kriz Chan Nyein, namun tidak tersambung sehingga dilanjutkan dengan sesi diskusi selama kurang lebih 20 menit.
Kebanyakan penonton menyukai film terakhir, sebuah dokumenter pendek berjudul “The Special One” dari Lamin Oo, mungkin karena film ini memang menjadi film yang paling terasa menghibur dibandingkan 3 film lainnya. Film ini sekilas bercerita mengenai majikan penjual ikan yang sangat terpengaruh oleh club sepak bola Chelsea, ia sampai-sampai meminta seluruh pegawainya di sebuah pasar ikan untuk setiap hari memakai baju Jersey Chelsea.
Ada komentar yang menarik dari salah seorang penonton, menurutnya “The Special One” tidak hanya menceritakan soal bola saja, tetapi bola dan cerita yang ditawarkan dari film dokumenter ini seakan menggambarkan dominasi dan represi yang terjadi di Pemerintahan Myanmar. Timbul kesan bahwa ini adalah kreativitas filmmaker di Myanmar untuk menyikapi keterbatasan yang ada. Negara Burma atau yang dikenal juga sebagai Myanmar ini memang memiliki sensor yang ketat pada media informasi. Memang, pada tahun 2012 pemerintah dibawah Thein Shen sudah lebih membebaskan media informasi cetak. Namun film masih perlu melewati lembaga sensor pemerintah, dan pada Juni 2016 yang lalu, film panjang berjudul “Twilight Over Burma” dilarang tayang pada Human Rights Human Dignity International Film Festival dengan alasan dapat mengancam perdamaian di negara Myanmar sekarang. Berbagai artikel mengenai hal ini dapat dibaca, salah satunya pada http://www.burmalink.org/film-censorship-burma-underlines-existing-limits-freedom-expression/
Seorang penonton menyatakan bahwa melalui program film-film Myanmar ini, memang terasa adanya keterbatasan dalam bertutur cerita. Mungkinkah sensor negara memang akhirnya membuat filmmaker menjadi gagap, namun kita juga bisa merasakan usaha filmmaker-filmmaker yang berusaha menembus keterbatasan sensor menggunakan kreativitasnya. Sehingga tantangan sensor ini justru bisa menjadi sebuah tantangan yang positif yang memacu kreatifitas. Muncul sebuah pertanyaan juga, mengapa film kedua “Missing” dapat lolos diputar di sebuah festival? Memperhatikan bahwa isu film yang diangkat menceritakan soal seorang ayah yang ditangkap karena dianggap melawan kebijaksanaan pemerintah. Ini juga menjadi pertanyaan bagi moderator, yang sulit dijawab. Sayang sekali, sesi diskusi dengan skype dengan Myanmar malam itu tidak bisa terjadi.
Saya juga teringat, salah satu penonton mengagumi teknik stop motion yang digunakan oleh film “Chasing Roses” dengan lambatnya pergantian gambar per detiknya. Pengisi teks indonesia film ini, Fransiska Prihadi mengkritik penggunaan bahasa inggris dengan pilihan kata yang sulit dan sangat tidak umum, sehingga tujuan filmmaker dipertanyakan dalam hal ini. Ada juga penonton yang terkesima menonton “Missing”, juga kritikan pada film “Mrauk Oo Story” yang rasanya terlalu mengekspos kemiskinan yang terjadi di Myanmar, ditambah lagi film yang berdurasi 30 menit ini terasa panjang dan membosankan.
Sesi diskusi berhasil mengaktifkan partisipasi para penonton, hampir semua memiliki komentar dan mengemukakan pendapatnya. Sebelum acara ditutup, sutradara Bani Nasution yang kebetulan hadir, dipanggil ke panggung untuk mengumumkan langsung acara pemutaran program-program ‘Focus on Bani Nasution’ yand diadakan di Ubud, Bali pada esok harinya. Terimakasih dan sukses selalu untuk Bani Nasution.
Sesi pemutaran hari itu ditutup dengan ceria seperti biasa, sambil melakukan sesi foto bersama-sama seluruh penonton.
ditulis oleh Maria Rosiana Sedjahtera, Januari 2017
Discussion about this post